Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK ada upacara, apalagi tanda terima kasih, ketika Hanung Budya ”dipaksa” menanggalkan jabatannya selaku Direktur Utama PT Pertamina Energy Trading Ltd. (Petral), akhir Oktober lalu. Tak jelas pula alasan pencopotannya dari tampuk pimpinan perusahaan dagang minyak milik Pertamina yang berbasis di Singapura itu.
”Alasannya internal, perlu penyegaran,” hanya itu yang dilontarkan Direktur Utama Pertamina, Widya Purnama. Padahal, jabatan itu baru genap setahun diemban Hanung.
Ia memang bukan satu-satunya yang dilengserkan. Dua petinggi anak perusahaan Pertamina lainnya, PT Badak dan PT Pelita Air Service, juga bernasib serupa. Hanya, alasannya lebih jelas: keduanya dicopot karena telah memasuki masa pensiun.
Ketidakjelasan inilah yang kemudian memicu berbagai spekulasi. Meruap dugaan, pencopotan itu terkait dengan kasus terdamparnya kapal supertanker asing berbendera Libya, M.V. Genmar Kestrel, di perairan Balikpapan, Kalimantan Timur, Juni lalu.
Menurut sumber Tempo, kapal tanker itu memuat sekitar 1 juta barel minyak mentah milik Vitol Asia Pte. Ltd. Disebut-sebut pula, minyak itu didatangkan Hartono Tanoesoedibjo, karib Widya sejak di Surabaya.
Masalahnya, minyak itu tidak didatangkan lewat jaringan lama ”orang dalam” Pertamina—yang selama ini menguasai impor minyak. Akibatnya, muatan tak bisa dibongkar.
Sebagai langkah ”penyelamatan”, Widya kabarnya meminta Petral membeli minyak itu. Namun, karena harganya sekitar US$ 5 per barel lebih mahal dari harga internasional saat itu, Hanung menolak. Buntutnya, ia dicopot.
Widya membantah keras tudingan itu. ”Ngarang yang bilang seperti itu,” ujarnya. Menurut dia, Pertamina sendiri yang ingin membeli minyak itu dari Vitol karena ditawarkan di bawah harga pasar. ”Itu minyak murah. Sebab, ada yang pesan tapi dibatalkan,” katanya (baca: Kami Tak Mau Dituduh Terus).
Versi lain menyebutkan, pencopotan Hanung justru bagian dari komitmen Widya untuk membersihkan orang-orang lama di tubuh Pertamina, termasuk Petral, yang selama ini menguasai jalur impor minyak. Hanung pun dikenal dekat dengan Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina, Ari Soemarno.
Ari pula yang merekomendasikan Hanung menjadi Direktur Utama Petral, setahun lalu, karena dinilai jago di bidang pemasaran. Karena itu, ketika Hanung dicopot, Ari pun langsung merekrutnya sebagai staf ahli.
Soal kedekatannya dengan Hanung, Ari mengakuinya. Namun, kakak mantan Menteri Perdagangan Rini Soewandi ini membantah adanya perkubuan di tubuh Pertamina. ”Tidak ada yang namanya orang Ari Soemarno, orangnya Widya Purnama. Yang ada orang Pertamina,” tuturnya.
Lepas dari versi mana yang benar, sudah lama berkembang sinyalemen bahwa Petral menjadi ladang rebutan rezeki para broker emas hitam. Maklum, perusahaan dagang ini sedikitnya memasok 1 juta barel minyak impor setiap bulannya ke Pertamina.
Sumber Tempo di Pertamina membisikkan, bak parasit, para broker itu menjadi penghubung Petral dengan negara atau perusahaan raksasa produsen minyak dunia. ”Dalam kontrak pembelian, ada yang namanya success fee,” katanya. Dan fulus yang didapat pun lumayan gede. ”Ilegal profit mereka sekitar US$ 5-7 per barel,” kata seorang trader minyak.
Ari tak menepis adanya kehadiran para broker, yang diistilahkannya sebagai pelobi dalam bisnis impor minyak. Tapi posisi mereka tidak menentukan, karena pengadaan minyak impor lewat mekanisme tender.
Kecurigaan adanya ketidakberesan dalam pengadaan minyak impor juga dipicu oleh munculnya perusahaan dagang minyak kecil, yang kerap menang tender. Sebut saja Supreme Energy, Orion Oil, Paramount Petro, Finezza, dan Novaco.
Menurut Ari, tak ada yang janggal dengan ini. ”Mereka lebih bisa memposisikan diri dalam membaca pasar Indonesia,” katanya. Ketika ditanyakan keberadaan nama-nama yang kerap dikaitkan dengan perusahaan-perusahaan tersebut, seperti Mohammad Reza, Suganda S. Kurnia, Setya Novanto, Ongki Soemarno, Hartono Tanoesoedibjo, dan Nirwan Bakrie, Ari pun tak menampiknya.
Beberapa nama itu, kata Ari, bahkan tergolong pemain lama dalam bisnis minyak. ”Mungkin mereka punya saham di sana. Yang penting, mereka memenuhi syarat dan perform,” katanya.
MD, Yura Syahrul
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo