Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jurus bapepam mepermalukan

Bapepam akan menindak emiten yang tidak memberikan laporan keuangan tahunan. gebrakan ini untuk pen- ciptaan akses agar informasi mengenai emiten sam- pai pada publik.

14 September 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bapepam akan bertindak keras pada perseroan publik yang tak mengirimkan laporan keuangan. Yang lebih penting, aksesnya ke publik terjamin. SEKARANGLAH saatnya orang mulai berteriak kesal ke alamat bursa Jakarta. Panik? Mungkin saja. Indeks Harga Saham Gabungan sudah merosot lebih rendah dari angka 300 pekan ini. Indeks yang mencerminkan pergerakan harga seluruh saham yang tercatat di Bursa Jakarta ini sempat hinggap di titik terendahnya, 299,3, Rabu pekan lalu. Ini angka paling rendah dalam tiga tahun terakhir ini. Bahkan, jika dibandingkan dengan bulan April 1989 yang sempat melambung sampai di atas 630, angka itu tak sampai separuhnya. Maka, Selasa pekan lalu tiba-tiba saja Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) mengeluarkan jurus yang cukup mengejutkan. "Kita akan mempermalukan emiten yang tidak memberikan laporan keuangan tahunan," kata Marzuki Usman, Ketua Bapepam. Emiten adalah perusahaan yang sudah menjual sahamnya ke masyarakat. Gebrakan Marzuki ini bukan datang begitu saja. Ini ada kaitannya dengan peristiwa pekan lalu, ketika bursa digegerkan oleh anjloknya harga saham pabrik tekstil PT Argo Pantes. Dalam sehari saham Argo turun sampai Rp 4.100 sehingga harganya tinggal Rp 3.250. Belakangan terungkap, anjloknya harga ini karena Argo menyebarkan informasi pada beberapa pialang tentang kondisi keuangannya. Ketika hendak masuk bursa (go public) awal tahun ini, Argo diam-diam menyebarkan informasi tentang proyeksi keuntungan yang bakal diraihnya tahun 1991 pada beberapa pialang asing. Saat itu Argo berani menjanjikan bakal meraih untung di atas Rp 80 milyar. "Ini perbuatan terlarang. Kalau mau menyebar informasi, mesti pada semua orang supaya adil," tutur Marzuki. Ternyata, setelah enam bulan pertama tahun 1991 lewat, keuntungan yang diraih Argo hanya Rp 10 milyar lebih. Menurut Musa, salah seorang direksinya, itu karena kerusakan mesin dan sulitnya mereka memperoleh sambungan listrik sehingga perluasan produksi terhambat. Kemudian Argo melakukan dosa kedua. Informasi tentang keuntungan yang Rp 10 milyar ini hanya disebarnya pada beberapa pialang. Akibatnya, beberapa pialang asing yang mendapatkan informasi itu segera saja mengobral saham Argo, tak heran jika harganya anjlok. Bapepam lalu menyelidik, dan dosa kedua Argo ini terungkap. Persoalan berikutnya adalah, apakah dosa ini cukup dihukum dengan mempermalukan emiten. Tampaknya, Marzuki tak akan bertindak lebih jauh dari itu. Ia punya alasan kuat. Seandainya hukuman yang dijatuhkan lebih berat, membekukan perdagangan saham Argo misalnya, boleh dikatakan yang lebih menderita adalah investor yang sudah membeli saham itu. Nilainya jadi nol, dan mereka tak bisa menjualnya. Ini adalah salah satu kelemahan bursa Jakarta. Investor publik yang biasanya minoritas (dalam hal Argo, saham yang dikuasai publik hanya 30 persen) tak punya kekuasaan apa-apa dibanding pemilik lama yang mayoritas. Maka, tak ada tindakan apa pun yang dapat mereka perbuat. Seorang pejabat Departemen Keuangan menyebut, seandainya kasus seperti ini terjadi di Amerika, misalnya, bisa dipastikan manajemen perusahaan tersebut pasti jatuh. Maklum, di sana pemegang saham minoritas bisa mengelompokkan suara lalu mewakilkannya kepada pihak yang ditunjuk. Kelebihan lain, yang namanya perseroan publik di sana adalah perusahaan yang menjual seluruh sahamnya di bursa, sehingga tak ada pihak yang bisa benar-benar mayoritas. Seyogianya, Bapepam bisa bertindak lebih tegas selaku "wakil" investor publik yang posisinya lemah ini. Sayangnya, selama ini Bapepam malah cenderung "memihak" pada perusahaan yang menjual sahamnya di bursa. Salah satu gambaran adalah investor selalu susah memperoleh informasi tentang keadaan keuangan emiten. Padahal, pasal 7 Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 1548/1990 tentang Pasar Modal menyebutkan semua informasi itu harus tersedia dan bisa digandakan oleh publik. Beberapa kali terjadi, pialang yang menginginkan informasi itu dari Bapepam tak berhasil mendapatkannya. Misalnya saja yang dialami oleh pialang dari CP Pacific. Celakanya, ketika pialang ini berusaha menghubungi perusahaan yang diinginkannya secara langsung, ia dituduh mencoba mencari informasi orang dalam, alias inside informaion yang dianggap haram. Selain susah didapat, informasi yang ada di Bapepam juga terbatas pada ringkasan laporan keuangan. Ini sama saja dengan laporan keuangan yang dipasang di surat-surat kabar sebagai iklan. "Kalau hanya itu, kita tak akan tahu kondisi perusahaan yang sebenarnya," kata seorang analis yang selalu kerepotan jika menganalisa perusahaan publik. Itu sebabnya langkah Marzuki untuk menggebrak agar emiten lebih rajin mengirim laporan keuangannya perlu diikuti dengan penciptaan akses agar informasi itu benar-benar sampai pada publik. Jika tidak upaya itu tentu saja mubazir. Sekalipun laporan itu bertumpuk di gudang Bapepam dengan amat sangat lengkap, tak akan ada gunanya karena inti sebuah pasar modal adalah keterbukaan informasi. Selama itu tak ada, susah membuat pasar maju dan besar. Yopie Hidayat & Dwi Setyo Irawanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus