Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Temuan Besar Berbuah Sengketa

Churchill Mining Plc terbelit konflik konsesi batu bara melawan Bupati Kutai Timur serta perusahaan kongsian Prabowo Subianto dan Anthoni Salim. Mereka mengancam membawa perkara ke arbitrase internasional.

27 Februari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MAKAN siang di Jakarta pada Januari 2007 itu ditutup dengan senyum tanda sepakat. Ini adalah pertemuan lanjutan, setelah pada November sebelumnya perwakilan PT Ridlatama mulai mendekati Nusantara Group, yang dikuasai Prabowo Subianto. Dari rangkaian pembicaraan, Ridlatama mendapat sinyal jelas bahwa Nusantara tak lagi meminati lahan konsesi tambang batu bara yang sebelumnya mereka kuasai di kawasan seluas sekitar 35 ribu hektare di Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Selain Anang Mudjiantoro dari Ridlatama dan Prabowo sendiri, hadir dalam makan siang itu mantan Menteri Luar Negeri Alwi Shihab, yang dipasang sebagai salah satu penasihat investor asal Inggris, Churchill Mining Plc. "Nusantara tak lagi tertarik dengan lahan itu setelah izin usaha pertambangan (IUP) mereka kedaluwarsa pada Maret 2006 dan Maret 2007," kata Paul Graus, Chief Operation Officer Churchill untuk proyek batu bara di Kutai Timur, saat ditemui di kantornya, Selasa pekan lalu.

Berbekal sinyal itu, Ridlatama melangkah lebih jauh dengan mengajukan empat izin survei umum di lahan yang ditinggalkan Nusantara dan dinyatakan "terbuka" oleh dinas pertambangan setempat. Izin diterima pada Mei dan November 2007, diteken oleh Bupati Kutai Timur Awang Faroek Ishak. Bersamaan dengan itu, berlangsung pembicaraan antara Ridlatama dan Churchill, yang berujung pada pemberian hak eksklusif kepada perusahaan yang tercatat di London Stock Exchange itu untuk membeli saham di empat konsesi Ridlatama. Pada Maret 2008, Churchill mengambil alih 75 persen kepemilikan Ridlatama dalam proyek ini.

Menurut cerita Paul Graus, sampai di situ, semuanya masih tampak cerah buat Churchill. Mereka bersemangat dan rela merogoh kantong hingga lebih dari US$ 40 juta untuk mengongkosi eksplorasi dan berbagai operasi pendekatan kepada warga di area lisensi tambang. Hingga beberapa bulan kemudian, mereka mengumumkan penemuan deposit batu bara dengan kalori kelas menengah sekitar 150 juta ton.

Harga saham Churchill di London kembali melejit setelah mereka mengklaim temuan yang jauh lebih spektakuler. Para insinyur di lapangan melaporkan kandungan emas hitam di lahan konsesi mereka mencapai sekitar 1 miliar ton dalam standar survei Joint Ore Reserves Committee. Dari beberapa pengeboran, perkiraan potensi deposit bahkan disebutkan bisa melampaui angka 2,8 miliar ton. "Kalau bisa sampai berproduksi dengan cadangan begitu besar, kami memperkirakan pemasukan tak akan kurang dari US$ 2 miliar per tahun," kata Direktur Utama Churchill Mining David F. Quinlivan. "Tapi, sejak temuan besar itu diumumkan, masalah mulai bermunculan."

Bibit sengketa bermula ketika Nusantara ternyata mulai memproses perpanjangan enam izin yang sebelumnya mati, yang lokasinya sebagian besar berada di atas konsesi yang sedang digarap oleh Ridlatama dan Churchill. Perpanjangan itu dikabulkan pada Juli 2008 saat Isran Noor menjadi Penjabat Bupati Kutai Timur.

Awal tahun berikutnya, Nusantara melaporkan dugaan pidana oleh Churchill atas lisensi tambang mereka di Kutai Timur. Laporan ini dimentahkan oleh kepolisian setempat beberapa bulan berikutnya, yang kemudian menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan.

Tapi laporan lain kembali menyusul. Kali ini giliran Badan Pemeriksa Keuangan yang mendeteksi adanya kemungkinan pemalsuan dalam proses terbitnya izin yang dikantongi Ridlatama. Lembaga auditor negara ini juga mempersoalkan tumpang-tindih lahan konsesi Churchill dan Nusantara.

Hantaman buat Churchill mencapai puncaknya pada paruh kedua 2009. Saat itu Isran Noor telah sepenuhnya menjadi Bupati Kutai Timur, menggantikan Awang Faroek yang terpilih sebagai Gubernur Kalimantan Timur. Berbekal dugaan pemalsuan dan laporan adanya perusakan hutan oleh Ridlatama, Isran mengirim surat kepada otoritas London Stock Exchange di Inggris.

Ia memastikan pemerintahannya tidak pernah sekali pun memberikan izin penambangan kepada Churchill. Bupati juga menjelaskan, lisensi atas nama Ridlatama yang diklaim dikuasai Churchill itu penuh masalah. "Kami tidak pernah mengenal Churchill di Kutai Timur," kata Isran Noor kepada Tempo, Kamis pekan lalu. "Kalaupun ada kegiatan pertambangan oleh Churchill melalui Ridlatama, itu pasti ilegal."

Beberapa bulan berselang, pukulan penghabisan benar-benar membuat Churchill kelabakan. Saat mereka sedang merayu untuk mendapatkan guyuran modal dari Credit Suisse di Singapura pada 10 Mei 2010, ternyata orang bank yang menemui mereka menyodorkan salinan dokumen yang ditandatangani Isran Noor sepekan sebelumnya. Isinya adalah pencabutan empat IUP eksploitasi yang dikantongi ­Ridlatama-Churchill.

Dari sini sengketa beranjak ke tingkat yang lebih serius. Churchill, yang merasa sudah habis duit puluhan juta dolar dalam proyek ini, menggugat tindakan Bupati Isran ke pengadilan tata usaha negara. Namun, dalam pengadilan tingkat pertama dan banding, langkah Bupati Kutai Timur dinyatakan tak melanggar aturan dan tata administrasi pemerintahan. Churchill tak mau menyerah, dan kini masih menunggu proses kasasi di Mahkamah Agung.

Perusahaan itu juga mulai membayar para pelobi tingkat tinggi, seperti mantan Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta, Robert S. Gelbard, untuk membantu mereka mencari solusi. Desakan lain diupayakan melalui jalur diplomatik di Kedutaan Besar Inggris. Tapi, kalau buntu dan nanti kalah juga di Mahkamah Agung, mereka mengancam akan membawa perkara ini ke sidang arbitrase internasional.

Para petinggi Churchill mencurigai tindakan Bupati lebih didorong oleh kepentingan pihak ketiga di belakangnya, dengan tujuan mengambil alih lahan konsesi yang kaya batu bara. Menanggapi tudingan itu, Isran Noor mengaku tak peduli. "Enggak ada urusan saya sama Churchill. Saya memang kenal baik dengan Prabowo. Tapi bukan karena pertemanan itu kemudian saya membela dia." (baca: "Wawancara dengan Bupati Isran Noor")

Pihak Nusantara dan Prabowo belum bisa memberi keterangan tentang kasus ini. Orang dekat Prabowo yang kerap mewakilinya, Fadlizon, mengaku tak banyak tahu urusan di Kutai Timur itu. Sedangkan Prabowo, yang dihubungi melalui ajudannya, Sudaryono, tidak memberi tanggapan. Hal serupa disampaikan kantor pengacara Hotman Paris Hutapea, yang mewakili Nusantara dalam sengketa ini. "Untuk saat ini belum bisa menyampaikan penjelasan," kata Nisa, sekretaris Hotman.

Perselisihan dan pertarungan di ruang pengadilan terus berlangsung, tapi sama sekali tak menghalangi langkah tiap perusahaan untuk menjalankan aksi korporasi. Pada Juli 2010, Nusantara melepas 60 persen saham di anak usaha yang menguasai enam konsesi di Kutai Timur ini, yakni PT Nusantara Energindo Coal. Pembelinya PT Ithaca Resources, yang mayoritas dimiliki oleh PT Cahaya Bumi Makmur. Perusahaan ini dikendalikan oleh tiga anak buah taipan Anthoni Salim.

Ihwal ini, kuasa hukum Ithaca Resources, Lucas, mengatakan tidak bisa memberi komentar. "Sementara ini saya belum bisa memberi keterangan apa pun," katanya, Jumat lalu.

Di pihak Churchill, langkah strategis diambil dengan merangkul pengusaha papan atas di Indonesia. Pada Mei 2011, hal itu terwujud dengan masuknya Rahmat Gobel. Presiden Direktur PT Gobel International itu menguasai 16,5 persen saham Churchill Mining Plc bersama rekannya, Fara Luwia, dengan nilai mencapai US$ 12,8 juta atau sekitar Rp 115 miliar. "Dengan kerja sama dalam manajemen, kami percaya akan memberikan pengaruh yang besar bagi operasi Churchill di Indonesia," kata David Quinlivan ketika itu.

Keberadaan Rahmat juga diharapkan bisa membantu mereka mengatasi lobi di level tinggi pemerintahan di Jakarta. "Kami sedang menyiapkan presentasi mengenai kasus ini buat Presiden Yudhoyono," kata Paul Benjamin, Direktur Utama PT Indonesia Coal Development, yang membantu proyek Churchill di Kutai Timur. "Laporan awal sudah kami sampaikan akhir tahun lalu."

Tapi Bupati Isran Noor sudah selangkah lebih maju. Ketua Dewan Pimpinan Partai Demokrat Kalimantan Timur yang sedang bersiap mencalonkan diri dalam pemilihan gubernur tahun depan ini telah lebih dulu merapat ke Cikeas. "Saya sudah lapor ke Presiden pada 21 Januari lalu. Beliau memahami, berterima kasih, dan senang dengan tindakan saya," katanya. "Jangan mengancam pakai arbitrase segala. Kalau mau investasi, taati aturan di sini. Kalau tidak, saya sikat."

Y. Tomi Aryanto, Firman Hidayat (Kalimantan Timur)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus