Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK ada lagi ayam pedaging di kandang Jenny Soelistiani. Pemilik CV Sumber Sari Farm ini memilih meninggalkan broiler dan beralih beternak ayam petelur. Itu sebabnya delapan kandang Sumber Sari yang terletak di Desa Gantiwarno, Kecamatan Pekalongan, Kabupaten Metro, Lampung, tersebut kini terisi bibit ayam ras petelur. Setiap kandang menampung 2.000 ekor ayam.
Jenny banting setir karena harga ayam pedaging melorot. Menjalankan usaha sejak 1993, ia merugi selama dua tahun berturut-turut. Pada Desember 2014, ia menghentikan bisnisnya. Baru beberapa bulan terakhir Jenny merintis bisnis ayam petelur. Kandang miliknya yang tersebar di tujuh lokasi berbeda sudah diisi ayam petelur. "Untung saya masih bisa putar haluan," katanya Rabu pekan lalu.
Menurut Jenny, banyak peternak mandiri di Lampung gulung tikar karena kalah bersaing dengan industri peternakan besar. Di antaranya PT Charoen Pokphand, PT Japfa Comfeed, dan CJ Feed. "Mereka mematikan peternak rakyat dengan menggerojok ayam hidup hingga ke pasar becek," ujar Jenny. Budi daya ayam Charoen Pokphand di Lampung pada tahun lalu mencapai lima juta ekor. Inilah yang membuat harga ayam pedaging kelojotan.
Kalah bersaing dengan peternakan besar, banyak peternak mandiri beralih ke bisnis lain. Sisanya bersikap realistis menjadi peternak plasma. Hal yang sama terjadi di hampir seluruh Nusantara. Menurut Sigit Prabowo, Ketua Perhimpunan Peternak Unggas Nusantara, industri peternakan besar seperti Charoen dan Japfa sudah menguasai 85 persen industri unggas di Indonesia. "Sisanya dibagi seluruh peternak mandiri," kata Sigit, Rabu pekan lalu. Total kapasitas terpasang seluruh peternakan broiler mencapai 60 juta ekor per minggu.
Kondisi ini berbalik 180 derajat dibanding satu windu lalu. Saat itu peternak rakyat menguasai pasar hingga 85 persen. Sisanya industri besar. Menurut Sigit, itu terjadi karena industri besar mendapat keleluasaan setelah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan diterbitkan.
Aturan itu mengizinkan peternakan unggas dilakukan terintegrasi, dari hulu hingga hilir. Produknya dapat dipasarkan di pasar tradisional dalam negeri. Charoen Pokphand dan Japfa--yang awalnya hanya pabrik pakan--kini menguasai pembibitan unggas, vaksin, budi daya, hingga pemasaran. "Integrasi vertikal ini membuat perusahaan besar makin menggurita," ujar Sigit. Banyak peternak akhirnya mengikuti pola kemitraan inti-plasma.
Gunanto, peternak ayam di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, mengakui sangat dimanjakan selama menjadi peternak plasma Primatama Karya Persada, anak usaha Charoen Pokphand. Untuk budi daya 1.000 ekor broiler, misalnya, butuh sedikitnya Rp 40 juta. Dana itu untuk beli bibit, pakan, dan vaksin serta biaya operasional lain. Tapi, kalau menjadi plasma, modal Rp 5 juta sudah bisa jalan. Peternak hanya bermodalkan tenaga dan kandang, "Sisanya dipasok Charoen," kata Gunanto, Kamis pekan lalu.
Namun menjadi peternak mitra tidak leluasa. Keuntungan sudah dipatok, misalnya Rp 2.000 per ekor. Sementara itu, petani mandiri bisa mendapat keuntungan Rp 10 ribu per ekor, meski bisa juga minus kalau harga jatuh. Peternak, menurut Gunanto, juga dipaksa lima-enam kali berproduksi setahun. "Peternak plasma jadi kuli di kandang sendiri," ujarnya.
Menurut Budiarjo Soebijanto, Senior Vice President PT Multibreeder Adirama Tbk, anak usaha Japfa Comfeed, program kemitraan dilakukan pabrik pakan sejak krisis moneter 1998. Kegiatan itu dianjurkan pemerintah karena peternak rakyat banyak yang bangkrut. Perbankan dan pemerintah terpuruk sehingga angkat tangan membiayai peternakan. "Kami yang membangun kembali perunggasan nasional," kata Budiarjo.
Agus Supriyanto, Akbar Tri Kurniawan, Ayu Prima Sandy
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo