KURS mpiah awal pekan ini turun lagi terhadap dolar sampai 5 angka. US$ 1 berubah dari Rp 1.759 jadi Rp 1.764. Yang menarik, situasi di bursa devisa Jakarta tenang. Tak ada yang tergopoh membeli dolar. Kenapa? Ada kebijaksanaan pemerintah 25 Maret 1989. Bank dan lembaga keuangan bukan bank (LKBB) hanya boleh pegang valuta asing sampai senilai 125% dari modalnya. Akibatnya lembaga keuangan yang selama ini mengamankan uang nganggurnya dalam valuta asing -- terutama dengan mengharapkan adanya devaluasi -- harus merupiahkan kembali "valas"-nya (singkatan "valuta asing") yang berlebih. Maka, mereka pun membeli rupiah dengan valas mereka ke bank sentral. Sampai pekan silam, nilai valas yang masuk ke bank sentral sudah mencapai 1 milyar dolar. Jika proses itu terus, mungkinkah rupiah akan berbalik menjadi lebih kuat? bisa saja, kata juru bicara BI, Dahlan Sutalaksana, kepada TEMPO pekan silam. "Rupiah akan menguat jika orang terus menjual dolar dalam jangka waktu relatif lama. Tapi kalau tidak, rupiah tak akan menguat," tambahnya. Melemah atau menguatnya rupiah bagaimanapun perlu diatur. Seperti diketahui, Menteri Keuangan J.B. Sumarlin dan Gubernur Bank Sentral Adrianus Mooy telah memporkas bahwa rupiah akan melemah nilainya 5O setahun terhadap valuta dolar. Dulu angka seperti itu datang dari selisih perkiraan inflasi: kalau misalnya inflasi di Indonesia diperkirakan 8% sedang inflasi di AS 3%, maka kurs rupiah terhadap dolar akan merosot 5%. Kini hal itu tak cuma ditentukan inflasi. Awal tahun ini Gubernur Mooy memang telah menegaskan babwa sistem yang dipakai adalah manajemen assets (cadangan devisa) dan liabities (utang-utang). Melihat berapa besarnya cadangan devisa dan berapa perlunya pembayaran kembali utang Indonsia, kebijaksanaan kurs pun diusahakan agar tetap mempertahankan daya saing ekspor. Rupiah yang lebih lemah bisa menguntungkan buat ekspor. "Sistem kurs dengan memakai perhitungan selisih inflasi itu memang tak benar," kata Anwar Nasution, pakar ekonomi dari UI. "Inflasi di AS lain dengan inflasi di Indonesia. Di sana orang makan keju, di sini makan tempe," katanya. Seorang pakar ekonomi dari kalangan pemerintah mengakui, sistem dulu, katanya, tak mengikutsertakan perhitungan neraca pembayaran. Akibatnya, bank sentral harus mengamankan neraca pembayaran dengan meminjam dari luar negeri. Tahu-tahunya celengan devisa harus dipecah, karena negara (terutama pemerintah) harus membayar utang luar negeri. Kalau devisa yang tertinggal hanya cukup untuk menutup kebutuhan 3 bulan impor, ya perlu devaluasi. Kini otoritas moneter tampaknya sudah lebih berani menekan kurs rupiah terhadap dolar tapi sekaligus mengerem pembelian dolar. Tapi tak cuma itu. Hal itu tampak pada nilai rupiah yang justru menguat pada beberapa jenis valas, seperti poundsterling (Inggris), DM (Jerman Barat), yen (Jepang), dan NF (gulden Belanda) (lihat diagram). Agaknya pemerintah tengah berusaha menekan beban utang dari luar negeri: kian kuat rupiah terhadap yen, misalnya, kian sedikit rupiah yang perlu dihimpun untuk membayar utang ke Jepang. Jadi, lebih ringan. Maklum, DSR (beban utang luar negeri dibandingkan perolehan impor) tahun ini diperkirakan Bank Dunia di tingkat tertinggi. Artinya, cicilan utang Indonesia tahun ini paling berat. Bagaimana dengan perolehan impor yang menjadi cadangan devisa di BI sekarang ini? Kata juru bicara BI, pokoknya "masih aman". Walhasil, tampaknya perkiraan depresiasi 5% itu bisa cocok. Depresiasi selama 4,5 bulan hingga akhir pekan lalu belum sampai 2%. Jadi, kata sementara pakar, jangan lari dulu dari rupiah.Max Wangkar, Bambang Aji, Liston P. Siregar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini