BADAN Penyehatan Perbankan Nasional—lebih ngetop dengan sebutan BPPN—kini seperti berubah jadi pasar obral. Soalnya, mulai 1 April lalu agen penyehatan perbankan itu tak hanya menjual aset yang sudah direstrukturisasi, tapi juga aset yang belum diapa-apakan (yang nilainya sudah pasti jatuh). Aset itu milik 24 pengutang kakap—antara lain Artha Graha, Bimantara, Ciputra, Gadjah Tunggal, dan Surya Dumai—yang nilainya mencapai Rp 5,2 triliun dan US$ 1,26 miliar (setara Rp 12,6 triliun).
Pejabat BPPN berkilah, tindakan itu untuk mempercepat program penjualan aset guna menyumbang pendapatan negara. Nah, siapa saja yang berminat pada aset tersebut boleh mulai mendaftarkan diri sejak 1 April sampai 20 Mei 2002. Proses selanjutnya, setelah melalui tahap uji tuntas dan penawaran harga, pemenang tender akan diumumkan dari tanggal 5 sampai 18 Juni mendatang.
Tindakan itu tak pelak menimbulkan kritik. "Kalau begitu, untuk apa membentuk BPPN?" kata ekonom Dradjad Wibowo. Lebih baik dari dulu saja semua aset langsung dijual. Pemerintah tak perlu mengeluarkan duit untuk menggaji karyawan dan membayar konsultan BPPN.
Dradjad pun mencurigai ada udang di balik batu. Penjualan aset yang belum digarap itu dicurigainya merupakan cara untuk memuluskan praktek kotor dalam restrukturisasi dan penjualan aset di BPPN. Ia tak asal bicara, lantaran punya sejumlah bukti. Ia menyebut contoh kasus seorang temannya yang asetnya senilai Rp 20 miliar disita BPPN.
Aset tersebut tak kunjung selesai direstrukturisasi selama satu setengah tahun. Menurut Dradjad, mengutip pengakuan si teman, itu karena sang sohib tak mampu membayar "tarif" konsultan yang diminta oleh pejabat BPPN sebesar Rp 200 juta. Akibatnya, kini utang membengkak gara-gara bunga berbunga. Sementara itu, si teman sulit mencari kredit baru untuk modal kerja sehingga tak memiliki penghasilan untuk membayar utang tersebut. Nah, aset macet seperti itu kemudian dijual oleh pejabat BPPN dengan harga murah kepada pihak ketiga, dan boleh jadi si pejabat mendapat imbalan atas jasanya.
Kiat lainnya, debitor sengaja menyatakan tak mampu membayar utang (default). Akibatnya, nilai aset tersebut jatuh. Lalu BPPN menjual aset itu dengan harga murah. Tapi, coba tebak siapa yang membeli. Tak lain adalah kelompok debitor itu juga.
Praktek patgulipat seperti itu ditengarai banyak terjadi sejak masa penjualan aset inti perusahaan (corporate core asset sale/CCAS), yang kebanyakan merupakan milik pengutang kakap. Praktek semacam itu dikhawatirkan akan terjadi lagi pada penjualan aset yang belum direstrukturisasi kali ini.
Adanya praktek kotor itu juga diakui oleh sumber TEMPO di BPPN. Menurut sumber yang tak mau disebut namanya itu, staf AMC (Asset Management Credit) di BPPN sebetulnya sudah menyiapkan rencana penjualan aset secara paket. Hal itu dilakukan sesuai dengan kondisi pasar dan aset itu sendiri agar tercipta harga yang optimal bagi negara.
Namun, rencana itu tak berjalan lantaran campur tangan para petinggi BPPN. Biasanya mereka meminta agar sebuah aset bisa dijual secara ketengan sesuai dengan permintaan pemilik lama atau pihak ketiga yang ingin membeli aset tersebut.
Adanya praktek-praktek kotor se-macam itu memang masih sulit dibuktikan. Namun, yang jelas, praktek penjualan aset secara sembarangan telah membuat tingkat pengembalian (recovery rate) aset di BPPN merosot drastis. Sebelumnya tingkat pengembalian pernah mencapai 70,14 persen, tapi kian lama semakin turun sehingga sekarang tinggal 30,18 persen.
Namun, Kepala Divisi Komunikasi BPPN, Suryo Susilo, membantah adanya praktek kongkalikong seperti yang di-tuduhkan itu. Rendahnya tingkat pengembalian menurut dia lantaran porsi utang macet dalam aset tersebut semakin besar. Selain itu, ia menimpakan kesalahan pada kondisi dalam negeri yang kurang menguntungkan—seperti tingginya tingkat risiko (country risk) dan rendahnya peringkat Indonesia—di saat penjualan aset.
Nugroho Dewanto, Setiyardi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini