Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA pagi hari 1 Oktober 1965 itu saya duduk membaca di sebuah kamar tempat saya menginap, rumah seorang teman, dan tiba-tiba di radio terdengar sebuah pengumuman: sebuah ”Dewan Revolusi” telah dibentuk, untuk—kalau saya tak salah ingat—menyelamatkan Revolusi.
Saya, dalam umur 24 tahun, merasa bahwa sejarah Indonesia sedang berubah mendadak. Pagi itu saya berdebar-debar. Apa yang sedang terjadi? Apa yang akan terjadi?
Indonesia penuh dengan kata-kata gemuruh. ”Ganyang” dan ”kremus” jadi bagian dari bahasa politik yang menyusup ke percakapan sehari-hari. Kata ”Revolusi” mempesona, menggetarkan, dan sekaligus sebenarnya tak jelas. Bila di dalamnya terkandung kekerasan (”menjebol”, dalam bahasa yang bergema masa itu, adalah bagian hakiki dari ”Revolusi”) orang ramai tampaknya menerimanya—meskipun kian lama kian tak jelas benar adakah Revolusi sebuah cara atau sebuah tujuan.
Membangun masyarakat yang ”adil dan makmur” memang selamanya disebut sebagai tujuan, tapi kedua kata itu juga—seperti kata ”Revolusi” sendiri—ibarat bagian sebuah mantra, gelombang verbal dengan daya yang membuat orang, termasuk saya, tergerak, tanpa bertanya apa gerangan maknanya.
Mungkin makna, dalam arti sesuatu yang ”dimengerti”, merupakan hal yang tak perlu lagi di situ. ”Makna” mungkin telah sama dengan efek psikologis yang terjadi dalam diri saya dan yang mempengaruhi cara saya memandang sekitar. Dan dalam pengertian ini ”Revolusi” telah jadi sejenis mitos: ia penuh ”makna”, dan pada saat yang sama tak begitu penting benar-benarkah itu pernah, sedang terjadi, atau akan terjadi.
Maka agak terkesima saya, ketika saya dengar sebuah ”Dewan Revolusi” muncul. Tampaknya ”Revolusi”, sebagai mitos, akan diwakili oleh suatu sosok yang konkret, dan akan bergerak sebagai aksi yang konkret pula. ”Revolusi”, yang selama sebelum itu ”hadir” seakan-akan sebagai sebuah cakrawala sejarah—yang mengimbau tapi tak kunjung hadir—tiba-tiba jadi suatu peristiwa dan laku yang aktual. Dan demikian pula kiranya ”kontrarevolusi”.
Bila di dalamnya ia tersirat kekerasan, maka kekerasan itu pun bagian dari kehadiran yang aktual itu.
Dan kemudian itulah yang terjadi. Orang dibunuh, disiksa, dipenjarakan, dan dibuang; orang saling mencurigai, saling membenci, dan saling memfitnah. Mereka bukan lagi bagian mitos, melainkan tetangga kita, saudara kita, kenalan kita, atau kita sendiri.
Sejak itu, Indonesia terguncang. Bangsa, yang oleh Bennedict Anderson disebut sebagai ”komunitas yang dianggit”, imagined community, terjerembap. Maka bersama ”Revolusi”—apalagi ”revolusi” yang hadir konkret—serta-merta terungkaplah bahwa anggitan yang terbangun dalam bentuk ”bangsa” itu mengandung sesuatu yang tak satu. Di satu sisi: imbauan yang bersifat universal—dalam arti mengetuk hati siapa saja dan kapan saja, bahkan termasuk mereka yang berada di luar wilayah komunitas itu. Tapi, di sisi lain, sang penganggit sebuah sosok yang partikular, ”sepihak”, hanya sebagian atau segolongan dalam konstelasi seluruh ”anggota”-nya.
Dalam proses itu tersembunyi konflik. Tak terelakkan kiranya: tak ada sebuah komunitas yang tak melewati persaingan untuk memperoleh identitatasnya. Tiap konflik meniscayakan beroperasinya kekuasaan, sebab satu pihak yang partikular—apakah itu Bung Karno, atau militer, atau orang-orang nasionalis, komunis, maupun Islam—pasti tak akan bisa secara lurus, lancar, dan otomatis memenuhi imbauan yang universal tadi. Ketika satu golongan mencoba mengaktualkan diri sebagai sang ”penganggit”, golongan lain akan menawar atau, bila kekerasan yang dipilih, akan melawan.
Memang traumatik tahun 1965 dan tahun-tahun setelah itu. Tapi itu juga masa yang membongkar apa yang tersembunyi dalam setiap kesatuan dan persatuan, juga yang dibayangkan dalam kata ”Revolusi”. Yang muncul adalah kenyataan bahwa kesatuan dan persatuan itu mustahil lahir dari mantra. Dalam apa yang disebut Bung Karno sebagai samenbundelen van alle revolutionaire krachten (berpadunya semua kekuatan revolusioner) tersimpan retakan-retakan dalam ruang dan waktu.
Sebagai sesuatu yang dalam ruang dan waktu, mereka dapat berubah dan aktornya tak selalu sama. Ada masanya retakan itu tampak seperti celah di antara anyaman bambu. Ada masanya ia tampak seperti luka.
Maka apakah sebuah identitas sebenarnya, selain sebuah snapshot dari sosok dan wajah yang terus-menerus dalam proses ”menjadi”? Sewaktu-waktu, katakanlah satu atau dua dasawarsa, sosok dan wajah itu tampak ”jadi”. Tapi kemudian yang tak simetris pun muncul. Sebuah identitas hanyalah sebuah himpunan hasil identifikasi imajiner yang muncul susul-menyusul.
Tak berarti ilusi tentang sebuah ”identitas yang sudah utuh” hanya sebuah khayal yang hasilnya negatif. Justru dalam ilusi tentang keutuhan itu tersimpan daya yang membuat tiap segmen dalam sebuah bangsa mampu menjangkau dan menjabat tangan golongan yang lain. Komunitas pun dianggit—meskipun tak akan pernah stabil dan final.
Kini, 40 tahun setelah 1 Oktober 1965, semua itu sempat ditengok kembali: adanya retak-retak, dari mana pluralitas tampak, bukanlah sebuah pilihan. Itu adalah nasib dan itu juga kemungkinan. Mitos ”Revolusi” ingin menafikan nasib itu, dalam kekerasan, dengan kekerasan. Tapi gagal.
Itulah sebabnya pluralisme lahir; ia sebenarnya sebuah gagasan tentang keterbatasan manusia. Jika dilihat demikian, ada kearifan yang tumbuh ketika kita ”menjadi Indonesia”—meskipun pada tahun 2005, Majelis Ulama Indonesia, yang menganggap pluralisme sejenis dosa, telah mengkhianatinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo