KETIKA ia didirikan, Mei 1950 Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi)
mempunyai beberapa anggota saja. Kemudian keanggotaannya cepat
membesar hingga mencapai hampir 450 sampai 1966, tapi mengecil
lagi jadi sekitar 80 ketika Ikapi berkongres bulan April 1973.
Itu mencerminkan pasang-surut kegiatan penerbitan buku di
negeri ini.
Banyak perusahaan penerbitan sudah gulung tikar, sebagian
mengalihkan usaha ke bidang lain. Amukan inflasi, per cetakan
murat-marit, kertas mahal, jatah pemerintah ditiadakan - semua
itu membuat orang tidak bergairah lagi menerbitkan buku.
Sementara itu, sebagai pengganti buku, di pasar muncul segala
macam penerbitan -- silat, komik dan porno -- yang melulu
komersiil. Orang kembali merindukan aman penerbitan 1950-an,
supaya dipelihara lagi segi idiil.
Guna merem gejala menurun itu, pemerintah membentuk proyek Paket
Buku (1969) yang bertujuan menyediakan buku pelajaran bermutu
untuk sekolah dan madrasah. Proyek itu kemudian dibantu oleh
perjanjian kredit ($ 13,5 juta) dari Bank Dunia dan suplai
kertas ($ 13 juta) dari Canadian International Development
Agency (CIDA).
Keduanya berlaku dari 1973 sampai 1980-81. Buku pelajaran memang
dapat lancar disediakan karenanya, tapi Dep. P & K sendiri
bertindak sebagai penerbit. Proyek itu bukanlah membantu, malah
tambah memukul penerbit swasta, sebab buku pelajaran itu dari
dulu adalah porsi swasta. Ikapi memprotes, tapi karena
pernerintah sudah terlanjur melangkah, porsi swasta itu tetap
diambilalih Dep. P & K.
Meskipun begitu, pemerintah mencoba juga memperbaiki iklim
penerbitan swasta dengan proyek Inpres, yang bertujuan
menyediakan buku bacaan sehat untuk Sekolah Dasar. Mulai
dilaksanakan tahun 1974, proyek Inpres ini menyerahkan pada
swasta untuk menerbitkan buku bacaan itu, tapi Dep. P & K
memilih penerbit yang disukainya. Dan kuatlah suara desas desus
bahwa di situ terbuka kesempatan pungli.
Inpres Lemah
"Penerbit kawakan yang berdiri puluhan tahun sedikit sekali
mendapat Inpres itu," kata A. Simanjuntak, direktur BPK Cunung
Mulia. "Cuma dua judul, kalau (si kawakan) dapat dari Inpres,
sudah syukur Mereka, penerbit yang tak tahu kapan lahirnya bisa
dapat lebih 50 judul."
Simanjuntak menilai buku Inpres itu "tidak semua dapat dikatakan
baik mutunya." Banyak di antaranya, kata Simanjuntak,
"mengandung kelemahan. Terus terang, kalau misalnya naskah di
serahkan kepada penerbit swasta (kawakan, tentunya) untuk
menilai pasti akan ditolak."
Penerbit musiman itu yang mungkin dapat proyek karena pungli
--entah berapa banyak -- tidak menjadi anggota Ikapi. Umumnya
mereka adalah pelarian dari bisnis lain, yang juga mendapat
julukan seperti penerbang avonturir hanya terbang malam.
Proyek Inpres itu bnggal sekali lagi (tahun 1978), tapi mungkin
diperpanjang. "Yang jelas," ujar Soeprapto, direktur P3D (Proyek
Pelnbinaan Pendidikan Dasar) dari Dep. P&K, "pemerintah
naunpaknya masih belum berniat menghentikan proyek penerbitan
buku bacaan ini."
Proyek Inpres tidak diragukan lagi telah merangsang minat baca
anak-anak sekolah. Sudah 40 juta buku dihasilkannya dengan biaya
Rp 7,5 milyar. Formatnya kecil - 60 lembar rata-rata per judul.
Walaupun sudah banyak disebar ke perpustakaan SD, perbandingan
ideal 10 buku untuk satu anak masih belum tercapai. Orang tidak
akan memuji jika proyek itu dihentikan, tapi menjadi pertanyaan,
terutama di kalangan Ikapi, apakah Dep. P&K akan memperbaiki
cara pelaksanaannya. Jika diperbaiki, dan jika Dep. P & K akan
mengutamakan sistim tender via Ikapi, maka penerbit yang
bonafide pasti akan lega. Bayangkan, di Indonesia terdapat
80.000 SD dan selama 3 tahun terakhir ini dibelanjakan Rp 7,5
milyar. Mungkin akan sebanyak itu pula - sedikitnya -- untuk 3
tahun mendatang. Sungguh besar porsinya.
Tapi Dep. P&K cenderung akan menyerahkannya, jika memang harus
dialihkan, kepada PN Penerbit Balai Pustaka. Tahun lalu,
umpamanya, Balai Pustaka diberi hak penerbitan buku pelajaran
(yang berasal proyek Paket Buku) untuk penjualan umum.
Jangan Ngepop
Melalui Paket Buku, P3D dari Dep. P&K sudah mencetak lebih 100
juta buku terdiri atas empat mata pelajaran SD. Sasaran
pemerintah sampai akhir Pelita II ialah mencetaknya sampai 180
juta. "Mungkin sasaran itu akan dilampaui," kata Soeprapto lagi.
Semua itu disalurkan secara cuma-cuma ke SD. Jika ingin, toko
buku bisa memperolehnya dari Balai Pustaka. Dengan demikian toko
buku, selain percetakan, memang mendapat bagian rezeki dari
Paket itu. Tapi untuk penerbit swasta, tetap kosong.
Sebagian penerbit swasta berharap porsi buku pelajaran itu
kembali ke tangan mereka sesudah 1980, ketika bantuan Bank Dunia
dan CIDA selesai. Tapi sebagian lagi penerbit tidak optimistis
selagi ia tetap termasuk proyek pemerintah. Soalnya ialah harga
buku akan mahal bila tanpa bantuan pemerintah.
"Lebih baik berusaha tanpa menggantungkan diri pada proyek
pemerintah," kata Ajip Rosidi, ketua Ikapi, yang juga memimpin
PT Dunia Pustaka Jaya.
Didirikan tahun 1971, Pustaka Jaya terutama menerbitkan buku
sastra-kebudayaan dan bacaan anak-anak. h mengutamakan segi
idiil. "Buku sastra, buku fiksi yang ringan tapi tidak porno
masih sangat kurang," kata Ajip. "Kami ingin menerbitkan lebih
banyak lagi."
Kebutuhan masyarakat akan buku fiksi kebetulan meningkat. Para
penerbit lain, yang tidak melakukan spesialisasi seperti Pustaka
Jaya, juga melihat ini. Djambatan, umpamanya, yang semula senang
menerbitkan buku pengetahuan umum, belakangan ini tidak
mengabaikan novel pop. "Kalau novel pop semacam punyanya
Motinggo Boesye, maaf saja, saya tolak," kata Roswitha
Pamoentjak, direktris Djambatan. "Pokoknya, jangan terlalu
ngepop. Saya tidak mau yang kodian."
PT Indira yang mengimpor buku sejak 1951 pun, menurut direktur
Wahyudi, mulai tertarik lagi untuk menerbitkan. Pilihannya
terutama kepada penerbitan cerita bergambar untuk anak-anak.
yang juga cepat terjual, di samping fiksi.
Besar Karena Bobo?
PT Gramedia, menurut manajer penerbitannya, Y. Adisubrata,
bergairah karena "ada kebutuhan masyarakat akan bacaan baik."
Majalah Bobo, bacaan anak-anak, paling menguntungkan dibanding
dari semua yang diterbitkan PT Gramedia. "Tapi kemajuan,
menurut PK Oyong (presdir Gramedia), tak bisa diukur dari
besarnya oplah Bobo saja (125.000 eks). Maka kami pun bertekad
menerbitkan sebanyak mungkin buku, terjemahan yang menimba
kekayaan hangsa lain," kata Adisubrata.
NV Bulan Bintang yang khusus menerbitkan buku agama Islam juga
melihat iklim makin baik. Selama 1976, menurut direktur H.
Amelz, Bulan Bintang menerbitkan 120 judul. Banyak penerbit
lain memakai ukuran 5.000 eks. per judul untuk mengambil
keputusan sesuatu diterbitkan atau tidak Bulan Bintang bisa
minimal 10.000 dan maksimal 25.000 eks. per judul.
Jika 5.000 eks. per judul, penerbit biasanya akan memikul risiko
rugi jika huku lama terjual. Djambatan menerbitkan Max Havelaar,
terjemahan HB Yassin, sebanyak itu pertama kali dengan dugaan ia
akan habis terjual sesudah dua tahun, dan apa boleh buat kalau
rugi. Ternyata tiga bulan habis, hingga berulangkali dicetak
sejak 1972 sampai terkhil September ini.
Itulah gambaran betapa kegiatan penerbitan kldonesia sedang
menaik. Keanggotaan Ikapi pun kini sudah meningkat dari 80
(1973) ke 116. Di luar Ikapi, mungkin ada lebih banyak lagi
penerbit kecil, termasuk yang "musiman".
Namun, kaum penerbit masih menyesalkan sikap pemerintah yang
seakan-akan memperlakukan buku sebagai barang mewah. Sedang
semustinya, kata mereka, daftar Bulog mengenai bahan pokok yang
9 itu ditambah satu lagi buku.
Kertas untuk buku masih dikenakan bea impor 60%, sedang untuk
koran cuma 20%. Ditambah 10% PPn, harganya tinggi sekali untuk
buku, belum lagi dihitung TEMPO dan sebagainya. Bagi penerbit
yang tidak memiliki percetakan, bebanllya makin berat. iasanya
pengusaha percetakan menuntut uang muka ongkos cetak 50%, malah
sampai 75%, mengingat kcl janya memakan waktu lama. Bila buku
lama terjual, berarti modal terlalu lama. Jika modal kerja
sediki, penerbit terpaksa meminjam dari bank komersiil dengan
sukubunga tinggi. Pemerintah menyediakan krelit bank yang
rendah untuk perusahaan PMDN tidak untuk penerbitan.
Di Australia, yang sudah begitu maju, pemerintah masih
memberikan subsidi 25'. dari ongkos produksi buku. Mengingat
Indonesia, yang masih berkembang, subsidi itu tentu lebih
diperlukan lagi oleh penerbit.
Impor buku hanya seharga $ 5 juta pada tanun 1973, menurut BPS.
Jika naik tahun ini, jumlahnya masih sedikit sekali dalam
penerimaan negara. Toh pemerintah mengenakan bea impor 40% untuk
buku. Prosedur Kejaksaan Agung, yang mengharuskan sensor
terhadap buku impor, menambah beban harga. Belakangan ini
pemerintah membebaskan bea masuk untuk buku pengetahuan hanya
atas permintaan importir. Tidak otomatis bebas bea. Maka
harganya tetap mahal.
"Saya heran," kata Mas Agung, Dirut PT Gunung Agung, "kalau
mahasiswa diam saja tentang soal buku." Gunung Agung yang jaya
sedari 1950-an di bidang penerbitan, kini mencoba mengalihkan
juga bisnis ke bidang lain. Perusahaan penerbit ini, seperti Mas
Agung menyebutnya, "hanya bertahan untuk tidak tenggelam."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini