Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAMPIR dua minggu setelah kondisi darurat sipil diberlakukan di Maluku, bumi seribu pulau itu masih terus basah oleh darah. Pengumuman darurat Presiden Abdurrahman Wahid pada 27 Juni lalu seperti tak mempan mencegah jatuhnya korban tewas. Dan Sabtu pekan lalu, Gubernur Maluku memberlakukan isolasi terbatas di kepulauan yang sudah kehilangan ribuan rakyatnya itu.
Situasi di Ambon bahkan kian parah. Hanya tiga hari setelah darurat sipil diberlakukan, Desa Rumahtiga dan Poka di pinggiran Kota Ambon—kantong penduduk Kristen di Leihitu yang didominasi warga muslim—rata dengan tanah setelah digempur ribuan laskar putih (istilah untuk yang Islam). Tujuh orang tewas, puluhan luka-luka, 12 ribu warga mengungsi, dan 14 tempat ibadah serta 4.000 rumah penduduk terbakar. Kampus Universitas Pattimura pun tinggal puing-puing. Ironisnya, selama lima hari penyerbuan, tak satu pun personel militer turun melerai. Dua ratusan tentara malah mengurung diri di Markas Zipur 5, yang terletak di dekat kedua desa nahas itu. Perang Teluk, begitu warga menyebut serangan dahsyat ke desa di Teluk Dalam Ambon itu.
Kamis kemarin, giliran Waai Lusung—juga desa Nasrani di Ambon—yang diluluhlantakkan. Di sini, 17 warga kehilangan nyawa. Dari 400 rumah penduduk, tinggal lima yang masih tegak berdiri.
Gubernur Maluku—sekaligus penguasa darurat sipil—Saleh Latuconsina sampai tak habis pikir. ”Saya sudah memberikan instruksi. Bukan tak mungkin ada yang memainkan komando di lapangan,” katanya lemas.
Warga makin ketakutan melihat kondisi tak menentu itu. ”Saat bantuan militer dulu lebih aman ketimbang sekarang,” kata Stanley Likumahua, penduduk Poka yang luka tertembak. Di Ambon, kini, tak lagi ada perempuan dan anak-anak. Ribuan orang mengungsi ke pegunungan, dua hari setelah kondisi darurat diumumkan. Sesudah perairan Maluku diisolasi, bahan pangan juga menghilang. Mi instan, yang dulu mudah didapat, menghilang. Beras hanya didapat melalui antrean panjang di loket depot logistik (dolog). Harga-harga melangit. Harga minyak tanah, misalnya, yang tadinya Rp 450, membubung sampai Rp 3.000 per liter. Kontak dengan dunia luar nyaris terputus.
Kekosongan aparat, menurut Staf Khusus Urusan Maluku Wakil Presiden, Brigjen Marinir Nono Sampono, adalah penyebab masih meletupnya konflik. Ini konsekuensi penarikan dan relokasi pasukan. Pasukan lama yang telanjur larut dan berpihak, dan ikut-ikutan berperang atas nama Islam atau Kristen, ditarik dan (akan) diganti dengan pasukan yang netral. Meminjam istilah Kepala Pusat Penerangan TNI Marsekal Muda Graito Usodo, pasukan lama sudah menjadi semacam ronin—samurai tanpa tuan—yang berbahaya. Panglima Komando Daerah Militer Pattimura, Kolonel I Made Yasa, mengungkapkan bahwa hingga kini masih ada 18 personel Angkatan Darat dan sekitar 600 anggota Brigade Mobil (Brimob) yang belum melapor ke kesatuannya dan diduga ikut menjadi ronin.
Situasi lapangan, kata sosiolog Tamrin Amal Tomagola, juga amat menyulitkan. Sementara batas daerah putih dan merah (sebutan untuk yang Kristen) di Provinsi Maluku Utara terpilah tegas, di Ambon bercampur-baur. Di daerah muslim Leihitu, misalnya, terdapat banyak kantong penduduk yang Kristen. Komposisi sebaliknya terlihat di Leitimur.
Usaha melerai perang dengan merazia senjata juga belum banyak hasilnya. Meski tenggat penyerahan senjata pada 1 Juli lalu telah terlampaui, razia nyaris tak bisa dilakukan. Aparat, kata Graito, kesulitan menembus kawasan yang terus diblokade kedua pihak. Membendung laskar jihad—yang ditengarai Nono dan Tamrin ikut terlibat dalam pertikaian terakhir—juga bukan perkara gampang. Salah satu penyebabnya, kata seorang perwira di Badan Intelijen Strategis, sejak laskar diberangkatkan dari Surabaya, setiap anggotanya telah mengantongi kartu tanda penduduk (KTP) Ambon. Padahal, KTP itulah yang dijadikan saringan untuk menangkal pendatang.
Celakanya, dua perwira menengah di pos kunci Kodam Pattimura, yang diketahui jelas bahwa yang satu memihak Islam dan yang satu lagi membekingi Kristen, hingga kini tak kunjung diganti. Pekan lalu, masukan agar keduanya segera dirotasi telah disampaikan langsung ke Presiden Abdurrahman Wahid.
Tapi, menurut Tamrin Tomagola, masih terlalu dini menilai kebijakan darurat sipil telah gagal. Buktinya, Maluku Utara bisa diredam. Penyekatan di laut juga menunjukkan hasil. Pekan lalu, patroli Angkatan Laut mendapati sejumlah senjata api dan bom dari 17 kapal yang kena razia.
Para tokoh yang diduga menjadi pemicu rusuh dari kedua belah pihak, sebagaimana dikonfirmasikan Nono dan Graito, mulai intensif diperiksa. Dari pihak Islam, aparat telah memanggil mantan Kepala Staf Korem Pattimura Brigjen (Purn.) Rustam Kastor dan panglima laskar jihad Jafar Ismail. Demikian pula dua pentolan pasukan Kristen (namanya belum diketahui). Kepala Kepolisian Sektor Daruba Morotai, Inspektur Polisi I.N. Saimima, yang kepergok berupaya menyelundupkan ribuan pucuk senjata, juga diperiksa.
Yang jelas, alarm darurat telah lama menyala di Maluku. Korban tewas di semua episode tragedi Maluku sejak awal 1999 lalu, menurut versi aparat, telah berjumlah 2.258 orang. Adakah jumlah ini belum terlampau banyak untuk menempatkan penyelesaian tragedi Maluku sebagai prioritas pertama pemerintahan Abdurrahman Wahid?
Karaniya Dharmasaputra, Arif Kuswardono (Jakarta), Friets Kierlely (Ambon)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo