Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Bredel Koran Lewat Sita Jaminan

Dituduh mencemarkan nama baik sumber berita, harian Papua Pos diseret ke meja hijau. Aset koran itu menjadi sita jaminan.

9 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETEGANGAN muncul di depan kantor harian Papua Post. Gedung di kawasan Entrop, Jayapura, itu didatangi beberapa petugas juru sita pengadilan Pengadilan Negeri Jayapura, 27 Juni lalu. Mereka mengantongi selembar surat penetapan dari pengadilan. Ketika seorang juru sita membacakan berita acara penyitaan, sekitar 50 wartawan dari berbagai media lokal dan nasional yang meliput acara itu tiba-tiba mengamuk dan melarang juru sita melaksanakan tugasnya. Perang mulut pun terjadi antara kedua belah pihak. Beberapa wartawan memukul dua orang di tempat kejadian. Acara penyitaan pun batal.

Itulah salah satu episode konflik harian Papua Post (sebelumnya bernama Irja Post) versus Budi Sinulingga, Kepala Kantor Wilayah Departemen Transmigrasi Jayapura, yang berlangsung sejak akhir 1999. Konflik itu bermula dari pemberitaan tentang isu suap senilai Rp 900 juta di lingkungan Kanwil Departemen Transmigrasi Jayapura. Harian beroplah 3.000 eksemplar setiap hari itu menulis bahwa sejumlah pemimpin proyek di kantor itu dikutipi uang sebagai prasyarat sebelum dilantik. Tidak disebutkan dengan jelas pejabat yang mengutip uang sogok itu. Ketika dikonfirmasi wartawan Irja Post, Budi Sinulingga membantah isu itu. Dan sanggahan tersebut dimuat di dalam berita.

Setelah koran itu beredar di pasar, Budi tidak bisa menerima isi berita tersebut. Ia mengirim surat pembaca ke meja redaksi Irja Post. Sekali, dua kali, dan baru surat pembaca ketiga yang dimuat di koran itu. Agak terlambat. Tidak bisa menerima perlakuan itu, Budi menyeret Irja Post ke meja hijau. Ia mengajukan gugatan pidana dan perdata ke Pemimpin Umum Irja Post Bambang Novendi sebagai tergugat I, Pemimpin Redaksi sebagai tergugat II, dan Direktur PT Mamberamo Mediatama Jaya, penerbit Irja Post. Gugatan perdatanya senilai hampir Rp 1 miliar.

Sidang gugatan perdata digelar di PN Jayapura sejak Maret lalu. Gugatan pidananya sedang dalam proses. Selang beberapa pekan, Budi meminta pengadilan menyita aset harian Papua Post sebagai sita jaminan. Permintaan Budi itu dikabulkan PN Jayapura. Kelanjutannya, ya, peristiwa yang pikuk pada 27 Juni itu. Barang yang akan dijadikan sita jaminan, selain seluruh aset PT Mamberamo Mediatama Jaya, juga aset pribadi milik Pemimpin Redaksi Abdul Munib berupa tanah dan bangunan rumah di Jalan Cempaka, Jayapura, serta sebuah mobil minibus.

Apa yang salah pada Irja Post? Menurut Abdul Munib, pihak Irja Post merasa telah menjalankan prosedur jurnalistik secara benar. Data-data tentang uang sogok itu mereka peroleh dari sejumlah pemimpin proyek. Selain itu, Irja Post telah melakukan konfirmasi ke pihak Budi Sinulingga. "Kami telah melakukan liputan berimbang," kata Abdul Munib. Tapi, menurut Julius C. Manupapami, penasihat hukum Budi Sinulingga, setelah pengiriman surat bantahan itu, Irja Post masih menulis berita yang memojokkan Budi sebagai pribadi dan sebagai Kepala Kanwil Departemen Transmigrasi. "Tindakan itu kami nilai sebagai perbuatan melawan hukum," kata Julius. Pijakan hukum yang dibidikkan adalah Pasal 310 KUHP, tentang penyerangan/pencemaran kehormatan nama baik seseorang.

Tapi, menurut Abdul Munib, tuduhan pencemaran kehormatan itu tidak tepat. Sebab, seharusnya pihak penuduh membuktikan lebih dulu bahwa dirinya benar-benar bersih. Selain itu, setiap pers, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Pers, mempunyai hak kontrol, kritik, dan koreksi yang bersifat konstruktif. Berdasarkan undang-undang itu, Pasal 310 KUHP tidak langsung bisa diarahkan ke pers. Intinya, bila perbuatan itu jelas untuk kepentingan umum, itu bukan merupakan tindak pencemaran.

Di mata pakar hukum komunikasi Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Abdul Muis, S.H., pemberitaan Irja Post itu telah memenuhi prinsip jurnalistik. Dan karena itu, ia menilai sita jaminan yang dilakukan PN Jayapura terhadap aset Papua Post akan menjadi preseden buruk bagi dunia pers secara umum. Bahkan, Muis menilai majelis hakim PN Jayapura telah melakukan pembredelan dan melanggar Undang-Undang Nomor 40/1999 tentang Kebebasan Pers. Atas dasar itu, Muis menyarankan agar Papua Post melakukan gugatan terhadap putusan PN Jayapura itu ke pengadilan tata usaha negara karena salah dalam memutuskan perkara. "Putusan itu akan menjadi tradisi buruk bagi lembaga-lembaga kekuasaan, termasuk pengadilan, dalam menghadapi pers," kata Muis. Jalan pengadilan masih panjang.

Kelik M. Nugroho, Koresponden Papua Barat dan Makassar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus