PABRIK tekstil boleh lesu, tapi industri pakaian jadi tampaknya sudah mulai bangkit lagi, setelah kaget pada Lebaran lalu. Hal ini dinyatakan oleh beberapa pengusaha pakaian jadi, yang dalam Lomba Perancang Mode (LPM) majalah Femina dan Gadis, Jumat lalu, menjadi juri untuk menilai "daya jual" suatu rancangan. Danar Hadi, misalnya, selain menjual batik tulis, tiap tiga bulan sekali mengusahakan penjualan promosi dengan desain-desain baru. "Pembeli kami adalah kalangan menengah tertentu," ujar Nyonya Hartati Dullah, manajer Danar Hadi Jakarta. Dengan mempergunakan beberapa perancang busana kenamaan dan pameran pakaian gratis di tokonya pada hari Sabtu, Danar Hadi menjual pakaian jadinya sekitar Rp 20.000. Ekspor? "Harganya akan tinggi kalau diekspor," ujar Nyonya Yuwono, manajer keuangan Batik Keris. Selain itu, sasaran jual di luar negeri sulit. Batik Keris, dengan 15 cabang atau agennya di Indonesia, hampir tiap bulan mengeluarkan desain baru empat sampai enam macam. "Pasaran dalam negeri cukup menarik," tutur Nyonya Lily Salim, perancang busana bermerk Rosella. Asal dapat mengerti selera pembeli. Pembeli di sini, menurut pengamatan Lily, menggemari warna cerah, dengan model yang biasa-biasa tanpa mengabaikan mode mutakhir. Lily kemudian menunjuk busana karya Iwan Saputra, 23, yang memenangkan rancangan berdaya jual tertinggi dari 10 finalis LPM, sebagai contoh. Lily yakin bahwa konsumen Indonesia sudah melihat merk dan sedikit mengabaikan nama perancangnya. Harga gaun perancang tertentu bisa dua kali lipat gaun yang cuma bermerk. Sedangkan pakaian impor sudah tak ada artinya karena harganya tak terjangkau. "Kecuali untuk kelas tinggi," ujar Lily. Tapi, berbicara soal kualitas, Lily berterus terang, pakaian jadi Indonesia hingga kini belum masuk ready to wear kelas III menurut ukuran dunia mode internasional. Dari perlengkapan, seperti kancing dan benang jahit, sampai tukang jahit atau tukang seterika belum setaraf Hong Kong.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini