Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA suatu hari tahun 2001, Direktur Hilir PT Pertamina (persero) Muchsin Bahar tepekur. Di mejanya terhampar Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) yang baru saja terbit. ”Undang-undang ini mengancam bisnis hilir Pertamina,” katanya mengenang.
Muchsin patut gelisah. Undang-Undang Migas memberikan peluang pihak swasta ikut bermain di bisnis hilir minyak, yang selama ini dikuasai Pertamina. Supaya terjadi persaingan, undang-undang itu juga mewajibkan Pertamina membuka fasilitas kilangnya untuk semua pemain.
Dewan direksi yang dipimpin Baihaki Hakim bergegas memperkuat bisnis hilir lewat perdagangan minyak dan gas bumi. Anak perusahaan yang berbasis di Hong Kong dan Singapura, Pertamina Energy Trading Limited (Petral), dipilih menjalankan misi ini. ”Visi kami, minyak boleh habis, tapi trader Pertamina berjalan ke mana-mana,” kata Muchsin.
Selain menyelamatkan bisnis hilir, Petral juga bertugas menjaga pasokan minyak mentah ke kilang Pertamina. Sebab, sekitar 36 persen kebutuhan kilang Pertamina masih bergantung pada minyak asing. ”Kalau terjadi gangguan pasokan ke kilang, kami bisa mengandalkan Petral,” tuturnya.
Petral, yang tadinya bernama Perta Oil, mulai digemukkan. Caranya dengan memberikan kontrak jangka panjang impor minyak Pertamina. Anak perusahaan yang sahamnya pernah dipegang Bob Hasan dan Tommy Soeharto itu juga dilibatkan dalam tender impor minyak.
Sejak saat itulah, kata juru bicara Pertamina, Muhammad Harun, komposisi impor berubah. Porsi impor dari tender, yang sebelumnya 80 persen, diturunkan menjadi 20 persen. Sebaliknya, porsi impor dari kontrak dinaikkan dari 20 persen menjadi 80 persen.
Hanya dalam waktu tiga tahun, kinerja Petral yang diberi modal awal US$ 30 juta itu semakin mengkilap. Volume perdagangannya naik dari 155 ribu barel per hari pada 2001 menjadi 321 ribu barel per hari pada 2002, dan 365 ribu barel per hari pada 2003. Petral menjadi terbesar kedua di Asia Tenggara, setelah Vittol.
Keuntungannya pun bertambah-tambah. Pada 2001 baru US$ 3 juta, pada 2002 menjadi US$ 4 juta, dan pada 2003 sebesar US$ 8 juta. Petral juga berhasil menyumbang penghematan Rp 1,2 triliun kepada induknya dari kegiatan impor. ”Sebab, tender tidak lagi diatur mafia Singapura,” ujar Muchsin.
Namun kini arah angin tampak berubah. Kebijakan pemerintah yang mengizinkan Pertamina membeli minyak dari kontraktor bagi hasil dikhawatirkan bakal memapas bisnis Petral. ”Kami tidak memusingkan apa yang terjadi dengan anak perusahaan, yang penting negara untung,” kata Direktur Utama Pertamina, Widya Purnama.
Belum lagi pembelian dari dalam negeri dimulai, kesehatan Petral sudah terganggu. Meski keuntungan 2004 naik menjadi US$ 18 juta, volume perdagangannya justru turun menjadi 339 ribu barel per hari. Padahal, ”Target kami dulu sampai 700 ribu barel per hari,” tutur Muchsin.
Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina, Ari H. Soemarno, memperkirakan tahun ini keuntungan Petral akan mengkeret. Petral harus menanggung kesulitan cash flow Pertamina dalam impor minyak. ”Utang Pertamina kepada Petral antara US$ 400 juta dan US$ 500 juta,” ujar Direktur Utama Petral tahun 2004 ini.
Pada 31 Oktober lalu, Widya mendadak mencopot Direktur Utama Petral, Hanung Budya, dan menggesernya menjadi staf ahli direksi. Sebagai pejabat sementara, ditunjuk Direktur Keuangan, Alfred H. Rohimone. ”Penggantian itu masalah internal saja, tidak ada yang istimewa,” kata Widya.
Rekening Petral di Singapura juga dibobol maling US$ 8,2 juta. Kasus ini berbau tindak pidana korupsi. Pada pertengahan November, Ketua Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Hendarman Supandji, mengumumkan bahwa penanganan kasus Petral telah ditingkatkan ke tahap penyidikan.
Widya menegaskan, meski tetap memberikan fasilitas buat Petral, Pertamina tidak akan selamanya ”menyusui” anaknya itu. Ia ingin Petral mandiri, bersih dari calo minyak, dan berkompetisi memasok minyak dan produk olahan ke pasar internasional. ”Petral harus bertarung,” katanya.
Efri Ritonga
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo