Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indonesia Terancam Lagi |
Kesabaran Dana Moneter Internasional (IMF) terhadap Indonesia diuji lagi. Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid ternyata sangat lamban melaksanakan Letter of Intent (LoI) yang diteken pertengahan Januari lalu. Kabar burung pun bertiup dari Washington: IMF akan menunda pencairan pinjamannya kepada Indonesia. Memang, hingga kini pinjaman senilai US$ 5 miliar itu belum juga cair. Tak aneh jika Menko Ekuin Kwik Kian Gie pagi-pagi sudah menyuarakan kekhawatirannya soal itu, terutama menyangkut anggaran. ”Untuk anggaran rutin saja kita sudah kerepotan, apalagi kalau sampai pinjaman IMF tak jadi cair,” kata Kwik.
Jika dirunut-runut, Indonesia kelihatannya memang tak serius menerapkan LoI. Lihat saja proses rekapitalisasi Bank BNI dan Bank Mandiri yang berlarut-larut. Juga, penanganan kasus Bank Bali yang sembrono. Pada kasus Bank Mandiri, misalnya, Bank Indonesia dan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berbeda pandangan soal perlu-tidaknya bank tersebut masuk dalam program penyehatan. Selain itu, masuknya dana pemerintah juga tersendat-sendat, yang akhirnya mengganggu kinerja kedua bank itu. Yang membuat masygul, pemerintah sepertinya tak berdaya menghadapi BNI yang bandel tak mau menyerahkan kredit macetnya ke BPPN.
Yang lebih gawat adalah penyelesaian kasus dugaan korupsi di Bank Bali. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan malah melepaskan tersangka utama Joko Soegiarto Tjandra. Alasannya, kasus Joko bukanlah kasus pidana melainkan urusan perdata. Tersangka lain seperti Setya Novanto belum masuk ke pengadilan. Apalagi Tanri Abeng, yang pemeriksaannya saja belum selesai. Tokoh lain yang diduga terlibat, A.A. Baramuli, kemungkinan malah tak tersentuh. Berbagai persoalan itu menyebabkan IMF berang. Jika nakhoda baru IMF bersikap lebih keras, jangan-jangan Indonesia akan kembali terpuruk.
Calon Nakhoda Baru IMF |
Jalan Her Horst Koehler menuju kursi nomor satu di IMF makin mulus. Itu terjadi setelah dua pesaing utama bekas menteri keuangan Jerman itu mundur. Keduanya adalah Wakil Direktur Pelaksana IMF Stanley Fischer dan bekas pejabat kementerian keuangan Jepang Eisuke Sakakibara. Jepang menarik mundur Sakakibara karena peluang Sakakibara yang kerap mendapat julukan Mr. Yen itu tampaknya sangat kecil, meskipun Jepang punya hak suara 6 persen, kedua setelah AS, yang punya vote 18 persen. ”Kami tak ingin Eropa terus mendominasi IMF. Dalam jangka panjang kami akan mendukung calon kami sendiri kalau memungkinkan,” kata juru bicara kantor PM Jepang, Akitaka Saiki.
Sementara itu, mundurnya Fischer tampaknya berkaitan dengan posisi yang secara tradisional selalu dikuasai Eropa. Sejak berdirinya, kursi nomor satu IMF selalu diduduki tokoh-tokoh keuangan Eropa. Padahal, pria AS yang lahir di Zambia ini sebetulnya punya kans kuat untuk naik ke posisi nomor satu. Fischer menduduki posisi tertinggi dalam jajak pendapat sementara di IMF awal bulan ini. Tapi dia rupanya memilih mundur dan memberi jalan untuk Direktur Bank Pembangunan Eropa Timur tersebut. Jatah bagi AS selama ini adalah presiden Bank Dunia, sedangkan Jepang belum banyak dihitung.
Fischer, yang dikenal dekat dengan sejumlah pemimpin Asia, yakin bahwa Koehler akan mampu memimpin IMF. ”Koehler akan bisa membawa IMF menjadi lembaga yang efektif,” kata Fischer seperti dikutip Reuters. Dalam dua tahun terakhir, IMF dituding terlalu memanjakan negara-negara yang dilanda krisis ekonomi yang parah seperti Rusia dan Indonesia, padahal kondisi keuangan IMF sedang parah. Program penalangan (bail out) yang dilakukan IMF memang sangat besar. Untuk Indonesia, Korea Selatan, dan Thailand, IMF menyediakan tidak kurang dari US$ 60 miliar. Bukan jumlah yang kecil kalau mengingat posisi keuangan IMF sebagai dokter bagi negara-negara yang terlanda krisis juga sedang kritis.
Bea Masuk Beras Jadi Masalah |
Siapa sangka beras bisa jadi ganjalan lain dalam hubungan Indonesia-IMF. Niat Menteri Pertanian M. Prakosa untuk menaikkan bea masuk beras dari 30 persen menjadi 45-50 persen membuat marah petinggi IMF. Maklumlah, sejak masuk ke Indonesia akhir 1997, IMF langsung mengharamkan adanya tata niaga beras dan produk pertanian lain. Tapi, karena para petani Indonesia tak sanggup menahan serbuan beras impor, IMF melunak dan memberi peluang Indonesia memberlakukan kembali bea masuk untuk impor beras sejak Januari lalu. Meskipun demikian, ada batas waktunya. Kebijakan ini ditinjau setiap enam bulan sekali.
Tak dinyana, perlakuan ini pun tidak cukup. Kondisi para petani Indonesia tetap berat. Bahkan, menurut mantan Menkeu Mar’ie Muhammad, harga gabah di tingkat petani sekarang tinggal Rp 700 per kilogram. Padahal, pemerintah sudah mematok harga dasar gabah Rp 1.300 per kilogram. Jatuhnya harga gabah ini karena Indonesia sedang panen besar-besaran, yang puncaknya bulan depan, dan tentu karena beras impor melimpah-ruah di pasar. Karena itulah Prakosa mengusulkan agar kenaikan bea masuk beras dilakukan mulai bulan ini atau bulan depan, maju jauh dari yang seharusnya Juli 2000. Sayangnya, kali ini IMF tak mau tahu. Untuk itu, pemerintah tampaknya akan menempuh cara lain, yakni mempercepat pembelian gabah dari petani. Salah satunya adalah dengan segera mengucurkan dana pembelian gabah senilai Rp 2,8 triliun. Tapi, apakah cara ini manjur?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo