Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Buku ? itu barang mewah, kata ...

Usaha penerbitan yang tergabung dalam ikapi di indonesia pasang surut. menyesalkan sikap pemerintah, yang memperlakukan buku sebagai barang mewah. agar buku murah,prosedur dunia perbukuan dipermudah.

17 September 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA ia didirikan, Mei 1950 Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) mempunyai beberapa anggota saja. Kemudian keanggotaannya cepat membesar hingga mencapai hampir 450 sampai 1966, tapi mengecil lagi jadi sekitar 80 ketika Ikapi berkongres bulan April 1973. Itu mencerminkan pasang-surut kegiatan penerbitan buku di negeri ini. Banyak perusahaan penerbitan sudah gulung tikar, sebagian mengalihkan usaha ke bidang lain. Amukan inflasi, per cetakan murat-marit, kertas mahal, jatah pemerintah ditiadakan - semua itu membuat orang tidak bergairah lagi menerbitkan buku. Sementara itu, sebagai pengganti buku, di pasar muncul segala macam penerbitan -- silat, komik dan porno -- yang melulu komersiil. Orang kembali merindukan aman penerbitan 1950-an, supaya dipelihara lagi segi idiil. Guna merem gejala menurun itu, pemerintah membentuk proyek Paket Buku (1969) yang bertujuan menyediakan buku pelajaran bermutu untuk sekolah dan madrasah. Proyek itu kemudian dibantu oleh perjanjian kredit ($ 13,5 juta) dari Bank Dunia dan suplai kertas ($ 13 juta) dari Canadian International Development Agency (CIDA). Keduanya berlaku dari 1973 sampai 1980-81. Buku pelajaran memang dapat lancar disediakan karenanya, tapi Dep. P & K sendiri bertindak sebagai penerbit. Proyek itu bukanlah membantu, malah tambah memukul penerbit swasta, sebab buku pelajaran itu dari dulu adalah porsi swasta. Ikapi memprotes, tapi karena pernerintah sudah terlanjur melangkah, porsi swasta itu tetap diambilalih Dep. P & K. Meskipun begitu, pemerintah mencoba juga memperbaiki iklim penerbitan swasta dengan proyek Inpres, yang bertujuan menyediakan buku bacaan sehat untuk Sekolah Dasar. Mulai dilaksanakan tahun 1974, proyek Inpres ini menyerahkan pada swasta untuk menerbitkan buku bacaan itu, tapi Dep. P & K memilih penerbit yang disukainya. Dan kuatlah suara desas desus bahwa di situ terbuka kesempatan pungli. Inpres Lemah "Penerbit kawakan yang berdiri puluhan tahun sedikit sekali mendapat Inpres itu," kata A. Simanjuntak, direktur BPK Cunung Mulia. "Cuma dua judul, kalau (si kawakan) dapat dari Inpres, sudah syukur Mereka, penerbit yang tak tahu kapan lahirnya bisa dapat lebih 50 judul." Simanjuntak menilai buku Inpres itu "tidak semua dapat dikatakan baik mutunya." Banyak di antaranya, kata Simanjuntak, "mengandung kelemahan. Terus terang, kalau misalnya naskah di serahkan kepada penerbit swasta (kawakan, tentunya) untuk menilai pasti akan ditolak." Penerbit musiman itu yang mungkin dapat proyek karena pungli --entah berapa banyak -- tidak menjadi anggota Ikapi. Umumnya mereka adalah pelarian dari bisnis lain, yang juga mendapat julukan seperti penerbang avonturir hanya terbang malam. Proyek Inpres itu bnggal sekali lagi (tahun 1978), tapi mungkin diperpanjang. "Yang jelas," ujar Soeprapto, direktur P3D (Proyek Pelnbinaan Pendidikan Dasar) dari Dep. P&K, "pemerintah naunpaknya masih belum berniat menghentikan proyek penerbitan buku bacaan ini." Proyek Inpres tidak diragukan lagi telah merangsang minat baca anak-anak sekolah. Sudah 40 juta buku dihasilkannya dengan biaya Rp 7,5 milyar. Formatnya kecil - 60 lembar rata-rata per judul. Walaupun sudah banyak disebar ke perpustakaan SD, perbandingan ideal 10 buku untuk satu anak masih belum tercapai. Orang tidak akan memuji jika proyek itu dihentikan, tapi menjadi pertanyaan, terutama di kalangan Ikapi, apakah Dep. P&K akan memperbaiki cara pelaksanaannya. Jika diperbaiki, dan jika Dep. P & K akan mengutamakan sistim tender via Ikapi, maka penerbit yang bonafide pasti akan lega. Bayangkan, di Indonesia terdapat 80.000 SD dan selama 3 tahun terakhir ini dibelanjakan Rp 7,5 milyar. Mungkin akan sebanyak itu pula - sedikitnya -- untuk 3 tahun mendatang. Sungguh besar porsinya. Tapi Dep. P&K cenderung akan menyerahkannya, jika memang harus dialihkan, kepada PN Penerbit Balai Pustaka. Tahun lalu, umpamanya, Balai Pustaka diberi hak penerbitan buku pelajaran (yang berasal proyek Paket Buku) untuk penjualan umum. Jangan Ngepop Melalui Paket Buku, P3D dari Dep. P&K sudah mencetak lebih 100 juta buku terdiri atas empat mata pelajaran SD. Sasaran pemerintah sampai akhir Pelita II ialah mencetaknya sampai 180 juta. "Mungkin sasaran itu akan dilampaui," kata Soeprapto lagi. Semua itu disalurkan secara cuma-cuma ke SD. Jika ingin, toko buku bisa memperolehnya dari Balai Pustaka. Dengan demikian toko buku, selain percetakan, memang mendapat bagian rezeki dari Paket itu. Tapi untuk penerbit swasta, tetap kosong. Sebagian penerbit swasta berharap porsi buku pelajaran itu kembali ke tangan mereka sesudah 1980, ketika bantuan Bank Dunia dan CIDA selesai. Tapi sebagian lagi penerbit tidak optimistis selagi ia tetap termasuk proyek pemerintah. Soalnya ialah harga buku akan mahal bila tanpa bantuan pemerintah. "Lebih baik berusaha tanpa menggantungkan diri pada proyek pemerintah," kata Ajip Rosidi, ketua Ikapi, yang juga memimpin PT Dunia Pustaka Jaya. Didirikan tahun 1971, Pustaka Jaya terutama menerbitkan buku sastra-kebudayaan dan bacaan anak-anak. h mengutamakan segi idiil. "Buku sastra, buku fiksi yang ringan tapi tidak porno masih sangat kurang," kata Ajip. "Kami ingin menerbitkan lebih banyak lagi." Kebutuhan masyarakat akan buku fiksi kebetulan meningkat. Para penerbit lain, yang tidak melakukan spesialisasi seperti Pustaka Jaya, juga melihat ini. Djambatan, umpamanya, yang semula senang menerbitkan buku pengetahuan umum, belakangan ini tidak mengabaikan novel pop. "Kalau novel pop semacam punyanya Motinggo Boesye, maaf saja, saya tolak," kata Roswitha Pamoentjak, direktris Djambatan. "Pokoknya, jangan terlalu ngepop. Saya tidak mau yang kodian." PT Indira yang mengimpor buku sejak 1951 pun, menurut direktur Wahyudi, mulai tertarik lagi untuk menerbitkan. Pilihannya terutama kepada penerbitan cerita bergambar untuk anak-anak. yang juga cepat terjual, di samping fiksi. Besar Karena Bobo? PT Gramedia, menurut manajer penerbitannya, Y. Adisubrata, bergairah karena "ada kebutuhan masyarakat akan bacaan baik." Majalah Bobo, bacaan anak-anak, paling menguntungkan dibanding dari semua yang diterbitkan PT Gramedia. "Tapi kemajuan, menurut PK Oyong (presdir Gramedia), tak bisa diukur dari besarnya oplah Bobo saja (125.000 eks). Maka kami pun bertekad menerbitkan sebanyak mungkin buku, terjemahan yang menimba kekayaan hangsa lain," kata Adisubrata. NV Bulan Bintang yang khusus menerbitkan buku agama Islam juga melihat iklim makin baik. Selama 1976, menurut direktur H. Amelz, Bulan Bintang menerbitkan 120 judul. Banyak penerbit lain memakai ukuran 5.000 eks. per judul untuk mengambil keputusan sesuatu diterbitkan atau tidak Bulan Bintang bisa minimal 10.000 dan maksimal 25.000 eks. per judul. Jika 5.000 eks. per judul, penerbit biasanya akan memikul risiko rugi jika huku lama terjual. Djambatan menerbitkan Max Havelaar, terjemahan HB Yassin, sebanyak itu pertama kali dengan dugaan ia akan habis terjual sesudah dua tahun, dan apa boleh buat kalau rugi. Ternyata tiga bulan habis, hingga berulangkali dicetak sejak 1972 sampai terkhil September ini. Itulah gambaran betapa kegiatan penerbitan kldonesia sedang menaik. Keanggotaan Ikapi pun kini sudah meningkat dari 80 (1973) ke 116. Di luar Ikapi, mungkin ada lebih banyak lagi penerbit kecil, termasuk yang "musiman". Namun, kaum penerbit masih menyesalkan sikap pemerintah yang seakan-akan memperlakukan buku sebagai barang mewah. Sedang semustinya, kata mereka, daftar Bulog mengenai bahan pokok yang 9 itu ditambah satu lagi buku. Kertas untuk buku masih dikenakan bea impor 60%, sedang untuk koran cuma 20%. Ditambah 10% PPn, harganya tinggi sekali untuk buku, belum lagi dihitung TEMPO dan sebagainya. Bagi penerbit yang tidak memiliki percetakan, bebanllya makin berat. iasanya pengusaha percetakan menuntut uang muka ongkos cetak 50%, malah sampai 75%, mengingat kcl janya memakan waktu lama. Bila buku lama terjual, berarti modal terlalu lama. Jika modal kerja sediki, penerbit terpaksa meminjam dari bank komersiil dengan sukubunga tinggi. Pemerintah menyediakan krelit bank yang rendah untuk perusahaan PMDN tidak untuk penerbitan. Di Australia, yang sudah begitu maju, pemerintah masih memberikan subsidi 25'. dari ongkos produksi buku. Mengingat Indonesia, yang masih berkembang, subsidi itu tentu lebih diperlukan lagi oleh penerbit. Impor buku hanya seharga $ 5 juta pada tanun 1973, menurut BPS. Jika naik tahun ini, jumlahnya masih sedikit sekali dalam penerimaan negara. Toh pemerintah mengenakan bea impor 40% untuk buku. Prosedur Kejaksaan Agung, yang mengharuskan sensor terhadap buku impor, menambah beban harga. Belakangan ini pemerintah membebaskan bea masuk untuk buku pengetahuan hanya atas permintaan importir. Tidak otomatis bebas bea. Maka harganya tetap mahal. "Saya heran," kata Mas Agung, Dirut PT Gunung Agung, "kalau mahasiswa diam saja tentang soal buku." Gunung Agung yang jaya sedari 1950-an di bidang penerbitan, kini mencoba mengalihkan juga bisnis ke bidang lain. Perusahaan penerbit ini, seperti Mas Agung menyebutnya, "hanya bertahan untuk tidak tenggelam."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus