DENGAN 1.600 teknokrat dan mobilisasi dana US$ 100 milyar, dalam tujuh tahun terakhir ini Dana Moneter Internasional (IMF) berperan bagaikan "dewa penolong" untuk Dunia Ketiga. Tapi belakangan ini lembaga itu justru menjadi bulan-bulanan kritik yang bertubi-tubi disemburkan oleh negara-negara yang ditolongnya. Banyak negara pengutang mencap IMF sebagai kartel para kreditor. Kerjanya hanya menarik pembayaran secara paksa, dengan syarat-syarat tak masuk akal, dari negara-negara yang sudah bangkrut karena utang. Bahkan banyak pemimpin Dunia Ketiga menuduh badan yang berkantor tak jauh dari Gedung Putih itu sebagai perusahaan yang sebenarnya hanya melindungi kepentingan para bankir di New York. Tuduhan pertama datang dari Carlos Andreas Perez, Presiden Venezuela. Negerinya baru saja dilanda kerusuhan sosial selama tiga hari, yang menewaskan 375 orang. Rakyat memberontak lantaran kenaikan harga. Perez menuduh kerusuhan tersebut adalah akibat ulah IMF, yang menasihatkan agar Venezuela menaikkan harga-harga, untuk mencegahnya dari kebangkrutan ekonomi. "Itu tak lain dari suatu konspirasi kekuatan raksasa terhadap Dunia Ketiga," katanya. Ternyata kecaman tak hanya datang dari Venezuela. Pada 6 Maret berselang, puluhan ribu rakyat Trinidad berdemonstrasi dalam "Hari Perlawanan", menentang pemotongan gaji. Dan penguasa Trinidad melakukan itu tak lain karena tekanan IMF. Keributan ekonomi sebagai akibat "nasihat" IMF ternyata bukan hal baru. Dalam 20 tahun terakhir ini, telah meletus keributan politik di Mesir, Sudan, Zambia, Dominika, Jamaika, Brasil, dan Argentina. IMF selalu disebut-sebut sebagai biang keladi di balik berbagai kerusuhan itu. Kelompok 8 negara Amerika Latin juga menuntut penundaan pembayaran utang, seraya tak lupa menyerang IMF. Kritik yang sama juga datang dari Manila. Dalam perundingan dengan pemerintahan Corazon Aquino, konon IMF telah menekan Filipina agar menjalankan kebijaksanaan anggaran yang lebih ketat. Ini tentu saja berat, karena ekonomi negeri yang baru mulai bangkit itu masih harus berjuang dengan tingkat inflasi sekitar 8%. Sebaliknya, Michel Camdessus, Ketua IMF, sangat merasa tidak senang dengan berbagai kecaman Dunia Ketiga. Ia mengatakan bahwa persoalan-persoalan di negeri pengutang harus diletakkan pada proporsi yang sebenarnya. IMF jangan dijadikan kambing hitam, begitu Camdessus menyindir, untuk kekeliruan yang dilakukan para politikus di Dunia Ketiga. Dalam situasi yang runyam ini, Dunia Ketiga tampaknya cuma punya sedikit pilihan. Di pihak lain, Camdessus juga tidak berminat untuk berperan sebagai Sinterklas, yang membagi-bagikan hadiah gratis. Apa yang dilakukannya ialah menugasi sebuah perusahaan konsultan, untuk mencari alternatif dalam upaya memperbaiki citra IMF. Dia tak habis pikir, mengapa IMF dianggap memperburuk keadaan, dan bukannya memperbaiki. Karena itu, Camdessus berusaha "menegakkan kebenaran". Mudah-mudahan saja ia tidak terlambat. A. Dahana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini