Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEMASUKI pertengahan Oktober, para manajer keuangan pasti sibuk menyiapkan rencana keuangan bagi tahun berikutnya. Optimisme beberapa laporan ekonom dari luar dan dalam negeri akhir-akhir ini pun masih belum meyakinkan para perancang bujet bahwa pemulihan ekonomi akan benar terjadi.
Dengan kelesuan ekonomi tahun-tahun lalu, para pelaku usaha sudah mulai menyesuaikan strategi. Mereka cenderung menyamakan rencana 2018 dengan tahun sebelumnya. Memang kinerja perusahaan ke depan tidak hanya mengikuti tren ekonomi dan segmen usaha, tapi juga suhu politik sesaat, yang jauh lebih sulit diterka, apalagi di tahun menjelang pemilihan umum yang akan datang.
Indikator pertama yang biasanya disorot adalah pertumbuhan ekonomi. Angka ini, yang mencapai hanya 5 persen pada 2016 dan 2017, cukup menentukan pertumbuhan segmen bisnis serta tingkat pendapatan perusahaan. Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2018, angka ini diasumsikan naik ke level 5,4 persen, lebih tinggi dari proyeksi Bank Dunia serta beberapa bank swasta, yaitu di tingkat 5,3 persen. Memang lembaga keuangan dunia Dana Moneter Internasional cukup optimistis dengan pemulihan pertumbuhan ekonomi dunia, baik di negara maju maupun di negara berkembang.
Ukuran yang sering diperhatikan, khususnya oleh bagian personalia, adalah tingkat inflasi, karena angka inflasi biasanya dipakai untuk menghitung kenaikan gaji pegawai. Angka ini juga sering dipakai dunia usaha untuk menghitung besarnya kenaikan harga produk atau jasa yang dapat diterima konsumen. Lesunya ekonomi dan kebijakan moneter Bank Indonesia cukup membantu menekan inflasi September lalu ketingkat level 3,7 persen. Pemerintah memprediksi inflasi dapat terus ditekan ke 3,5 persen pada 2018, sama dengan perkiraan Bank Dunia. Sedangkan pengamat swasta memprediksi angka tersebut dapat turun lebih jauh ke tingkat 3,4 persen.
Selain itu, kurs rupiah, yang berada di tingkat 13.500 per dolar Amerika Serikat, mendapat perhatian yang cukup besar, apalagi dari perusahaan yang memakai bahan baku impor serta yang menjual produk ke luar negeri. Hampir semua lembaga, dari pemerintah, Bank Dunia, sampai swasta, memprediksi kurs rupiah akan berada di tingkat 13.500 per dolar Amerika pada 2018.
Hanya, dampak suhu politik terhadap angka proyeksi di atas tidak dapat diabaikan. Dan, jika kita meneliti politik di luar ataupun di dalam negeri, suhu di kedua kawasan itu cukup meningkat. Hal inilah yang akhirnya dapat mengurangi angka-angka optimisme dari para penujum ekonomi. Pertama, meningkatnya pandangan nasionalisme di mana-mana, yang akhirnya mengganggu arus barang, jasa, modal, dan orang antarnegara. Kedua, konflik antarnegara yang makin terasa bukan hanya di wilayah Timur Tengah, tapi juga di Eropa Timur, Myanmar, dan Semenanjung Korea. Kecenderungan Presiden Amerika Serikat Donald Trump menggunakan pesan Twitter dalam menjalankan kebijakan luar negeri malah sebaliknya menaikkan suhu politik.
Di dalam negeri, beberapa kelompok dan partai politik sudah mulai mempersiapkan kampanye politik menjelang pemilihan umum. Hanya, kegiatan mereka lebih berfokus pada usaha menjatuhkan lawan ketimbang memikirkan kebijakan atau langkah baru memperbaiki kesejahteraan masyarakat. Jadi mungkin ada baiknya dunia usaha mengambil sikap yang lebih hati-hati dalam menyusun anggaran 2018.
Manggi Habir - Kontributor Tempo
Kurs | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Pekan sebelumnya | Manggi - Kontributor Tempo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 14 Oktober 2017 PODCAST REKOMENDASI TEMPO ekonomi sinyal-pasar bisnis Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |