Peluncuran Satelit Palapa B4 dipercepat tiga tahun. Kalau melihat ramainya pesanan, tampaknya satelit ini akan cepat kembali modal. SUASANA persaingan yang ketat ternyata tidak hanya berlangsung di darat. Di angkasa, Perumtel, yang sebentar lagi berganti nama menjadi PT Telekomunikasi Indonesia, juga merasakan itu. Apalagi sejak terdengar kabar bahwa Asia Sat, satelit domestik milik RRC, sebentar lagi akan mengangkasa. Satelit yang akan dikendalikan dari Hong Kong itu sudah mendapatkan pesanan dari berbagai stasiun televisi (di antaranya dari Selandia Baru dan Australia). Asia Sat akan jadi pesaing utama satelit Palapa. Mungkin, karena itulah Perumtel memasang kuda-kuda. BUMN yang bernaung di bawah Departemen Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi ini, beberapa bulan lalu, melakukan transaksi "kilat". Pada awal Agustus lalu, misalnya, Perumtel menandatangani kontrak penyewaan satu transponder Palapa, untuk masa tiga tahun, dengan Entertainment and Sport Program Network (ESPN) Amerika Serikat. Sebelumnya, kontrak serupa ditandatangani dengan Turner Broadcasting System, AS. Dengan kedua transaksi tersebut, transponder yang berada di satelit Palapa B2P dan B2R penuh sudah. Memang, di luar 20 transponder yang digunakan oleh Perumtel sendiri, masih ada sisanya. Namun, sisa itu disiapkan untuk cadangan. Itulah salah satu sebab mengapa Pemerintah merasa perlu mempercepat peluncuran Palapa B4. Satelit yang baru akan diluncurkan pada 1995 itu dipercepat tiga tahun menjadi Juni 1992. Namun, menurut Menteri Soesilo Soedarman, keputusan itu diambil bukan hanya karena persaingan di kalangan pemilik satelit makin ketat. "Kalau memang satelitnya sudah siap, buat apa ditunda-tunda?" ujarnya. Apalagi, dengan percepatan peluncuran ini, Pemerintah memperoleh banyak keuntungan. Seperti dikemukakan Dirut Perumtel Cacuk Sudarijanto. Untuk peluncuran Palapa B4, Perumtel cukup merogoh kocek 119,4 juta dolar AS, alias sekitar Rp 233 milyar. Ini berarti lebih murah 12,41% jika dibandingkan dengan biaya peluncuran satelit Palapa B2R. Keuntungan lain, transponder Palapa B4 ini sudah ditunggu oleh para konsumen. Maka, target meraih penyewanya akan cepat terpenuhi, tentunya, Perumtel bisa lebih cepat menuai laba. Buktinya, tengok saja daftar tunggu yang digenggam Perumtel saat ini. Di situ tampak bahwa transponder Palapa B4 sebagian besar sudah dipesan. Menurut siaran Perumtel pekan lalu, 20,3125 transponder yang terkandung dalam Palapa B4 (semuanya ada 24 transponder) sudah sejak beberapa bulan lalu dipesan. Pesanan, selain dari dalam negeri, datang dari stasiun televisi di Amerika, Vietnam, dan Australia. Dari situ saja, jelas, setiap tahunnya BUMN ini sudah bisa menghasilkan pendapatan US$ 22,3 juta (setiap transponder disewakan dengan harga 1,1 juta dolar per tahun). Menurut Cacuk, sewa transponder Palapa itu memang termasuk tarif "obral", lebih murah US$ 300.000. "Tarif kita memang lebih kompetitif," katanya. Yang membuat Perumtel untung bukan hanya karena satelitnya yang baru itu sudah kebanjiran penyewa, melainkan juga karena peluncurannya ke ruang angkasa pun sedikitnya diperebutkan oleh tiga perusahaan: McDonnell Douglas dari Amerika, China Great Wall Industry dari RRC, dan Arianespace dari Prancis. Pemerintah Indonesia akhirnya memilih McDonnell Douglas. Alasannya, selain telah teruji secara teknis, roket Delta 7925 (yang akan meluncurkan Palapa) lebih murah US$ 6 juta dari tawaran RRC dan Prancis. Sebuah pilihan yang wajar, memang. Maklum, modal pembuatan dan peluncuran Palapa B4 ini tidak seluruhnya diambil dari kocek Pemerintah. Sebanyak 52% atau sekitar US$ 63 juta merupakan pinjaman dari Exim Bank Amerika, yang berbunga 9,2% dengan masa cicilan 10 tahun. Budi Kusumah dan Linda Jalil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini