Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Paket 6 mei: ciuman kematian ...

Paket 6 mei dianggap hangat pada permulaan saja. ada pula menganggap paket ini salah alamat, tidak ditujukan pada masalah ekonomi sebenarnya. paket yang jauh dari memadai, merupakan kematian liberalisasi.

24 Mei 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH dua minggu berlalu sejak diumumkannya serangkaian keputusan - ada peraturan pemerintah (PP), keputusan Presiden (Keppres), ada pula surat keputusan bersama (SKB), dan keputusan lainnya, seluruhnya berjumlah 19 buah - yang merupakan satu paket kebijaksanaan. Kata paket di sini dipakai dalam pengertian penggabungan sejumlah instrumen (kebijaksanaan) untuk suatu tujuan tertentu. Jadi, kata paket itu sebenarnya digunakan bukan sebagai sinonim bingkisan, dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan kata kado. Tetapi rekaman menunjukkan bahwa masyarakat menanggapi paket itu seperti seorang anak yang berulang tahun - berdebar-debar menerka isi sambil membuka kado yang diterimanya. Juga menarik dari rekaman selama dua minggu ini bahwa berbeda dengan berbagai paket sebelumnya, terhadap paket 6 Mei ini tidak dicatat caci makian, tetapi juga tidak terdengar sorak-sorai. Namun, tampak adanya sikap yang mendekat tidak acuh di satu pihak, dan ambivalensi di pihak lain, terhadap paket 6 Mei ini. Pandangan yang dapat direkam, sejauh ini, cukup bervariasi. Ada yang melihat paket ini cuma sebagai salah satu dari paket-paket yang dikeluarkan pemerintah yang "hangat hanya pada permulaan" saja, lalu memutuskan untuk bersikap wait and see, tanpa banyak berkomentar. Ada pula yang menganggap paket ini salah alamat, karena sama sekali tidak ditujukan pada masalah yang sebenarnya dihadapi ekonomi Indonesia dewasa ini, yaitu keluar dari kelesuan ataupun lebih jauh dari itu, yaitu perlunya perombakan struktural. Tidak pula sedikit yang mengharapkan paket ini menjadi paket penentu ke arah liberalisasi ekonomi. Bagi kelompok ini, paket 6 Mei jauh dari memadai, bahkan mungkin merupakan ciuman kematian (a kiss of death) bagi liberalisasi di Indonesia, bila ternyata tindakan setengah-setengah itu dianggap mengorbankan dunia usaha nasional demi ruang gerak modal asing yang lebih besar, atau memeras konsumen dalam negeri demi keuntungan produsen untuk ekspor yang toh akan didominasi modal asing. Sebagai suatu paket kebijaksanaan, keputusan-keputusan tanggal 6 Mei itu perlu dilihat dari kedua sisinya, yaitu jiwa dari kebijaksanaan tersebut dan efektivitasnya sebagai instrumen kebijaksanaan. Sering kali jiwa suatu kebijaksanaan tidak dapat diterjemahkan dalam instrumen yang efektif. Bisa juga serangkaian keputusan operasional itu sulit dimengerti karena jiwanya kurang dapat dipahami. Ada terekam kebingungan masyarakat mengenai jiwa paket 6 Mei ini. Apalagi setelah seorang menteri memberikan berbagai kualifikasi mengenai pelaksanaannya, inti kebijaksanaan itu kelihatan semakin kabur. Jiwa paket 6 Mei itu adalah suatu paksaan tidak langsung terhadap produsen nasional untuk meningkatkan efisiensi. Cara yang dipakai, yaitu instrumennya, adalah dengan memasukkan kompetisi internasional melalui sebagian sektor kegiatan ekonomi nasional. Di satu pihak diterapkan diskriminasi terhadap sektor produksi bagi pasar dalam negeri, dengan memberikan berbagai fasilitas bagi sektor produksi buat pasar ekspor guna merangsang ekspor nonmigas. Di pihak lain, kehadiran modal asing yang lebih besar diharapkan dapat memacu produsen-produsen dalam negeri untuk meningkatkan daya saingnya. Perlakuan diskriminatif di atas bisa dibenarkan dari segi ekonomi, apakah itu dilakukan melalui mekanisme harga-harga atau melalui tindakan administratif. Pembenaran itu juga masih berlaku walaupun penggalakan sektor ekspor tersebut bebannya sepenuhnya ditanggung oleh sektor domestik. Artinya, konsumen dalam negeri menyubsidi produsen untuk ekspor. Ini terjadi bila produsen hulu dalam negeri menyerahkan produknya kepada produsen hilir untuk ekspor dengan harga yang lebih rendah daripada kepada produsen hilir untuk pasar dalam negeri. Paket 6 Mei memang tidak mengharuskan ini tetapi berusaha memaksakannya melalui kran impor. Beban diskriminasi itu jelas ditanggung konsumen dalam negeri, yang memang diharapkan bersemangat patriotik itu, demi terciptanya industri dalam negeri yang tangguh di hari yang akan datang. Prinsip ini telah diterapkan di Jepang dan di Korea, dan kedua negara itu telah dapat mengembangkan sektor ekspor yang tangguh sembari memberikan perlindungan yang tidak kecil kepada industri dalam negeri mereka. Masalahnya, sejauh mana beban masyarakat itu dapat dianggap sebagai ongkos yang wajar. Apakah ongkos yang dikeluarkan itu benar-benar membiayai proses bagi produsen nasional, dan pantas dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh masyarakat di kemudian hari sebagai akibat proses belajar tersebut? Argumentasi industri kanak-kanak (infant industry argument) yang terkenal itu memang punya pembenaran ekonomisnya, walaupun tetap saja kontroversial, karena secara empiris jarang ditemukan bukti terjadinya proses kedewasaan di bawah suatu rezim proteksi yang terus-menerus. Proteksi yang berlebihan banyak dibicarakan, tetapi juga dipertanyakan bentuk-bentuk pengaturan yang dianggap menumbuhkan kegiatan pemburuan rente (rent-seeking activities), seperti terjelma dalam monopoli-monopoli ataupun sistem tata niaga impor. Pola-pola pengaturan itu sendiri tidak harus bersifat negatif bagi proses pembangunan ekonomi. Bertentangan dengan yang diajarkan buku-buku teks, bisa ditunjukkan bahwa ekonomi Jepang telah dibangun melalui pengaturan produksi dan pasar yang bersifat oligopolistis. Namun, cara pengaturan yang diterapkan tidak memungkinkan tumbuhnya kelompok pemburu rente, tetapi mendorong usaha-usaha yang berorientasi pada pemburuan keuntungan (profit-seeking activities). Ini berbeda dari kegiatan pemburuan rente, tempat para pemegang lisensi hanya bergoyang kaki dan mendapat keuntungan semata-mata dari pemlikan lisensi itu, dan bukan dari kegiatan usaha yang produktif. Lahirnya tuntutan-tuntutan liberalisasi di Indonesia sangat berkaitan dengan kekhawatiran akan proliferasi kegiatan pemburuan rente itu. Alasannya sederhana: keterlibatan pemerintah yang berlebihan melalui pengaturan dengan cara pembagian lisensi merupakan biang keladi berkembangnya kelompok pemburu rente. Tetapi liberalisasi yang ditujukan untuk mematikan parasit-parasit itu, bila dilakukan secara indiskriminatif, bisa menghancurkan seluruh pohonnya. Ini memang dilemanya. Apakah liberalisasi bisa dilakukan setengah-setengah? Apakah setengah-setengah, atau secara total, liberalisasi itu merupakan suatu proses? Jelas, proses ini cukup sulit. Di Amerika Latin, belum ada negara yang berhasil melalui proses ini. Di Asia, kini Korea Selatan sedang bergulat dengan proses liberalisasinya, dan ditantang untuk membuktikan bahwa proses itu secara terencana dapat dilaksanakan secara partial. Paket 6 Mei itu juga bersifat partial, tetapi tidak bisa dilihat sebagai bagian dari suatu proses liberalisasi yang direncanakan. Kalaupun ada tindakan-tindakan liberalisasi di Indonesia, sejak dahulu tindakan serupa itu lebih bersifat reaktif daripada terencana. Menurut observasi Dr. Hidayat dari Universitas Padjadjaran, kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi di Indonesia telah berubah-ubah seperti pendulum, dan mengalami siklus yang teratur - "siklus Hidayat" dari ekstrem yang satu ke ekstrem yang lain. Seperti yang dinyatakan pemerintah, paket 6 Mei ini dimaksudkan untuk lebih mendorong kegiatan sektor swasta di bidang ekspor nonmigas dan di bidang penanaman modal. Sebagai kebijaksanaan partial, ia bisa diibaratkan membuka jendela di kamar tertentu saja dari sebuah rumah, dan berharap bahwa angin segar yang masuk itu akan dapat mempengaruhi udara yang ada di kamar-kamar yang lain. Inilah inti paksaan tidak langsung yang disebut tadi. Dan keberhasilan kebijaksanaan ini akan bergantung pada dua hal. Pertama, apakah angin segar itu mau masuk melalui jendela yang dibuka itu? Kedua, apakah pintu-pintu antara kamar-kamar lainnya bersedia dibuka atau tidak? Undang-undang penanaman modal asing Republik Sosialis Vietnam yang baru merupakan contoh di mana angin segar itu sulit diharapkan masuk, karena pintu-pintu antara kamar-kamar lainnya tidak dibuka. Undang-undang itu juga ingin menggalakkan kegiatan modal asing dalam apa yang biasa dikenal sebagai export processing zones (EPZ). Dalam paket 6 Mei gagasan serupa terjelma dalam apa yang disebut kawasan berikat (bonded zone). Kawasan berikat ini hanya punya arti bila ia mempunyai keterkaitan dengan ekonomi nasional. Seperti dialami di banyak negara, ia cuma bersifat numpang lewat - angin dari luar itu masuk dari jendela yang satu dan langsung keluar dari jendela lain di kamar yang sama. Bagaimanapun, paket 6 Mei ini harus dibuat berhasil. Untuk itu mungkin tidak banyak yang perlu dilakukan apabila pemerintah dapat memberikan jaminan bahwa kebijaksanaan yang diambil tersebut dapat diandalkan dan bersifat langgeng. Soalnya, di waktu lalu ada kasus-kasus yang di dalamnya ketentuan berdasarkan undang-undang yang mendasari suatu usaha dapat diubah oleh suatu surat keputusan (SK) saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus