Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SESAAT setelah dilantik menjadi Direktur Utama Pertamina pada Agustus tahun lalu, Widya Purnama langsung mengumandangkan perang terhadap mafia perminyakan. Sejak itu namanya seakan identik dengan kontroversi.
Kini, di tengah kuatnya desakan untuk menggeser dia dari pucuk pimpinan perusahaan minyak negara itu, Widya pun tak berhenti ”menggebrak”. Ada pergantian logo Pertamina, yang juga berbuah kontroversi.
Bahkan belum lama ini ia mengeluarkan surat yang memperketat proses tender impor minyak oleh Pertamina. ”Supaya jangan ada tudingan yang menang tender itu-itu saja,” katanya kepada Metta Dharmasaputra, Yura Syahrul, dan Efri Ritonga dari Tempo, di kantornya di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta, Rabu pekan lalu.
Kabarnya, Anda mengeluarkan aturan baru tender impor minyak?
Saya ingin perusahaan yang melakukan kerja sama dagang dengan Pertamina harus jelas. Semua orang harus tahu siapa mereka. Makanya, saya keluarkan surat ke seluruh direksi pada 2 Desember lalu.
Isinya?
Saya minta perusahaan yang ikut tender impor BBM dan minyak mentah menyerahkan laporan keuangan selama tiga tahun yang diaudit. Mereka juga harus mengungkapkan profil perusahaan, pengurus, produk yang dijual, serta track record-nya di bisnis perminyakan.
Apa latar belakang kebijakan ini?
Saya tidak mau kami dituduh-tuduh terus. Katanya (yang menang tender) temannya si ini, si itu. Dengan aturan ini, semua jadi transparan. Aturan ini pun berlaku di dunia internasional, bukan karangan saya.
Bukan karena ada indikasi selama ini ada ketidakberesan dalam tender?
Memang banyak masukan ke saya, tapi membuktikannya susah. Karena itu, paling bagus dibuat syarat untuk memproteksinya. Ini juga untuk menghindari fitnah.
Banyak suara, tender selama ini hanya bagi-bagi jatah, seperti arisan....
Saya juga dengarnya begitu. Tapi, sekali lagi, buktinya tidak ada. Dari dokumen tender, yang menang memang yang memberi harga tawaran paling murah. Tapi, untuk selanjutnya, kami ingin tahu bisnis perusahaan itu ke mana saja. Kalau bisnisnya ke satu perusahaan saja, kan ada pertanyaan, kok ke sini terus dan menang terus. Saya tidak mau seperti itu.
Kabarnya aksi itu melibatkan orang dalam Pertamina. Benarkah?
Kalau sifatnya hanya isu dan tidak bisa dibuktikan, susah. Tapi, kalau banyak orang seperti itu, kami rotasi saja. Diputus jaringannya.
Sudah ada reaksi atas peraturan baru ini?
Ke saya sih enggak ada. Tapi biarin saja. Kalau ada yang ngamuk, kan jadi ketahuan.
Benarkah Anda sudah menemui Presiden dan meminta agar tugas Anda diperpanjang untuk menyikat mafia minyak?
Anda tahu dari mana? Tapi betul, hari Sabtu 3 Desember, saya dipanggil Presiden. Saya bicara panjang-lebar tentang Pertamina.
Soal nama para broker minyak yang kerap disebut-sebut, Anda mengenalnya?
Kalau Anda yakin itu betul, kenapa konfirmasi ke saya? Buat saya, yang penting perusahaan. Siapa pun orangnya, terserah.
Anda kabarnya dekat dengan Hartono Tanoesoedibjo, yang juga berbisnis minyak....
Saya kenal siapa saja. Masa, kalau ada orang dekat sama saya terus ribut? Misalnya, saya kenal Hary Tanoesoedibjo waktu di Indosat, ketika dia membeli TPI. Lalu, ketika saya jadi Dirut Pertamina, masa dia enggak boleh main di sini? Silakan saja, siapa pun boleh, asal ikut aturan.
Kabarnya, Anda pernah meminta Petral membeli minyak dari kapal tanker yang ”terdampar” di Balikpapan, Juni lalu. Tapi, karena menolak, Dirut Petral diganti. Benarkah?
Tidak. Ngarang itu. Kami yang mau beli, kok. Ngapain lewat Petral? Itu minyak murah dari Libya milik Vitol, distress cargo namanya. Mungkin sudah dipesan, tapi tidak jadi dibeli. Kalau berani, mestinya minyak itu dibeli, karena harganya di bawah harga pasar sehingga bisa hemat US$ 5 juta. Suratnya pun jelas, bukan selundupan. Tapi tangki kami saat itu penuh. Kami pun takut dituding beli tidak melalui tender.
Tapi, benarkah Hartono terkait dengan Vitol?
Bisa saja. Vitol kan trader besar. Anda juga bisa join dengan Vitol.
Lantas, apa alasan Dirut Petral diganti?
Itu alasan internal. Biasa, untuk penyegaran.
Soal ganti logo yang kini diributkan, bagaimana sesungguhnya?
Kami sudah mengusulkan sejak lama, kok. Pada 4 Februari, saya presentasi di depan Pak Roes Aryawijaya (Deputi Menteri BUMN). Penggantian logo pun akan dilakukan bertahap. Kalau sudah buluk, logo di pompa bensin baru diganti. Jadi, uang yang keluar cuma US$ 225 ribu. Pak Sugiharto (Menteri BUMN) tidak tanya kami, sih....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo