Pengalihan HPH dilarang, tapi banyak terjadi transaksi bawah tangan. Ada bursa HPH dan Prajogo memanfaatkannya. JULUKAN "zamrud khatulistiwa" yang dipersembahkan Max Havelaar kepada Indonesia agaknya sudah tidak cocok lagi. Hutan yang bagaikan manikam hijau kini berubah menjadi merah meranggas. Perubahan itu terjadi bersamaan dengan gelombang eksploitasi hutan di negeri ini. Tak bisa dipungkiri, hilangnya zamrud hijau berkaitan erat dengan pemberian HPH (hak pengusahaan hutan) kepada pengusaha yang jumlahnya kini ada 558 orang. Benar, belakangan Pemerintah lebih ketat membagi-bagi HPH -ada dana reboisasi 10 dolar, dan lain-lain. Tapi kehijauan hutan sudah telanjur sirna. Sikap pemegang HPH juga telanjur bebas merdeka. Menurut peraturan, HPH tidak boleh dipindahkan kepada orang lain, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Penjualan HPH di bawah tangan belakangan menjadi bursa baru di kalangan pengusaha. Kabarnya, harga HPH bisa naik turun, sesuai dengan naik turunnya harga kayu kita di pasar internasional. Tapi sampai kini belum ada pengusaha yang terkena sanksi karena ulah bisnis semacam itu. Kalau dilihat jumlah HPH yang diberikan Pemerintah, jelas bahwa penjualan HPH di bawah tangan memang ramai. Coba saja. Sampai saat ini Pemerintah telah mengeluarkan 558 SK HPH untuk areal seluas 60 juta hektare. Tapi pengusaha hutan yang benar-benar terjun di bidang kehutanan tak lebih dari 100. Lalu ke mana pemilik HPH lainnya? Itulah yang disebut "pengusaha tidur" alias sleeping partner. Mengapa keanehan itu bisa terjadi? Mungkin karena untuk satu hektare HPH, mereka hanya diwajibkan membayar uang pengganti kepada Pemerintah Rp 1.500. Nah, daripada terseok-seok masuk hutan dan menanggung rugi akibat jatuhnya harga kayu di pasaran dunia, akan lebih aman menjual HPH dan mendapat bagian US$ 8 atau Rp 16.000 untuk setiap meter kubik kayu. Bila setiap hektare menghasilkan 50 meter kubik, pemilik HPH akan mengantongi uang Rp 800.000. Kini penjualan HPH di bawah tangan bukan rahasia lagi. PT Taliabu Timber, misalnya. Perusahaan yang mempunyai HPH seluas 125.000 hektare di kawasan Taliabu, Maluku Utara, ini dua tahun lalu telah menjual HPH-nya kepada pengusaha Projogo Pangestu. Boleh jadi, penjualan itu dilakukan karena Pemerintah menerapkan larangan ekspor log pada 1985. "Karena kita sudah tua-tua dan tidak kuat lagi, ya akhirnya kita jual," ujar Ahmad Husein, salah seorang pemegang saham Taliabu Timber. Entah berapa nilai transaksi yang diterima Taliabu dari Prajogo. Yang pasti, kini Ahmad Husein melewatkan hari tuanya dengan mengurus mixed farming di Cijagur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Selain dari Taliabu Timber, kabarnya Prajogo juga mengambil alih HPH dari perusahaan lain, seperti PT Sangkulirang, Tunggal Group, dan Limbang. Belum lama ini, Prajogo juga mengambil alih 50% saham PT Sumalindo, milik William Soeryadjaya. "Kami waktu itu kesulitan uang. Tapi manajemen masih kita yang pegang," ujar seorang direksi Sumalindo. Kini Prajogo dengan Barito-nya diperkirakan menguasai HPH untuk 5 juta hektare. Tapi sumber resmi di Departemen Kehutanan menyebutkan, PT Barito Pacific hanya memegang 31 HPH untuk areal 2,7 juta hektare. Sementara itu, Menteri Kehutanan Hasjrul Harahap memberikan angka 1,9 juta hektare. Mengambil alih HPH memang bukan monopoli Prajogo. Sofyan Siambaton, Presdir PT Sari Hijau Mutiara, mengaku pernah mengambil alih dua HPH seluas 105.000 hektare. Untuk itu, Sofyan mengeluarkan Rp 2 milyar. "Ya istilahnya kita ganti jadi mengambil alih saham," ujar Sofyan. Pengusaha yang sudah 20 tahun berkecimpung di sektor kehutanan ini mengatakan, biaya pengalihan saham tergantung potensi dan jenis kayu serta lokasi hutan. Tapi sisa umur HPH (biasanya diberikan untuk 20 tahun) serta manajemen juga ikut menentukan harga HPH. Banyaknya perusahaan yang melakukan kontrak karya dengan Barito -ini kiasan untuk pengalihan HPH -antara lain disebabkan turunnya SKB 3 Menteri tahun 1985. Waktu itu Pemerintah melarang ekspor kayu gelondongan. Maka, pemilik HPH harus juga memiliki pabrik pengolahan kayu, yang investasinya bisa Rp 12 milyar. Dari sinilah awalnya, mengapa pemegang HPH kelas teri terpaksa menjual HPH-nya kepada perusahaan kakap. Bahkan tak sedikit yang menjualnya kepada investor dari Korea Selatan, Taiwan, atau Singapura. Namun, raja kayu Bob Hasan tidak menyalahkan perusahaan besar. "Barito besar itu karena memang manajemennya profesional," ujar Bob. Dia seakan menyindir, banyak pemegang HPH yang selain miskin modal juga cenderung memilih hidup tenang alias tidak mau repot. Sebagian besar adalah mantan pejuang atau bekas gubernur yang tidak memiliki jiwa dagang. Alkisah, ketika negara harus membuat "perhitungan" dengan putra-putra terbaiknya, di situlah HPH dibagi-bagi, kendati tidak transparan. Dengan modal HPH tadi, diharapkan para mantan bisa berdikari. Tapi tidak semuanya berhasil. Yang kini masih bermarkas di sektor kehutanan bisa dihitung dengan jari. "Orang seperti ini kita pelihara. Kalau mereka mau jalan-jalan ke Swiss, silakan. Biaya kami yang bayar," ujar seorang pengusaha yang mengaku telah mengambil alih 16 HPH di bawah tangan. Tapi, zaman menuntut perubahan. Sekarang, mengurus konsesi HPH bukan perkara gampang. Di tingkat pusat, misalnya, ada delapan prosedur yang harus dilalui. Jadi, untuk jalan-jalan di Swiss, para mantan tidak mungkin mengandalkan HPH lagi. Apa boleh buat, musim telah berganti. Bambang Aji, Dwi S. Irawanto, Nunik Iswardhani, Indrawan . TABEL ------------------------------------------------------- . 15 PEMEGANG PARA MANTAN ------------------------------------------------------- . Perusahaan Pemilik Luas Total(ha) ------------------------------------------------------- 1. Djajanti Burhan Uray 2.956.000 2. Barito Prajogo Pangestu 2.721.500 3. Kayu Lapis Ind. Gunawan Sutanto 2.484.500 4. Inhutani I BUMN 2.422.000 5. Alas Kusuma Suwandi 1.789.000 6. Porodisa J.A. Sumendap 1.489.000 7. Mutiara Timber John Wenas 1.447.000 8. Bumi Raya Utama Adiyanto 1.275.000 9. Satya Jaya Raya Susanto Lyman 1.235.500 10. Kalimanis Bob Hasan 1.086.000 11. Iradat Puri 1.053.000 12. Uni Sraya Muharno Ngadiman 985.000 13. Hutrindo Alex Korompis 865.000 14. Korindo Sung In Young 863.500 15. Inhutani II BUMN 754.000 -------------------------------------------------------
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini