DARI markas besar Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) di Brussel, sebuah petisi telah menghujat Indonesia, sebagai eksportir lembaran denim yang gemar banting harga, sepanjang tahun 1987. Dalam sebuah nota resmi yang dilayangkan 10 Maret lalu, MEE mengancam akan mengenakan sanksi anti-dumping terhadap Indonesia, dan tiga negara lain yang juga suka banting harga: Hong Kong, Makao, dan Turki. "Sebelum menjatuhkan sanksi coba buktikan dulu," tuntut Menmud Perdagangan Soedradjad Djiwandono, yang dilontarkan di depan wartawan, pekan lalu. Soedradjad gusar menanggapi dakwaan MEE itu. Menurut statistik yang mereka lansir, sodokan ekspor denim keempat negara tadi, selama tahun 1985-1987, telah mampu menggembosi pangsa pasar denim negara-negara anggota MEE -- sampai 15%. Kalau pada 1986, denim anggota MEE masih membanjir sebanyak 106 ribu ton, tahun berikutnya tinggal 87 ribu ton. Sementara itu, denim impor dari empat negara tadi justru melonjak dari hampir seribu ton jadi 15 ribu ton. Indonesia sendiri mengekspor sebanyak 6. 869 ton denim ke MEE -- hampir separuh dari total ekspor keempat negara tadi ke MEE. Bagi MEE, lonjakan impor empat negara itu dianggap tidak wajar. Kabarnya, setelah meneliti selisih harga jual denim di pasaran domestik dan di MEE, akhirnya disimpulkan bahwa keempat negara melakukan praktek dumping yang tidak tanggung-tanggung: antara 44% (Indonesia) dan 59% (Turki). Dan kalau MEE bisa membuktikan kebenaran tuduhannya, negara-negara yang melakukan dumping akan didenda sebesar nilai dumpingnya. Untuk menghitung angka dumping Hong Kong, Makao, dan Turki, MEE tinggal mencari selisih harga jual di pasar domestik dan di MEE, karena ketiga negara tersebut menjual denim di dalam negeri. Indonesia, justru tidak. Karena itu, hitungan angka dumpingnya berbeda. MEE "terpaksa" menggunakan selisih antara "harga normal" -- alias harga taksiran -- yang US$ 3,17 per yar persegi, dan harga jual denim di MEE yang US$ 2,14 per yar persegi. Harga taksiran itu dihitung dari ongkos produksi, ditambah margin keuntungan, tapi berdasar data 31 Juli 1988. Dirjen Perdagangan Luar Negeri Paian Naingolan kontan menolak tuduhan MEE itu. Ia telah mengirim surat bantahan ke Komisioner MEE, Selasa pekan lalu. Menurut Paian, data yang digunakan MEE --untuk menghitung selisih harga taksiran 1988 dan harga jual ekspor 1987 -- itu jelas sangat ganjil. Ongkos produksi 1988 dan 1987 pasti berbeda. Soalnya, harga kapas 1988 lebih mahal 30% dari 1987. "Beda harga denim US $3,17 dan US$ 2,14 itu kan besar sekali," ujar Paian. Menurut perhitungan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), ternyata harga jual denim Indonesia di MEE lebih mahal sekitar 10-12% dibandingkan dengan harga domestik. Jika perhitungan API ini benar, tuduhan MEE itu pasti akan rontok. Bidikan MEE bahwa empat pabrik tekstil Indonesia -- PT Tyfountex, PT South Grrand Textile Mills, PT Bintang Agung, dan PT Eratex -- tak menjual di pasar lokal, juga kurang jitu. Contoh: dari produksi denim Tyfountex yang mencapai 65 ton setahun, 35% bisa diserap pasar dalam negeri. Sisanya untuk pasar ekspor, terutama ke Eropa Barat. Yang telak adalah tangkisan dari PT Bintang Agung, Bandung. Menurut Manajer Pemasaran Sebastian kepada Hedy Susanto dari TEMPO, Bintang Agung terakhir mengekspor denim ke MEE pada 1986. Padahal MEE mempermasalahkan ekspor 1987. Yang lebih konyol adalah tuduhan terhadap Eratex. Pabrik tekstil di Probolinggo, Jawa Timur, itu ternyata sama sekali tak memproduksi denim. Soal dumping ini, menurut perkiraan Dirjen Paian Nainggolan, akan lebih banyak lagi muncul di masa mendatang. "Bisa jadi pekerjaan rutin kita," sindirnya. Untuk menghindari tuduhan dumping yang simpang-siur semacam itu, sebenarnya Indonesia lebih suka duduk semeja dengan delegasi MEE, dan berunding dalam kerangka GATT.Bersihar Abdullah, Ardian T. Gesuri, Sri Pudyastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini