Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perdebatan tajam mewarnai rapat koordinasi terbatas di Istana Bogor, Jawa Barat, Senin siang pekan lalu. Rapat yang dipimpin Presiden Joko Widodo itu membahas Senin kelam (black Monday). Pada hari itu, indeks bursa jatuh ke level 4.000-an dan nilai tukar rupiah melemah menembus batas psikologis 14 ribu per dolar Amerika Serikat.
Peserta rapat terbelah dalam dua kelompok. Kepala Staf Kepresidenan sekaligus Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Luhut Binsar Pandjaitan, berkukuh mengusulkan badan usaha milik negara membeli kembali sahamnya (buy back) untuk mencegah kejatuhan indeks lebih dalam. Namun Wakil Presiden Jusuf Kalla menolak. Kalla khawatir terjadi moral hazard, apalagi nilai buyback-nya mencapai Rp 10 triliun.
Kalla, yang pada akhir pekan lalu berada di Korea Selatan, melalui juru bicara Wakil Presiden, Husein Abdullah, mengatakan sebagian besar pemilik saham adalah investor asing. Kalau pemerintah melakukan buyback, itu sama saja meminta investor tersebut keluar lagi. Menurut Kalla, investor Indonesia paling banter hanya sekitar satu persen. "Beda dengan di Cina, yang justru didominasi pemain dalam negeri," kata Kalla seperti disampaikan melalui Husein, Jumat pekan lalu.
Luhut membenarkan adanya perdebatan di dalam rapat tersebut. "Toh, akhirnya disepakati bersama," ujar Luhut kepada Tempo di kediamannya, Kamis pekan lalu. Menurut dia, setiap menyusun rencana kebijakan, pasti ada perdebatan guna mencari solusi. "Kan, harus dihitung plus-minusnya, untung-ruginya," ucapnya. Untuk mengelakkan penggunaan anggaran perusahaan, akhirnya disepakati menggunakan dana pensiun untuk aksi buyback.
Tak berselang lama setelah rapat itu, bos-bos badan usaha milik negara dan perusahaan swasta yang diundang Jokowi tiba di Istana Bogor. Para pengusaha diajak membincangkan perkembangan perekonomian saat ini, yang menurut Jokowi "harus direspons cepat". Ia meyakinkan pengusaha bahwa pemerintah bakal beraksi menghadapi kondisi terbaru.
Pekan sebelumnya, banyak kalangan meramalkan terjadinya Senin kelam. Indikasinya, indeks Dow Jones pada penutupan Jumat dua pekan lalu turun 530,94 poin (3,12 persen) menjadi 16.459,75. Sesi tunggal terburuk dalam hampir empat tahun di Wall Street itu dipicu devaluasi yuan. "Anak sekolah dasar pun tahu bahwa Senin pasti akan terjadi sesuatu kalau melihat Dow Jones seperti itu," kata Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia Susi Meliana di kantornya, Rabu pekan lalu.
Indeks bursa Indonesia sebetulnya sudah dilanda aksi jual sejak enam bulan lalu. Menurut data Bloomberg, pada awal Maret 2015, posisi indeks berada di level 5.514-rekor tertinggi sepanjang masa. Namun sentimen negatif bertubi-tubi menyebabkan indeks harga saham gabungan (IHSG) tersungkur. Senin pekan lalu, indeks bursa Indonesia ditutup di level 4.163 atau anjlok 32,4 persen dari posisi rekornya.
Sebenarnya otoritas sudah mulai merespons kondisi tersebut. Protokol krisis berupa early warning system dijalankan bertahap sejak enam bulan lalu. Sejumlah stimulus untuk menstabilkan dan menggerakkan pasar keuangan diluncurkan baik oleh Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, maupun pemerintah. Otoritas Jasa Keuangan, misalnya, merilis aturan buyback saham tanpa menunggu rapat pemegang saham. "Kami optimistis, meskipun ada gejolak saham," ujar Kepada Deputi III Bidang Pengamanan Isu Strategis Kepala Staf Kepresidenan Purbaya Yudhi Sadewa, Kamis pekan lalu.
Strategi ini hampir sama dengan yang dilakukan pemerintah sebelumnya saat menghadapi tekanan. Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D. Hadad mengatakan langkah buyback dilakukan OJK pada 2013. Demikian juga oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ketika krisis 2008. Saat itu IHSG terpukul hampir 50 persen. "Kita buka aturan itu, mau dimanfaatkan atau tidak, silakan," kata Muliaman.
Menurut Muliaman, OJK berani mengeluarkan aturan itu setelah mendapat jaminan bahwa BUMN siap mengambil saham publik. Menteri BUMN Rini Soemarno mengungkapkan manajemen 13 BUMN menyatakan dana Rp 10 triliun siap digelontorkan untuk memborong saham. Dana ini dihimpun dari kas internal. Skema pemilikan saham bagi karyawan dan manajemen (ESOP) juga disiapkan sebagai alternatif. "Sumber lain dari dana pensiun dan asuransi BUMN," ujar Rini di Jakarta.
Kesiapsiagaan BUMN yang akan terlibat dalam program ini sudah dicek Rini sepekan sebelumnya. Para direktur BUMN serta pemimpin dana pensiun dan asuransi diundang ke kantornya menyiapkan skenario menyambut indeks mencapai lowest price-nya. Target BUMN adalah saham perusahaan masing-masing.
Saham sebagian besar BUMN ini rontok. Sebanyak 17 perusahaan dari 20-an BUMN yang melakukan listing di Bursa Efek Indonesia mencatatkan penurunan harga saham cukup dalam atau lebih dari 15 persen sejak awal tahun. Sebut saja PT Indofarma Tbk (INDF) sebesar -63 persen, PT Timah Tbk (TINS) -58 persen, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) -57 persen, PT Kimia Farma Tbk (KAEF) -56 persen, PT Semen Indonesia Tbk (SMGR) -54 persen, PT Bank BI Tbk (BBNI) -29 persen, dan PT Bank BRI Tbk (BBRI) -18 persen.
Sejumlah BUMN mengakui sudah berancang-ancang memborong saham. Sekretaris Perusahaan Semen Indonesia Agung Wiharto mengatakan manajemen sedang mengkaji saat yang tepat. Dananya diambil dari cadangan investasi dan ESOP. Pada 2008, kata Agung, Semen Indonesia-saat masih bernama Semen Gresik-menghabiskan Rp 200 miliar untuk buyback. "Setahun kemudian dijual lagi ke pasar sudah untung 100 persen lebih."
Bank BRI juga menyatakan punya dana cukup banyak untuk buyback. "Kemarin belum jadi beli, ternyata sekarang harganya sudah naik lagi," ucap Sekretaris Perusahaan Budi Satrio. Ia memastikan membeli balik saham BRI jika waktunya tepat dan harganya murah. PT Taspen memastikan ikut program buyback. "Negara ini tidak boleh goyang," kata Faisal Rahman, Direktur Taspen.
Ada juga BUMN yang memilih berbisnis seperti biasa. Meski harga sahamnya anjlok lebih dari 50 persen, PT Kimia Farma Tbk menyatakan belum tertarik melakukan buyback. Direktur Utama PT Kimia Farma mengatakan pihaknya baru akan mengevaluasi kalau harga saham mendekati harga saat IPO, yakni Rp 200 per lembar. "Sekarang masih Rp 700 per lembar," ujarnya.
Ekonom Faisal Basri menilai buyback saham ibarat menggarami lautan. Kalau perusahaan negara punya dana lebih, kata dia, lebih bagus diinvestasikan saja buat mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Opsi menyuruh dana pensiun bertindak juga disebutnya ceroboh. "Dana pensiun tidak boleh diintervensi. Itu uang peserta, bukan uang pemerintah," ucap Faisal.
Direktur Utama Bursa Efek Indonesia Tito Sulistio mencatat banyak perusahaan tertarik melakukan buyback. Namun ia mengaku belum tahu detailnya. "Setahu saya, ada BUMN yang mulai buy back," kata Tito di gedung Bursa Efek Indonesia, Kamis pekan lalu. Ia enggan menyebutkan nama perusahaan dengan alasan menjaga kerahasiaan. "Nanti mereka sendiri akan membuat keterbukaan informasi," ujarnya.
Ia meyakinkan fundamental ekonomi Indonesia dan emiten di Bursa Efek Indonesia masih sangat kuat. Ia menceritakan, pada 1998, sebanyak 70 persen perusahaan merugi dan ekonomi tumbuh negatif 13 persen, sedangkan sekarang ekonomi tumbuh 4,7 persen dan 70 persen lebih perusahaan masih untung. Sementara krisis 1998 pulih dalam dua tahun, krisis 2008 selesai dalam enam bulan, Tito yakin krisis kali ini akan lebih singkat. "Apalagi ini krisis made in China. Barang Cina biasanya cepet rusaknya."
Jumat pekan lalu, indeks bursa Indonesia ditutup pada angka 4.446. Angka tersebut menguat hampir tujuh persen dibandingkan dengan awal pekan.
AGUS SUPRIYANTO, GUSTIDHA BUDIARTIE, AGUSTINA WIDIARSI, FAIZ NASHRILLAH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo