Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JUMAT pagi dua pekan lalu, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro kedatangan tamu khusus di kantornya. Dia adalah Batara Sianturi, Direktur Utama Citibank Indonesia.
Menghadap sendirian, Ketua Perhimpunan Bank-bank Internasional Indonesia itu membawa pesan para anggotanya. Mereka ingin agar bank asing ikut dilibatkan menampung dana repatriasi hasil program pengampunan (amnesti) pajak. Pertemuan berlangsung sekitar sejam lebih bersama Menteri, lalu berlanjut dengan beberapa pejabat eselon I Kementerian Keuangan. Salah satunya Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Robert Pakpahan, yang datang terlambat.
Kehadiran Robert penting lantaran dia dan timnya yang bertugas menyiapkan peraturan tentang penampungan duit repatriasi itu. Dan, dalam draf yang ia susun, bank asing yang belum berbadan hukum Indonesia alias hanya berstatus cabang, seperti Citibank, DBS, Deutsche Bank, dan Standard Chartered, tak masuk sebagai bank yang akan ditunjuk sebagai penampung (bank persepsi). Pagi itu rancangan tersebut berubah. Batara sukses menjalankan misinya.
Menteri Bambang mengakui bertemu dengan Batara Sianturi. ”Saya berhak ketemu dengan siapa saja, termasuk dengan Anda,” kata Bambang kepada Tempo pada Rabu pekan lalu. Menurut Bambang, dalam pertemuan itu, dia ingin memastikan komitmen bank asing mendukung program repatriasi yang digalakkan pemerintah. ”Jangan main-main.” Adapun Batara menolak berkomentar ihwal pertemuan tersebut. ”Saya no comment soal proses itu,” ujarnya.
Batara berhasil meyakinkan Menteri Keuangan bahwa orang kaya yang mau ikut program pengampunan adalah nasabah di bank mereka di luar negeri. Jumlah orang kaya semacam itu cukup banyak. Jika mereka diharuskan pindah bank untuk mendapatkan amnesti, akan ada hambatan yang tak perlu. Sebaliknya, jika Citibank dan kawan-kawan boleh jadi bank penampung, akan lebih mudah membujuk para nasabah tajir itu ikut program penampungan.
Soal kekhawatiran pemerintah bahwa cabang bank asing itu akan sulit diawasi dan bisa jadi pintu keluar lagi bagi dana yang pulang (repatriasi), Batara memastikan bahwa hal tersebut tak akan terjadi. Kepada Bambang dan para petinggi Kementerian Keuangan, Batara menyatakan mereka akan tunduk pada supervisi Otoritas Jasa Keuangan. Mereka akan patuh pada ketentuan untuk menahan dana repatriasi itu agar tinggal (lock up) setidaknya tiga tahun di Tanah Air.
Dalam keputusan Menteri Keuangan yang diumumkan Senin pekan lalu, cabang bank asing masuk daftar sebagai penampung (lihat infografis). Selain 19 bank, Menteri Keuangan menetapkan 18 manajer investasi dan 19 sekuritas sebagai gateway repatriasi.
MASUKNYA bank asing yang masih berstatus cabang sebagai penampung dana repatriasi itu menuai kritik dan menimbulkan kekecewaan bagi bank-bank milik pemerintah. Yang juga merasa dikesampingkan adalah bank-bank kecil. Mereka risau nasabahnya akan berpindah atau eksodus ke bank-bank besar untuk mengikuti program pengampunan pajak.
Seorang praktisi pasar dari sekuritas besar mengatakan perpindahan nasabah dari bank-bank kecil itu bisa punya efek gawat. ”Kalau akhir tahun ini ada bank yang kolaps karena hal ini, penerimaan negara dari tax amnesty ini bisa habis lagi untuk menanggulangi gempa yang terjadi di industri perbankan.”
Salah satu pemimpin bank nasional mengakui bahwa ia sangat kecewa. Ia mengibaratkan dana warga Indonesia di bank asing itu nantinya hanya ”berpindah dari kantong kanan ke kantong kiri”. Pupus sudah harapannya mendapatkan banjir likuiditas dari program ini. ”Kalau begini, kami jadi penonton saja dari awal,” katanya Senin pekan lalu.
Keterlibatan bank asing sebagai penampung juga dikhawatirkan berpotensi menggembosi program tax amnesty. Apalagi ada kabar bahwa negara-negara yang selama ini jadi tempat berlabuh duit dari Indonesia itu tak akan rela dana yang mereka kelola hilang dan pulang ke asalnya. Menahan agar uang tetap tinggal di rekening bank asing itu merupakan salah satu cara agar mereka tetap bisa mengontrol arah investasinya. ”Ini gampang dilakukan dengan otak-atik pencatatan akuntansinya,” ujar Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo.
Menurut Prastowo, strategi negara tax haven perlu diantisipasi pemerintah. Singapura, misalnya, dia sebut sangat reaktif mengeluarkan stimulus untuk menahan agar uang orang Indonesia di sana tak pulang kampung. ”Ada yang ditawari kewarganegaraan, status permanent resident, proteksi dana lewat private bank, hingga berani menalangi tebusan asalkan nasabah tak membawa pulang uangnya,” kata Prastowo, yang mengaku mendapatkan informasi itu saat bertemu dengan sejumlah utusan konglomerat Indonesia di Singapura.
Para manajer investasi negeri itu disebut menawarkan talangan untuk membayar selisih tebusan dua persen jika mereka mau declare harta saja. Maka para pemilik dana cukup membayar tarif amnesti dua persen, sama seperti jika mereka merepatriasi duitnya. ”Mereka agresif sekali,” ujar Prastowo, Kamis pekan lalu.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani mengatakan hal senada. Sebab, diperkirakan ada lebih dari Rp 3.000 triliun duit orang Indonesia di Singapura yang berpotensi kembali. ”Singapura panik kalau pengusaha Indonesia berbondong-bondong memulangkan hartanya.”
Namun Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro ragu terhadap kabar miring tentang Singapura. ”Itu hanya suara-suara di media sosial,” tuturnya. Ia mengatakan perwakilan pemerintah Indonesia di Singapura tak menemukan bukti keras adanya upaya semacam itu. ”Menghadapinya tidak usah terlalu frontal. Tanya saja ke orang kita di sana, ’Anda itu orang Indonesia atau bukan?’” kata Bambang.
Duta Besar Indonesia untuk Singapura, I Gde Ngurah Swajaya, juga mengaku tidak mendengar informasi resmi mengenai hal ini. Menurut dia, tak ada informasi mengenai kebijakan baru pemerintah Singapura yang khusus terkait dengan tax amnesty.
Sekretaris Utama Bidang Politik Kedutaan Besar Singapura untuk Indonesia, Sukumar Shuresh, juga membantah tudingan yang beredar itu. Menurut dia, di Singapura tak ada potongan tarif pajak, tak ada pula perubahan kebijakan merespons tax amnesty Indonesia. ”Kami tidak ada kepentingan melindungi uang haram pengemplang pajak,” ujar Shuresh melalui surat elektronik, Jumat pekan lalu.
PERDEBATAN tentang perlu-tidaknya memasukkan bank asing, terutama yang belum berbadan hukum Indonesia, ke program ini berlangsung cukup keras di lingkup internal pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Seorang pejabat di Kementerian Keuangan menceritakan, Senin dua pekan lalu, Ketua OJK Muliaman D. Hadad yang pertama kali menelepon Bambang Brodjonegoro dan mendorong hal ini.
Tapi dalam rapat terakhir bersama OJK pada Kamis malam, sebelum kedatangan Batara Sianturi pada pagi berikutnya, pemerintah masih berkukuh hanya tujuh bank nasional plus satu bank syariah dan bank daerah yang akan dilibatkan sebagai bank persepsi. Pada Kamis itu pula daftar manajer investasi dan sekuritas difinalisasi.
Dalam rapat-rapat pembahasan bersama Panitia Khusus RUU Tax Amnesty di Dewan Perwakilan Rakyat pun Menteri Keuangan selalu menyampaikan perlunya pembatasan bank persepsi. Sedangkan OJK mengusulkan agar pemilik dana bebas memilih bank mana yang ia kehendaki menampung dana yang hendak dibawa pulang. ”Pasal tentang bank persepsi deadlock, sehingga dikeluarkan,” ucap Andreas Susatyo, anggota Pansus RUU Tax Amnesty dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Anggota Dewan Komisioner OJK, Nelson Tampubolon, membenarkannya. ”Iya, sewaktu pembahasan di Komisi XI, sudah saya sampaikan usul OJK agar dibuka saja.”
Menteri Bambang mengaku punya alasan kuat berubah pendapat. Menurut dia, mengabaikan keberadaan bank asing dikhawatirkan bisa berakibat kontraproduktif bagi program pemerintah. ”Pak Muliaman memberikan masukan positif ke saya: sebaiknya libatkan juga bank-bank asing, terutama bank-bank Singapura.”
Sebab, kata dia, jangan sampai hanya karena alasan kenyamanan nasabah, wajib pajak batal membawa uangnya ke Tanah Air. Wajib pajak nasabah bank asing mungkin saja akan menyumbang penerimaan negara dari tebusan deklarasi asetnya di luar negeri. Namun tebusan itu dianggap tak ada artinya karena target lebih jauh dari pengampunan ini adalah membawa pulang dana-dana yang sebelumnya dibawa pergi. ”Presiden capek-capek keliling bukan bilang, ’Tolong Anda declare supaya kita terima pajak besar.’ Presiden selalu bilang, ’Tolong bawa duitnya ke Indonesia.’ Itulah Presiden ngomongnya.”
Mengenai dukungan ke bank BUMN, Bambang menyatakan sudah tak kurang-kurang lagi. Ia mencontohkan Bank Mandiri, yang terlibat sebagai penampung beserta anak perusahaannya, seperti Bank Syariah Mandiri, Mandiri Wealth Management, dan Mandiri Sekuritas. ”Lengkap tuh.” Bank BUMN lain dan bank nasional juga diberi keistimewaan dengan lebih dulu diajak dalam setiap kampanye tax amnesty, termasuk kepada nasabah premium mereka.
Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman Hadad mengakui mendorong perluasan bank penampung dengan melibatkan bank asing. ”Saya ingin program berhasil dan banyak uang masuk,” kata Muliaman.
Batara Sianturi membantah tudingan bahwa bank asing bakal menggembosi repatriasi. ”Kami ingin ikut menyukseskan tax amnesty,” ujarnya saat dihubungi pada Rabu pekan lalu. ”Nasabah akan ikut yang mana, tentu akan lihat situasi. Opsinya macam-macam. Sekarang situasinya masih wait and see.”
Dari perusahaan sekuritas dan manajemen investasi, ganjalan juga masih ada. Ketua Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia Susi Meiliana mengatakan banyak anggota bursa bertanya-tanya tentang daftar sekuritas dan manajemen investasi yang dilibatkan sebagai gateway repatriasi. Namun ia yakin OJK dan Kementerian Keuangan punya banyak pertimbangan.
Ada enam kriteria ditetapkan OJK dalam hal ini, yakni anggota bursa yang aktif, kecukupan modal minimum Rp 75 miliar, tidak pernah disuspensi dalam setahun terakhir, melayani nasabah pembayar pajak (punya rekening dana nasabah atau RDN), catatan laba usaha 2015, dan ekuitas tiga tahun terakhir positif. Dari kriteria itu, Bursa Efek Indonesia menyodorkan daftar yang dianggap layak ikut.
Direktur Utama Kustodian Sentral Efek Indonesia Frederica Widyasari Dewi mengatakan proses pemilihan itu obyektif. ”Kami tidak lihat si A atau si B masuk atau tidak. Pokoknya berbasis kriteria.” AGUS SUPRIYANTO, AYU PRIMA SANDY, PUTRI ADITYOWATI, SAHAT SIMATUPANG (MEDAN)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo