Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di puncak gunung itu saya bertemu dengan Akhmad. Kemudian Matheus. Kemudian Vincentius. Hari masih dingin; matahari baru saja terbit. Timur hanya cahaya jingga yang terbelah karena gelap masih tersisa di dinding terjal tiga telaga Kelimutu.
Akhmad, tinggi, dengan raut muka keras dan tajam, seperti seorang Afro-Latin yang berkulit agak gelap, memakai jaket khaki yang sudah lapuk dan hanya bersandal jepit. Ia berjualan kain tenun desanya. Matheus, mengenakan jaket mirip militer yang kedodoran, tubuhnya lebih pendek tapi dengan corak wajah yang tak berbeda, berjualan kopi panas dan supermi. Vincentius, berkerudung kain tenun cokelat yang panjang, merangkap: ia berjualan semuanya.
Puncak itu telah dibangun jadi ruang terbuka yang rapi, bertugu dan berlantai batu, tempat para turis memandang ketiga danau Flores yang termasyhur itu. Pagi itu saya lihat sekitar 15 turis berdiri atau duduk termangu, terdiam, memandang ufuk yang tak lazim itu. Saya dengar seorang menegur: "Akhmad!" dan entah kenapa ia memperkenalkan diri, dalam bahasa Inggris, sebagai seorang buddhis kepada penjual kain itu. Akhmad tersenyum.
"Di telaga itu," kata Matheus sambil menyodorkan segelas kopi pahit ke tangan saya, "ruh-ruh bersemayam setelah mati."
Di sebelah kanan kita Tiwu Nuwa Muri Koo Fai, danau arwah anak-anak muda. Agak di sana Tiwu Ata Polo, yang airnya biasanya berwarna merah, tempat jiwa orang-orang jahat. Dan di depan kita ini Tiwu Ata Mbupu, telaga arwah orang-orang tua. Warnanya putih.
Hari mulai terang. Warna danau itu ternyata tak putih, tapi gelap. Di sebelah sana, hijau toska. Dingin mulai tersingkir. Kopi Flores yang dijual Matheus (Rp 5.000 segelas) menolong menghangatkan tubuh. Saya lihat beberapa turis memotret. Yang lain diam, seakan-akan tak mau (karena tak mungkin) menggantikan pengalaman di Kelimutu dengan tangkapan kamera.
Seandainya saya dibesarkan di sini, di dekat hutan yang menutupi punggung gunung Kelimutu dan Kelibara, dengan kawah yang jadi danau dengan warna yang berubah-ubah, saya juga akan percaya, seperti Matheus: alam bukan hanya bongkah tanah dan batu, daun rimbun dan pokok kayu. Alam bukan hanya perubahan langit siang ke malam. Alam melebihi semua itu; ia tenaga yang tak pernah mati, meskipun dikuburkan.
Takhayul, orang akan bilang.
Takhayul memang sebutan yang mencemooh untuk pengalaman yang seperti itu. Cemooh itu menunjukkan ada jarak yang telah terjadi antara manusia dan hening yang angker di sekitar danau ini—karena akal budi menghendaki "kecerahan". Tapi kita tak bertanya lagi mengapa "kecerahan" harus begitu penting hingga yang gaib harus tak ada.
"Matheus orang Katolik?" tanya saya, menanyakan sesuatu yang tak perlu.
"Ya. Juga Vincentius. Akhmad orang muslim. Kami satu desa. Kami dari Desa Pemo."
Menjelang pukul 07.25, saya turun bersama Vincentius. Ia sudah melepas kainnya. Seperti kedua temannya, tubuhnya, dalam umur 35, liat dan ramping karena perjalanan naik-turun gunung hampir tiap hari. Di sekitar kami berjajar pohon cemara gunung dan di sana-sini tampak kasuarina dengan rimbun-daun yang seperti surai kuda.
Tak ada angin. Hanya burung-burung yang mengisi suara di latar belakang: kicau yang jernih dan tangkas. "Itu garugiwa," tiba-tiba kata Vincentius. "Ia punya 14 jenis suara."
Saya melihat ke pucuk-pucuk, dan tak menemukan apa-apa—kecuali kadang-kadang unggas terbang yang tak saya kenal. Hidup ditandai gerak, agaknya, di hutan itu. Bahkan daun-daun yang jatuh ke tanah juga menyelinap, untuk jadi humus.
Apa yang terjadi setelah kita seperti daun jatuh? Saya teringat warna danau. Ke surga, ke neraka, atau seperti burung kecil itu—terbang beberapa saat dan kemudian bersatu dengan kedalaman?
Syahdan, agama-agama baru datang ke celah-celah Kelimutu. Mereka akan memberi jawab dengan melihat kitab-kitab. Tapi saya tak tahu manakah yang lebih kuat pada hati Akhmad, Matheus, Vincentius: pengalaman yang akrab dengan rahasia hutan dan danau, atau kata-kata yang tertulis terang di buku-buku suci.
Kata-kata yang tertulis itu kemudian jadi hukum—dan pada saat yang sama jadi menciut. Hukum tak pernah bisa mengatur apa yang tak bisa dijelaskan. Dan ada yang tak bisa dijelaskan saat hidup bergetar ketika Yang Maha-Gaib menyentuh keheningan tiga danau itu, seakan-akan berbisik: Aku ada. Bersamamu. Tapi tak akan Kaulihat.
Vincentius berhenti di depan sebuah semak. Ia menyembunyikan beberapa barang yang dibawanya di antara rumput lebat. Ia akan mengambilnya besok, dalam perjalanan mendaki lagi ke puncak untuk berjualan.
"Kami semua begini," katanya. "Di desa kami ada gereja dan ada masjid, kami bekerja bersama-sama. Kami masing-masing berlebaran dan berhari natal, tapi kami saling mengunjungi dan berbagi makanan. Dan kami bergabung bersama-sama dalam upacara adat."
Saya bertanya, kapan upacara itu dijalankan. "September," ia menjawab. Setiap tahun.
Tampaknya di dusun mereka, Pemo, ada yang lebih tua ketimbang masjid dan gereja dan kitab-kitab, ada yang lebih "endemik" seperti pakis dan turuwara. Kaum misionaris dari agama-agama yang datang mungkin akan mengatakan bahwa yang "endemik" itu keliru, tapi apa sebenarnya yang keliru bila Akhmad dan Matheus dan Vincentius—di bawah naungan sesuatu yang purba—tak saling mengatakan "kau mempercayai yang salah"?
Sesuatu yang purba itu mungkin akan tergusur. "Kecerahan" akan datang. Nenek moyang yang bersemayam di danau itu akan dilupakan. Tapi kita tak tahu apa yang akan menggantikan hidup bersama yang dinaungi itu. Saya hanya berharap pada suatu pagi yang lain saya akan ketemu lagi Akhmad, Matheus, dan Vincentius. Di puncak Kelimutu. Tersenyum.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo