Riuh-rendah divestasi BCA sudah berlalu. Kini ia berganti dengan suasana adem-ayem divestasi Bank Niaga. Bagi 3.300 karyawan Bank Niaga, sebuah penantian panjang—untuk mendapat juragan baru yang menguasai 51 persen saham—hampir mendekati titik akhir. Pekan lalu, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) mengumumkan empat konsorsium—ANZ Banking Group, Victoria International, Batavia Investment Fund, dan Commerce Asset Holding Berhad—sebagai calon peserta divestasi yang lulus tahap penawaran awal. "Mereka didapat dari proses yang adil dan transparan," ujar Soebowo Musa, Deputi Kepala BPPN bidang bank restructuring unit.
Dibandingkan dengan divestasi BCA, proses pelepasan saham Bank Niaga terbilang lancar, juga tanpa suasana pro dan kontra. Ada enam bidder yang mengajukan proposal untuk membeli bank yang berdiri sejak 1955 ini. Namun, dua bidder yang identitasnya dirahasiakan BPPN akhirnya dinyatakan gugur. "Jangan bandingkan dengan BCA, itu tidak apple to apple," kata Soebowo Musa.
Kini, keempat calon juragan baru Bank Niaga sedang sibuk kasak-kusuk mencari posisi. Mereka akan mengikuti pelbagai proses, dari uji tuntas (due diligence), pemaparan rencana manajemen, fit and proper test yang akan dilakukan oleh Bank Indonesia, hingga penyerahan penawaran akhir. Bila tak ada aral melintang, akhir Juni 2002 mendatang bank dengan 76 cabang di Indonesia dan luar negeri itu akan memiliki nakhoda baru.
Tentu masih terlalu pagi untuk memastikan pemenang tender 51 persen saham Bank Niaga, yang dulu dibanggakan sebagai bank pribumi itu. Tapi beberapa kalangan telah menyebut kandidat kuat yang berpeluang menang. "Grup ANZ memiliki peluang yang besar," kata analis perbankan Mirza Adityaswara.
Memang, ANZ Banking Group dikenal sebagai bank yang kuat. Kelompok perbankan asal Negeri Kanguru yang bermitra dengan Bank Panin ini menyatakan siap dengan fresh money. Meski tak menyebut angka secara persis, pihak ANZ Banking Group telah berani menampilkan angka perkiraan. Biasanya nilai pasar bank di Indonesia sebesar satu setengah kali nilai bukunya. Saat ini, dari data BPPN, nilai buku Bank Niaga sebesar US$ 125 juta (sekitar Rp 1,2 triliun). "Ya, tak jauh dari angka itu," kata Paul Edwards, Head of Media Relations ANZ.
Sementara itu, Eko Santoso, bekas deputi kepala BPPN bidang AMC, menilai kelompok Victoria International juga layak dilirik. Selain dikenal sigap dalam menjalankan prinsip prudential banking, Victoria juga dinilai memiliki kemampuan finansial yang memadai. "Mereka juga punya fresh money," tutur Eko Santoso.
Kandidat lain, meski tetap berpeluang, tampaknya sulit lolos. Batavia Investment Fund, kata Eko, tak begitu dikenal di Indonesia. Jangan salah, Batavia Investment Fund ini tak ada hubungannya dengan Batavia Prosperindo Asset Management milik keluarga Julius Tahija, yang dulu adalah pendiri dan pemilik Bank Niaga. Kini, "Keluarga Tahija sudah tak berminat pada bisnis bank," ujar Eko Santoso, yang bertugas sebagai analis di Batavia Prosperindo Asset Management.
Bagaimana dengan Commerce Asset Holding Berhad (CAHB)? Baik Mirza Adityaswara maupun Eko Santoso menilai konglomerat keuangan asal Malaysia, ini kalah angka dibanding ANZ Banking Group dan Victoria International. Kinerja keuangannya tak terlalu bagus. Dari laporan keuangan yang telah diaudit, pendapatan bersih CAHB tahun 2001 tercatat hanya 67 juta ringgit. Itu berarti menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yang mencapai 110 juta ringgit (sekitar Rp 275 miliar).
Masalahnya, setelah poses divestasi Bank Niaga rampung, masih ada sejumlah pertanyaan yang harus dijawab. Arah kebijakan bisnis, misalnya, merupakan satu hal yang perlu dimantapkan. Dan ternyata ANZ Banking Group sejak pagi-pagi sudah menyiapkan rencana khusus. "Bank Niaga akan menjadi bank retail menengah ke atas," kata Paul Edwards, Head of Media Relations ANZ.
Itulah juga yang dikemukakan Presiden Direktur Bank Niaga, Peter B. Stok, dalam keterangannya kepada sebuah media Ibu Kota baru-baru ini. Katanya, secara ideal Bank Niaga akan tetap terfokus sebagai bank retail dengan keunggulan pada mutu servis, SDM yang andal, dan teknologi yang terus berkembang. Dengan demikian, 3.300 karyawan dari bank dengan CAR sekitar 16 persen ini dapat terus bekerja dengan tenang tanpa merencanakan hal-hal yang aneh seperti demo atau aksi protes.
Setiyardi, Agus S. Riyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini