Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Boleh Ngutang, Boleh Juga Swasta

Presiden Soeharto membuka "pandora box", kotak yang berisi pelbagai kesukaran yang serba mengejutkan dalam Repelita V. Dsr harus diturunkan, agar pada akhir Repelita V menjadi di bawah 25%.

27 Agustus 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PIDATO kenegaraan yang diucapkan Presiden Soeharto dalam sidang DPR 16 Agustus lalu agak lain dari biasa. Kepala Negara tidak hanya melaporkan persoalan-persoalan ekonomi yang tengah dihadapi. "Kali ini, Presiden sudah membuka Pandora Box -- maksudnya kotak yang berisi pelbagai kesukaran yang serba mengejutkan -- dalam Repelita V," kata Emil Salim, pakar ekonomi lulusan Universitas California, Berkeley, AS, kepada TEMPO. Tidak hanya itu. Kepala Negara bertekad untuk menekan DSR -- debt service ratio. Masalahnya, pembayaran pokok dan bunga pinjaman luar negeri pemerintah kini menggerogoti sekitar 35% dari hasil ekspor setahun. "Kita bertekad menurunkan tingkat tadi, agar pada akhir Repelita V nanti menjadi di bawah 25%," kata Presiden. DSR -- rasio perbandingan cicilan utang pokok dan bunga terhadap devisa hasil ekspor -- menurut Presiden, adalah "cermin kemampuan negara membayar pinjaman luar negeri." Tapi perkembangan DSR dalam beberapa tahun terakhir, "menunjukkan gejala yang cukup meresahkan." Beban DSR pada akhir Pelita III (1983-1984) baru sekitar 11%. Tahun anggaran silam, ternyata sudah menelan sekitar 30% penerimaan ekspor (lihat Grafik). Itu bukan karena pinjaman pemerintah yang meningkat, tapi karena menguatnya mata uang yen, hingga bunga pinjaman dan cicilan membengkak. Di samping itu penerimaan devisa merosot, karena anjloknya harga minyak. Masih untung, ekspor nonmigas pada tahun anggaran 1987-1988 bisa ditingkatkan, sehingga gigitan DSR dapat dihentikan. Kenyataan itu menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia ternyata bisa dilepaskan dari ketergantungan pada ekspor migas dan komoditi tradisional. Tapi bagaimana strategi yang akan diambil pemerintah, belum dijelaskan. Tentu akan dituangkan dalam program-program Repelita, yang mungkin baru akan diumumkan pada awal tahun 1989. Emil Salim melihat ada dua program dalam Repelita V. Pertama, utang luar negeri masih akan tetap dibikin, walaupun agak ketat. Ini berarti, pemerintah hanya akan mencari pinjaman ringan dari lembaga-lembaga bantuan multilateral, dan penggunaannya tidak akan sembrono. "Yang kedua, orientasi ekonomi akan lebih diarahkan ke pasar ekspor," demikian Emil. Tapi, menurut Bank Dunia, membatasi pinjaman luar negeri dan merangsang ekspor nonmigas saja belum cukup. Dalam laporan kepada para donor di IGGI belum lama ini Bank Dunia menandaskan bahwa empat strategi yang sudah dilaksanakan sejak 1984 arus dipertahankan. Pengetatan anggaran lengan mengurangi defisit, investasi pemerintah tetap diprioritaskan pada bidang-bidang yang bisa memperoleh hasil semaksimal mungkin, kebijaksanaan moneter yang mengekang permintaan agregat serta inflasi dan secara berjangka menyesuaikan kurs rupiah terhadap valuta asing. Anjuran Bank Dunia itu tak luput dari kritik. The Economist, sebuah majalah terkemuka terbitan London, dalam edisi 13 Agustus lalu, mengecam sekaligus Bank Dunia dan IMF. Mereka menilai anjuran Bank Dunia berakibat, anggaran pembangunan yang sudah dipangkas seperempat masih harus dipangkas lagi. Gaji pegawai negeri, yang sudah tiga tahun dlbekukan, harus tetap dipetieskan, anggaran rutin seperti proyek-proyek Inpres dan subsidi bagi petani harus dipangkas lagi, dan devaluasi mungkm masih harus dilaksanakan. Rupa-rupanya, memang banyak masalah besar terpendam, dalam Kotak Pandora yang disebut-sebut Emil Salim itu. Di satu isi ada beban utang luar negeri, di sisi lain Indonesia masih belum beranjak dari garis kemiskinan. Dan seakan menambah keruwetan, ada beberapa perusahaan monopoli masih bercokol, yang jelas tidak efisien. Lalu menurut The Economist, ada korupsi. "Para pengusaha mungkin akan berdebat, apakah korupsi paling buruk di Indonesia, Nigeria, atau Brasil. Tetapi semuanya pasti sepakat bahwa Indonesia menduduki peringkat teratas," tulis majalah itu. Anwar Nasution, pakar ekonomi dari UI, berkomentar sedikit lain. "Upaya menurunkan DSR itu akan tergantung berhasil tidaknya pemerintah meningkatkan penerimaan pajak dan ekspor," kata Anwar. Ia melihat, pajak pemerintah masih sangat bergantung pada pajak pertambahan nilai (PPN) minyak dan rokok. Sementara itu, ekspor nonmigas barangkali sulit ditingkatkan, kendati ada deregulasi. "Deregulasi masih perlu dilanjutkan, terutama menyangkut bidang investasi, produksi, perbankan. Tapi yang lebih banyak diharapkan adalah pihak swasta. Antara lain dalam hal pengolahan yang bermutu, pengepakan yang rapi, serta pengapalan yang teratur," kata Anwar. Mari Pangestu, pakar ekonomi dari Departemen Keuangan, juga mengandalkan pihak swasta. Peningkatan ekspor nonmigas akhir-akhir ini, katanya, tak lepas dari kapasitas industri yang kebetulan belum bekerja penuh. Jika pemerintah ingin meningkatkan ekspor nonmigas, jelas diperlukan investasi atau perluasan pabrik baru oleh swasta. Dan bila fasilitas seperti sertifikat ekspor sudah ditiadakan, tahun depan kredit ekspor pun harus dihilangkan. Satu hal dicatat Mari Pangestu: dewasa ini hanya kalangan pengusaha besar -- termasuk investor asing yang diberi fasilitas. Sebab, ada selentingan, pengusaha yang akan mengekspor lebih dari 65% produknya bisa menikmati kredit murah, baik kredit investasi dari Bapindo maupun kredit ekspor berbunga murah (9%) dari bank-bank devisa. Sementara itu, pengusaha menengah dan kecil sulit memperolehnya. "Jika kita bertekad mengecilkan DSR menjadi 25% dari posisi 35% sekarang, jelas menuntut kerja keras lima tahun," kata Hamzah Haz, anggota DPR RI dari Fraksi Persatuan Pembangunan. Namun, masalahnya ialah, tabungan pemerintah terlalu kecil sehingga biaya pembangunan hampir 80% bergantung pada bantuan luar negeri. Kata Hamzah, jika target ekspor nasional bisa mencapai US$ 1,2 milyar per tahun, ada harapan tabungan pemerintah jadi lebih besar. Itu berarti, pemerintah bisa membiayai pembangunan dengan dana lokal. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat itu optimistis, target pemerintah akan tercapai. Padahal, penerimaan devisa ekspor pada bulan-bulan pertama 1988 ini sudah terpatok di sekitar US$ 800 juta. Namun, bukan tidak mungkin ekspor akan kembali membubung mulai Juni, sebagaimana yang terjadi tahun silam. Max Wangkar, Bachtiar Abdullah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus