Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Setelah Angin Profesionalisme ...

Dirut PT Timah digantikan dari Sudjatmiko kepada Kuntoro Mangkusubroto. Sudjatmiko berhasil menyelamatkan PT Timah dari kebangkrutan setelah ada restrukturisasi. Keuntungan akan mencapai Rp 90 milyar.

30 Desember 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELAMA satu setengah tahun lebih, Ginandjar Kartasasmita menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan Energi, upacara pergantian pejabat penting di lingkungan departemennya terus menggelinding. Ketika Faisal Abda'oe menggantikan A.R. Ramly sebagai Dirut Pertamina, tahun lalu, orang mulai melihat bahwa Ginandjar sedang meniupkan napas profesionalisme. "Saya sangat menghargai orang-orang muda yang giat mengembangkan profesionalisme," katanya, seusai upacara pengalihan tongkat jabatan Dirut PT Timah dari Sudjatmiko kepada Kuntoro Mangkusubroto, Rabu pekan lalu. Kuntoro, 42 tahun, baru 20 bulan menjabat sebagai Dirut PT Tambang Batubara Bukit Asam (TBBA), Sumatera Selatan, sebelum ditarik ke PT Timah. Doktor lulusan ITB ini berhasil membutikan kemampuannya di TBBA dengan menggenjot produksi batu bara di Bukit Asam, dan bahkan sudah mulai mengekspor. "Tapi, soal timah gua belum tahu apa-apa," kata Kuntoro, yang suka nyeplos, dalam dialek Betawi seusai dilantik Ginandjar. Sudjatmiko, 62 tahun, yang sudah 5,5 tahun memimpin PT Timah, ketika diserahi memegang pos yang sebelumnya diduduki A.R. Ramly ini pada 1984, mendapat tugas khusus menyelamatkan perusahaan tersebut dari kebangkrutan. Maklum, pada saat itu harga timah lagi jatuh, dan PT Timah terlalu sarat dengan karyawan. Dengan 29.000 karyawan, ketika itu, PT Timah menjadi penampung tenaga kerja kedua terbesar setelah Pertamina. Tanpa melakukan PHK, selama 1984-1989 Sudjatmiko berhasil merampingkan personalia PT Timah sampai tinggal 25.000 orang. Sepanjang tahun-tahun itu pula, rapor Sudjatmiko bersih, tak ada merahnya. Sudjatmiko berhasil mendirikan pabrik zat asam di Batu Ampar. Selain dipakai untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, juga diekspor. Bahkan di Cilegon, bekerja sama dengan Krakatau Steel, PT Timah mendirikan pabrik pembuat pelat timah, PT Latinusa. Pabrik pembuat bahan baku kaleng kemasan ini telah mengekspor produknya, antara lain ke Irak dalam rangka perdagangan imbal beli Indonesia-Irak. Padahal, ketika Sudjatmiko ditugaskan sebagai Dirut PT Timah, harga timah ditandai anjlok dari US$ 12.500 per ton jadi US$ 5.300 per ton. Timah Indonesia, yang ongkos produksinya ketika itu mencapai US$ 10.500 per ton, bukannya mendatangkan untung, malah membuat PT Timah buntung. Sampai-sampai anggaran perusahaan 1984-1985 sebesar Rp 300 milyar hampir impas dengan devisa timah 1983, yang bernilai sekitar Rp 320 milyar. Jatuhnya harga timah ini terutama karena berlebihnya pasok di pasaran, dan melemahnya permintaan akibat banyak kemasan yang memakai bahan baku pelat timah diganti dengan kardus, plastik, atau aluminium. Pelan-pelan restrukturisasi ongkos produksi dilakukan Sudjatmiko sampai akhirnya jadi US$ 6.800 per ton. Pertengahan 1989, harga timah di pasar internasional sudah bertengger di atas US$ 10 ribu per ton, tapi belakangan merosot lagi sampai sekitar US$ 6.700 dan US$ 6.800 per ton. "Saya belum mendapat laporan sebab-sebab kemerosotan harga timah belakangan ini. Apakah ini sifatnya temporer, karena menjelang tutup tahun, permintaan melemah, atau sudah struktural. Kita berani kuota kita dipotong secara proporsional, kalau memang alasannya struktural," ujar Ginandjar. Jika harga timah masih lembek dalam beberapa bulan mendatang, Ginandjar akan mengusulkan kepada organisasi negara-negara penghasil timah (ATPC), supaya pembagian kuota bisa disesuaikan dengan Supply Rationalization Scheme (SRS)-4 -- kesepakatan baru mengenai kuota. Karena kuota ekspor tujuh anggota ATPC (Australia, Bolivia, Indonesia, Malaysia, Nigeria, Muangthai, dan Zaire) yang ditetapkan pada SRS-3 sebesar 106.400 metrik ton, akan berakhir Februari depan. Pada SRS-3, Indonesia memperoleh jatah produksi 31.500 metrik ton -- sama dengan rencana produksi Brasil. Kabarnya, Indonesia justru tak memenuhi kuota itu. "Buat apa memenuhi kuota kalau harga sedang turun," ujar Ginandjar, yang di kalangan organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) dikenal sebagai penengah negara-negara anggota yang berseteru. Ada yang menduga turunnya harga timah belakangan ini karena, lagi-lagi, ada kelebihan suplai di pasaran timah internasional. Kabarnya Brasil, yang membanjiri pasar timah sekitar 43.000 ton, jadi biang kerok jatuhnya harga timah sekarang. Selain itu, spekulasi pedagang timah internasional, yang juga mendorong kemerosotan harga timah sekarang, sudah mulai kentara sejak Agustus lalu. Karena kuota ditetapkan untuk jangka waktu sepuluh bulan, maka monitoring harga jadi terlalu lama. Barangkali karena diilhami tradisi sidang OPEC dua kali setahun, Ginandjar pernah mengusulkan supaya kuota timah juga bisa dievaluasi lebih sering. "Bagi saya, pengawasan ekspor dengan tenggang waktu cukup lama itu, semakin lama semakin sulit memonitor dan mempertahankannya," ujar Ginandjar di Koperensi ATPC di Bangkok, Oktober lalu. Ginandjar mengusulkan supaya dalam SRS-4, stok mengambang timah mesti bisa diturunkan dan pembagian jatah harus didasarkan pada kemampuan terakhir para anggota. Stok timah pada 1987 mencapai 73.000 metrik ton, kini telah berkurang jadi sekitar 25.500 metrik ton. Kebutuhan timah dunia yang mencapai 182.000 ton, sekitar 60% di antaranya disuplai oleh tujuh negara anggota ATPC itu. ATPC didirikan pada 1983, dengan maksud untuk mengatur pasok timah yang wajar bagi kebutuhan konsumen. Sembilan puluh lima persen produksi timah Indonesia masih dilempar di pasar luar negeri. Karena kemampuan pasar dalam negeri masih sangat terbatas, sebagian besar produk hanya diserap untuk bahan baku pembuat pelat timah dan solder. Sekalipun demikian, pada 1989, keuntungan yang diraih PT Timah diperkirakan akan mencapai Rp 90 milyar, Rp 63 milyar di antaranya bakal masuk ke penerimaan negara. Laba tahun ini jauh melebihi laba yang diperoleh tahun sebelumnya, sekitar Rp 14,4 milyar. Pada akhir Pelita IV (1988-1989), perkiraan produksi timah yang dibuat Bappenas sekitar 28,3 ribu ton, 26,12 ribu ton di antaranya dipasarkan di luar negeri. Pada tahun pertama Pelita V (1989-1990), timah produksi Indonesia akan mencapai 29,95 ribu ton, 29 ribu ton diekspor. Dengan produksi sebesar itu, Indonesia sudah kembali bertengger di jajaran produsen timah terbesar dunia bersama Brasil, Malaysia dan Bolivia. Tapi, prestasi tambang timah Indonesia, yang pernah mencapai puncaknya dengan total produksi 53,4 ribu metrik ton pada 1941, agaknya, tak mudah diulangi. Bachtiar Abdullah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus