Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bila meranti semakin jauh

Hutan di daratan rendah kal-tim sudah musnah. penebangan hutan dengan chainshaw menyebabkan tanah gersang. tuduhan penyebab kerusakan hutan oleh pe- ladang berpindah tidak terbukti.

26 Oktober 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hutan di dataran rendah hampir musnah. Menurut Menteri Hasjrul, hutan perawan hanya bisa ditemukan di pedalaman. Salah siapa? APRIL lalu, ketika Menteri Negara Riset dan Teknologi B.J. Habibie melintas di atas kawasan hutan Pulau Seram, yang terlihat olehnya cuma hamparan gersang. Habibie lantas membidikkan kameranya ke tanah gundul itu. Katanya, hasil temuan ini akan ditunjukkan kepada Presiden. Entah bagaimana reaksi Habibie bila sekarang ia melihat keadaan hutan di Kalimantan Timur. Untuk bisa memandang hutan di "gudang hutan" ini ternyata perlu kerja keras. Sesudah 28 jam menumpang ketingting (kapal motor sungai) menyusuri sungai Mahakam dari Samarinda ke hulu, plus jalan darat 86 kilometer, barulah kawasan hijau bisa ditemui. Seperti yang disaksikan wartawan TEMPO Dwi S. Irawanto, kegersangan makin nyata ketika melintasi jalur darat Balikpapan-Samarinda. Sepanjang 40 kilometer, pohon-pohon mati bergelimpangan. Beberapa yang masih tegak hangus dimangsa api. Selain itu tinggal dataran berupa padang terbuka. Jauh di kaki langit, tampak bukit-bukit yang telanjang tanpa tanaman. Kecepatan penjarah menggunduli hutan memang luar biasa. Di daerah Sebulu, dua jam perjalanan darat dari Samarinda -dua-tiga tahun lalu masih ada pemegang HPH di sana. Kini kegiatan di lokasi itu terhenti. Kayunya sudah habis! Sekadar untuk diketahui, sebilah chainshaw hanya memerlukan 20 menit untuk menggorok sebatang meranti -bahan baku terbaik kayu lapis -yang berdiameter satu meter. Setelah dibersihkan, sebuah skider segera mencengkeram dan membopong batang raksasa itu. Tinggallah lahan dan tunggul-tunggul saja. Memang masih ada tanaman "inti" (berdiameter 2050 cm) yang ditinggalkan. Dalam satu hektare kira-kira ada 20-25 pohon. Tapi jika itu telah ditinggalkan, para peladang lalu memanfaatkan jalan logging yang sudah dibuat pemegang HPH. Tanaman yang tersisa mereka babat dan dibakar sampai kering. Menurut Herman Haeruman, staf ahli Bappenas dan dosen Fakultas Kehutanan IPB, di situlah satu dosa pemegang HPH. Mereka tidak mampu menghalangi masuknya para peladang ke jalan yang mereka buat. Tapi penghijauan pernah juga dilakukan. Contohnya persemaian di pabrik kayu milik Djajanti Group. Perusahaan yang telah beroperasi 10 tahun itu, ketika ditinjau Habibie setengah tahun lalu, ternyata baru sembilan bulan membuat persemaiannya. Wajar bila eksploitasi hutan makin lama makin merayap ke hulu. Hutan yang dulu memenuhi daerah hilir dan dataran rendah Kalimantan Timur musnah sudah. Secara tak langsung Menteri Kehutanan Hasjrul Harahap mengakui hal itu. "Sekarang meranti yang mahal makin masuk ke pedalaman. Virgin forest-nya sudah makin ke dalam," ujarnya. Kendati biang kerusakan hutan itu jelas sosoknya, para peladang jua yang dituduh menggundulkan 20 juta hektare hutan Indonesia. Tuduhan itu disuarakan oleh Dirjen Inventarisasi dan Tata Guna Hutan Soenarsan Sastrosemito dalam sebuah jumpa pers, Agustus lalu. Dikatakannya, sistem bertani peladang liar amat boros memakai tanah. Soenarsan menolak anggapan umum, bahwa pemegang HPH-lah yang punya andil dalam penggundulan hutan. Alasannya: ada tebang pilih tanam Indonesia. Tak jelas mengapa pejabat begitu getol mempersalahkan peladang berpindah, yang selama ribuan tahun hidup berdampingan secara damai dengan hutan di sekitarnya. Bahkan ada peneliti yang secara ilmiah bisa membuktikan bahwa berladang tradisional tidaklah merusak hutan. Jumlah peladang yang disebut liar oleh Departemen Kehutanan ada 6 juta jiwa. Angka itu didapat dari sampling yang dilakukan Universitas Gadjah Mada pada tahun 1985. Sedangkan data yang diolah FAO menyebutkan 2,7 juta jiwa. Potensi mereka yang menyebar di banyak daerah, dengan alat-alat pertanian yang begitu sederhana, adalah bukti keterbelakangan. Bagaimana bukti semacam itu bisa dilihat sebagai ancaman, yang malah dikaitkan dengan kebakaran hutan? "Kalau kami tak boleh berladang, apa orang akan kasih beras untuk kami?" tanya Jahar, penduduk asli Grogot, Kalimantan Timur. Sejak kecil Jahar menghidupi dirinya secara tradisional. Dengan sebilah kapak, tahun ini ia membuka ladang seluas 2,5 hektare. Hasilnya Rp 780 ribu, untuk menghidupi selama setahun 16 jiwa -anak, istri, cucu, dan menantu. Katakanlah selama berabad-abad nenek moyang Jahar telah ikut merusak hutan. Tapi, menurut penelitian, hutan yang dirusak secara tradisional itu, mampu mengutuhkan dirinya kembali secara alami dalam delapan tahun. Karena itulah, ketika rombongan pemegang HPH masuk ke Kalimantan, Sumatera, ataupun Irian Jaya, yang mereka temukan adalah hutan yang hijau royo-royo. Sekarang, setelah dijarah chainshaw dengan sistem tebang mangkuk, yang tersisa tanah gersang, hitam kerontang. Hutan yang hijau agaknya hanya ada dalam dongeng, yang kelak dikisahkan Jahar kepada cucunya, sambil menahan-nahan air mata. Gabriel Sugrahetty dan Dwi S. Irawanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus