Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JALAN aspal yang semula lengang itu kini sering dijerat kemacetan. Belasan truk penuh batu bara merayap terseok-seok di jalan sempit itu. Jalur Palembang-Tanjung Enim yang biasanya dapat ditempuh paling lama tiga jam kini makan waktu sampai 10 bahkan 12 jam. Menurut Direktur Utama PT Bukit Asam Milawarma, hiruk-pikuk ini terjadi sejak Bupati Lahat membagikan konsesi lahan tambang yang semula dikelola perusahaan negara itu kepada puluhan perusahaan lain. Tatkala penambangan masih diurus Bukit Asam, sebagian besar batu bara diangkut dengan kereta api.
Selain menyibukkan jalan raya, peralihan konsesi lahan dari Bukit Asam ke sejumlah perusahaan ini berujung ke meja hijau. Bukit Asam menggugat keputusan Bupati ke pengadilan. Dalam pelbagai tingkat dan jenis peradilan, kedua pihak menang dan kalah silih berganti. Namun, akhir tahun lalu, Mahkamah Agung memenangkan upaya peninjauan kembali (PK) yang diajukan Bupati Lahat.
Keputusan ini tentu membuat Bukit Asam ketar-ketir. Lahan yang disengketakan luasnya 16 ribu hektare lebih, dengan cadangan batu bara sekitar 230 juta ton. Jumlah ini lebih dari sepersepuluh total cadangan batu bara Bukit Asam yang mencapai 2 miliar ton. Dengan harga US$ 60 per ton saja, cadangan di lahan sengketa ini bernilai US$ 13,8 miliar—jumlah yang fantastis.
Untuk "merebut" kembali haknya, Bukit Asam bertekad melanjutkan proses hukum kasus ini. "Kami akan menggunakan hak peninjauan kembali," kata Milawarma, Selasa pekan lalu, di Jakarta.
Kasus ini bermula dari izin usaha pertambangan—dulu disebut kuasa pertambangan—seluas hampir 25 ribu hektare yang diberikan Gubernur Sumatera Selatan kepada Bukit Asam pada September 2003. Sebagian dari hamparan ini berada di wilayah Kabupaten Muara Enim, sebagian lagi di Kabupaten Lahat.
Jauh sebelum mengantongi izin Gubernur, Bukit Asam telah melakukan eksplorasi sesuai dengan izin Direktur Jenderal Pertambangan Umum pada 1995. Delapan tahun kemudian, pada 2003, perseroan berniat meningkatkan status konsesinya dalam bentuk izin eksploitasi (pemanenan) dan mengajukan permohonan ke Gubernur, mengingat wewenang pusat beralih ke gubernur sejak era otonomi daerah. Gubernur Sumatera Selatan pun memberikan hak kepada Bukit Asam.
Namun izin ini diprotes Bupati Lahat dan Bupati Muara Enim. Alasannya, keputusan tersebut belum meminta pendapat dan persetujuan bupati. Pada awal 2004, melalui sebuah surat, Gubernur menyatakan akan meninjau ulang izin eksploitasi yang telah diberikan.
Pertengahan 2004, Bukit Asam mengajukan permohonan peningkatan izin eksploitasi kepada Bupati Muara Enim dan Lahat. Muara Enim meloloskan, tapi Lahat tidak.
Sebaliknya, pada awal 2005, Bupati Lahat malah menerbitkan izin eksplorasi seluas hampir 2.750 hektare—di lahan yang sedang "diurus" Bukit Asam—kepada PT Mustika Indah Permai. Tak lama setelah itu, Bupati juga menetapkan konsesi yang semula dikelola Bukit Asam sebagai wilayah yang dikuasai negara untuk diurus pemerintah daerah.
Dua tahun kemudian, Bukit Asam kembali mengajukan permohonan izin eksploitasi, tapi Bupati menolak. Bupati memang memberikan izin, tapi hanya eksplorasi—bukan eksploitasi. Itu pun hanya 9.800 hektare, 70 persen dari area yang semula dieksplorasi Bukit Asam.Â
Ditanya soal kasus ini, Bupati Lahat Saifudin Aswari tak bersedia berkomentar. Namun kuasa hukum Pemerintah Kabupaten Lahat, Suharyono, menyatakan persoalan hukum antara Bukit Asam dan Lahat sudah selesai. "Lahat berhak memanfaatkan lahannya sendiri," katanya. Bukit Asam, menurut Suharyono, tak punya hak lagi sejak 2004, ketika Gubernur Sumatera Selatan mencabut izin eksploitasi yang sebelumnya diberikan.
Untuk meningkatkan pendapatan daerah, kata Suharyono, Bupati Lahat juga telah menerbitkan izin eksplorasi baru di wilayah tersebut kepada sejumlah perusahaan—setelah mencabut izin eksplorasi Bukit Asam. Perusahaan itu antara lain PT Mustika Indah Permai, PT Bukit Bara Alam, PT Muara Alam Sejahtera, dan PT Bumi Merapi Energi.
Tak hanya menempuh jalur hukum, Bukit Asam juga melakukan ikhtiar lewat jalur lain: mengadu ke Kementerian BUMN. Pada 2006, Kementerian membawa kasus ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi, dengan laporan hilangnya aset perusahaan negara. Barangkali karena bentuk kerugian negara pada saat itu belum kentara, laporan ini tak terdengar kelanjutannya.
Namun, belakangan, "kerugian negara" tampak jelas—setidaknya bagi manajemen Bukit Asam. Soalnya, PT Mustika Indah Permai, salah satu penerima izin di lahan "bekas" Bukit Asam, dibeli oleh PT Adaro Energy, dengan harga Rp 400 miliar lebih. "Transaksi ini mestinya menjadi hak perusahaan negara, bukan jatuh ke tangan swasta," kata Milawarma. Ini yang membuat Bukit Asam berniat kembali membawa kasus tersebut ke KPK.
Presiden Direktur Adaro Garibaldy Boy Thohir mengatakan pembelian kepada Mustika dilakukan setelah pihaknya yakin wilayah tersebut bersih dari sengketa. "Bisa dicek ke Pemerintah Kabupaten Lahat, apakah secara hukum (lahan) tersebut masih dalam status sengketa," katanya.
Kasus ini agaknya masih akan berbuntut panjang. Akhir tahun lalu, Menteri BUMN yang baru, Dahlan Iskan, menunjuk bekas Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar menjadi Komisaris Utama Bukit Asam. Dahlan berharap, dengan "koneksinya" di kalangan hukum, Patrialis dapat mengurai kisruh konsesi lahan Bukit Asam.
Retno Sulistyowati, Parliza Hendrawan (Lahat)
Proses Hukum
29 Agustus 2005
Bukit Asam menggugat Bupati Lahat ke PTUN Palembang. Gugatan ini ditolak.
14 Desember 2005
Bukit Asam mengajukan permohonan banding ke PTUN Medan. Kembali ditolak.
10 Mei 2007
Bukit Asam mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Kasasi tidak dapat diterima. Bukit Asam diberi peluang mengajukan permohonan baru untuk peningkatan kuasa pertambangan.
23 Juni 2011
Bupati Lahat mengajukan permohonan peninjauan kembali.
Pengadilan Negeri (Perdata)
31 Januari 2008
Bukit Asam mengajukan gugatan perdata kepada Bupati Lahat melalui Pengadilan Negeri Lahat.
12 Agustus 2008
Pengadilan Negeri Lahat menyatakan tidak berwenang mengadili.
21 Agustus 2008
Bukit Asam mengajukan permohonan banding.
9 Juli 2009
Bupati Lahat mengajukan kasasi.
28 Januari 2010
Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi Bupati.
20 April 2011
Bupati Lahat mengajukan permohonan peninjauan kembali.
Desember 2011
Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali.
Kandas di Tangan Bupati
Sampai pekan lalu, Churchill Mining Plc mengaku sudah menggelontorkan modal sekitar US$ 70 juta untuk proyek di Kutai Timur. Tapi, jangankan mengeruk batu bara, nasib investasi mereka kini justru terancam. Berikut ini risalahnya.
Mereka yang bersengketa:
Churchill Mining Plc. adalah perusahaan Inggris yang tercatat di Alternative Investment Market (AIM) di London Stock Exchange. ==> 16,5 persen saham dimiliki Rahmat Gobel. Perusahaan ini mengambil alih 75 persen saham konsesi di Kutai Timur, yang dikantongi PT Ridlatama, milik pengusaha Anang Mudjiantoro.
Grup Nusantara, melalui PT Nusantara Energindo Coal ==> milik Prabowo Subianto. Pada Juli 2010, 60 persen saham Nusantara Energindo dijual ke Ithaca Resources, yang dikuasai Anthoni Salim.
East Kutai Coal Project
Diperkirakan akan berumur lebih dari 50 tahun masa produksi, dengan kapasitas sekitar 40 juta ton per tahun.
Selama proses akuisisi dan eksplorasi, Churchill sudah mengeluarkan modal sekitar US$ 45 juta, dan membengkak sampai US$ 70 juta sampai pekan lalu.
Obyek sengketa:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo