Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAIFUDDIEN Hasan kini bisa sedikit lega. Mantan Direktur Utama Bank Negara Indonesia ini, bersama dua koleganya, Rachmat Wiriaatmadja (mantan direktur treasury dan internasional) dan Suryo Sutanto (mantan direktur korporasi), tak perlu lagi meringkuk di rumah tahanan Tanjung Gusta, Medan, Sumatera Utara.
Tak banyak yang tahu, memang, ruang berukuran enam kali tiga meter, yang sempat dihuninya bersembilan sejak 14 Juli lalu, itu telah ditinggalkannya sejak Jumat dua pekan lalu. Sehari sebelumnya, Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara mengabulkan permintaan penangguhan penahanan ketiga mantan Direktur BNI itu.
Namun, belum berarti urusan beres. Menurut kuasa hukum BNI, Hisar Tambunan dari kantor pengacara Remy & Darus, kasus dugaan korupsi dalam pengucuran kredit ke PT Industries Badja Garuda (IBG) yang didakwakan kepada ketiga mantan petinggi BNI itu kini dilimpahkan ke Kejaksaan Agung. ”Mungkin akan dilakukan pendalaman lebih lanjut,” katanya.
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Hendarman Supandji, membenarkan penangguhan penahanan dan pengalihan perkara itu ke Gedung Bundar. Alasannya, dari hasil pemeriksaan Kejaksaan Tinggi, ”locus delicti dan saksi-saksi berada di Jakarta.” Kini proses pemeriksaan sudah rampung. ”Tinggal pemberkasan,” ujarnya.
Menurut petugas piket jaga rumah tahanan Tanjung Gusta, Sumali, selain ketiga mantan Direktur BNI itu, mantan Direktur Utama Badja Garuda Paul Candra Limiarto juga sudah meninggalkan ruang tahanan. ”Sejak kemarin (Kamis—Red) pukul 18.00, dialihkan menjadi tahanan kota,” katanya sambil memperlihatkan buku piket kepada Tempo, Jumat lalu.
Kebijakan baru ini tentu amat melegakan ketiga mantan Direktur BNI itu. Maklum, ketiganya sempat shocked ketika secara tiba-tiba ditetapkan sebagai tersangka dan langsung ditahan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, dua setengah bulan lalu. ”Tekanan darah kami sempat naik saat diperiksa dokter,” kata Saifuddien dari ruang tahanan sebulan lalu, ketika dihubungi Tempo lewat telepon selulernya.
Tapi ia memilih bungkam ketika ditanyakan duduk perkara kasus ini. Soal penangguhan penahanannya, Saifuddien pun saat dihubungi kembali pekan lalu tak mau berkomentar banyak. ”Saya sudah menyerahkan semuanya kepada kuasa hukum,” ujarnya pendek.
Saifuddien bersama Rachmat Wiriaatmadja dan Suryo Sutanto ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara karena dinilai tersangkut kredit macet Badja Garuda, Medan. Ketiganya langsung ditahan pada 14 Juli malam, setelah seharian diperiksa sebagai saksi.
Kasus ini bermula ketika tiga tahun lalu, tepatnya Juli 2002, BNI mengambil alih tagihan piutang (cessie) Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) ke Badja Garuda senilai Rp 427 miliar.
Utang perusahaan pengolah baja itu dibeli BNI lewat tender yang digelar BPPN melalui perusahaan perantara (fronting company) PT Bahtera Tjipta Sakti senilai Rp 104 miliar. Ditambah biaya take over, pajak, dan lainnya, kredit investasi yang dikucurkan BNI untuk transaksi ini menjadi sekitar Rp 145 miliar.
Untuk menjalankan roda perusahaan, bank pelat merah ini pun mengucurkan kredit modal kerja Rp 50 miliar. Total dana yang dikucurkan BNI sekitar Rp 195 miliar.
Persoalan muncul ketika belakangan pembayaran utang Badja Garuda macet. Kejaksaan pun mengendus adanya patgulipat dalam pengucuran kredit ini, yang dinilai merugikan negara.
Tudingan didasarkan pada proses kilat keputusan pengambilalihan utang Badja Garuda yang hanya sepekan. Aparat menilai BNI tak layak mengucurkan dana segar berupa kredit modal kerja Rp 50 miliar ke Badja Garuda. Alasannya, produsen seng, pipa, dan paku ini pernah mengalami kredit macet sehingga harus terdampar di BPPN.
Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh pernah menyatakan, dalam kasus ini telah terjadi pelanggaran atas asas kehati-hatian perbankan dalam penyaluran kredit. Juru bicara Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, A.J. Ketaren, bahkan menyebutkan kasus ini menyangkut dugaan penyalahgunaan kredit BNI senilai Rp 500 miliar.
Sebanyak 15 saksi telah diperiksa kejaksaan tinggi, termasuk dua Kepala Divisi BNI: M. Asrof (kepala divisi korporasi) dan Djarot Ramelan (kepala divisi investasi jasa keuangan). Sedangkan Bobby Pitoy, Komisaris Badja Garuda, hingga kini masih buron.
Sekretaris Perusahaan BNI, Intan Abdams, menolak mengomentari jalannya pemeriksaan oleh kejaksaan. ”Kami menghormati proses hukum yang sedang berjalan,” katanya. Namun, sejumlah orang dalam BNI sesungguhnya menilai, langkah kejaksaan janggal karena proses pembelian hak tagih utang Badja Garuda telah dilakukan sesuai dengan prosedur.
Menurut sumber di BNI tersebut, keputusan itu dibuat dalam rapat lengkap dewan direksi, setelah mendengar masukan dari sejumlah divisi (lihat: Kredit Berbuah Petaka). ”Ini mungkin satu-satunya (pembelian utang) yang diputuskan lewat rapat direksi,” tuturnya.
Lagi pula, kata orang dalam BNI itu, hak tagih atas utang Badja Garuda senilai Rp 427 miliar dibeli lewat mekanisme tender dengan sangat murah, yaitu Rp 104 miliar. ”Jadi, ada peluang keuntungan yang cukup besar buat BNI.” Pembeliannya pun sebagian besar menggunakan obligasi pemerintah di BNI. ”Hanya 20 persen yang dibayar cash,” ujarnya.
Terlepas dari itu, sumber lainnya di bank itu mengatakan, sebetulnya BNI tak sepenuh hati mengikuti tender BPPN. Apalagi Bank Indonesia sudah mewanti-wanti perbankan agar berhati-hati membeli aset BPPN yang berasal dari bank-bank yang telah dilikuidasi setelah dihantam krisis ekonomi 1997.
Tapi, persoalannya, saat itu semua bank pemerintah ”diimbau” untuk menyukseskan program obral aset BPPN guna menambal bolong anggaran negara. Tak ada jalan lain, BNI pun mesti ikut urunan. ”Eh, sekarang malah disalahkan,” ujarnya jengkel.
Dalam surat yang dikirimkan ke Badan Pengawas Pasar Modal, pada 18 Juli, Sekretaris Perusahaan BNI, Maruli Pohan (kini kepala divisi pengelolaan risiko dan kebijakan perusahaan), mengakui tagihan kredit Badja Garuda itu belakangan memang macet.
Enam bulan setelah aset kredit itu dibeli, Badja Garuda mulai menunggak pembayaran bunga utang. Bahkan sejak November 2003, kolektibilitas kredit ini sudah harus dikategorikan macet.
Di tengah jalan, ternyata juga terjadi penyimpangan penggunaan fasilitas kredit modal kerja senilai Rp 12,75 miliar. Dana itu digunakan manajemen Badja Garuda untuk kepentingan lain tanpa seizin BNI. Salah satunya untuk pembelian rumah tinggal di Malibu Estate, Medan, senilai Rp 6 miliar.
Masalah lain yang kabarnya kini tengah ditelisik yaitu kejelasan biaya lain-lain yang dikeluarkan BNI saat membeli aset kredit Badja Garuda dari BPPN senilai Rp 23,3 miliar. ”Bisa dipertanggungjawabkan atau tidak dana ini?” kata sumber di BNI itu. Nah, melihat banyaknya persoalan itu, bisa jadi pemeriksaan bakal kian lebar.
Cerita menarik juga terselip di balik kasus ini. Kabarnya, Habil Marati, anggota DPR dari Fraksi Persatuan Pembangunan, ikut tersangkut-paut dalam persoalan kredit macet ini.
Dialah, kata sumber Tempo, yang menemani Bobby Pitoy saat menemui Saifuddien pada 5 Juli 2002. Diantar Direktur Kepatuhan BNI, Mohammad Arsyad, Bobby saat itu bermaksud meminta kredit dari BNI untuk menebus utangnya di BPPN.
Ketika ditanyakan soal ini, Habil membantah pernah menemani dan mengenal Bobby Pitoy. Ia pun mengaku tak tahu-menahu kasus ini. ”Fitnah itu,” katanya. Bahkan ia mengaku sudah tiga kali pengajuan kreditnya ditolak BNI. ”Bagaimana saya mau bawa orang?” ujarnya, ”Bawa diri sendiri saja ditolak.”
Ihwal keterlibatan Habil, Hisar menyatakan, sejauh ini namanya tak disebut-sebut dalam pemeriksaan. Ia juga menegaskan, direksi tak bersalah sama sekali. Mereka hanya memberi persetujuan BNI ikut tender dan tidak terlibat langsung dalam proses pembelian kredit. Karena itu, ia optimistis, ”Telah terjadi error in persona.” Dengan kata lain, terjadi kesalahan penetapan tersangka.
Metta Dharmasaputra, Yura Syahrul, Dian Yuliastuti, Hambali Batubara (Medan)
Kredit Berbuah Petaka
Pengambilalihan kredit PT Industries Badja Garuda (IBG) oleh BNI tiga tahun lalu berbuah petaka. Tiga mantan Direktur BNI sempat ditahan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. Berikut ini proses kucuran kredit itu.
2002 5 Juli Komisaris IBG Bobby Pitoy dan anggota DPR, Habil Marati, dihantar Mohammad Arsyad (Direktur Kepatuhan BNI) menemui Saifuddien Hasan (Dirut BNI). Bobby bermaksud mengajukan kredit dari BNI untuk menebus utangnya ke BPPN senilai Rp 427 miliar. Turut hadir dari Divisi Korporasi dan Divisi Investasi Jasa Keuangan BNI.
8 Juli Konsultan PT Piesta Dinamika Consult presentasi di Divisi Investasi BNI. Hadir Djarot Ramelan (Kadiv. Investasi) dan Mohammad Asrof (Kadiv. Korporasi). Kesimpulannya, piutang BPPN ke IBG layak untuk diambil alih. Djarot mengeluarkan memo nomor IJK/3/7404 untuk M. Asrof soal surat keputusan kredit.
9 Juli Keluar surat memorandum pengambilalihan utang IBG yang disiapkan oleh divisi analisis risiko kredit. Memorandum pengusulan kredit disiapkan oleh divisi korporasi.
10 Juli Rapat direksi BNI, di antaranya hadir Saifuddien, Suryo Sutanto, dan Rachmat Wiriaatmadja, menyetujui pengambilalihan utang IBG. Syaratnya dilakukan pemeriksaan lapangan ke Medan dan mencari informasi integritas nasabah (IBG).
11 Juli Surat keputusan kredit investasi untuk IBG terbit dengan plafon Rp 150 miliar. BNI lewat perusahaan perantara, PT Bahtera Tjipta Sakti, keluar sebagai pemenang lelang pembelian utang IBG ke BPPN (Rp 303,7 miliar dan US$ 12,6 juta) dengan harga Rp 104 miliar (ditambah biaya lain-lain dan pajak menjadi Rp 143,7 miliar). IBG sebelum merger bernama PT Industri Badja Berlian Utama dan PT Industri Galvaneal Mas.
22 Juli Kunjungan lapangan ke pabrik di Medan, Sumatera Utara.
18 Oktober Penandatangan perjanjian pengalihan tagihan kredit (cessie) dari PT Bahtera ke BNI. BNI memberikan tambahan kredit modal kerja ke IBG dengan plafon Rp 50 miliar.
24 Oktober Konsultasi dengan dewan komisaris atas pemberian fasilitas kredit di atas Rp 50 miliar.
2003 Januari IBG selaku debitor mulai menunggak pembayaran bunga ke BNI.
November Kolektibilitas kredit IBG dikategorikan macet (kategori V).
2004 Aktivitas produksi IBG berhenti total.
2005 10 Juni Kredit macet IBG diserahkan ke Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara.
14 Juli Tiga mantan direksi BNI diperiksa dan ditahan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara.
28 September Kepada Tempo Habil Marati membantah terlibat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo