BUKU memang bisa membuat kita kaya. Tapi tergantung pula dari
cara kita hidup bagaimana, kata La Rose alias nyonya Jenny
Hazanah Sastrodanukusumo. Pengarang Wajah-wajah Cinta dan Bukan
Karena Aku Tidak Mencintai ini termasuk laris saat ini.
Wajah-wajah Cinta dengan oplag 25 ribu, berhasil dicetak ulang
hanya dalam tempo 4bulan. Cetakan kedua sebanyak 10 ribu buku.
Ia sempat pula mengalami cetakan ketiga, 5 ribu buku, dalam
waktu singkat.
Sekitar 30 pucuk surat dari para penggemar yang meliputi
berbagai lapisan masyarakat - sarjana, para ibu rumah tangga,
remaja - datang setiap hari. Kalau tidak percaya boleh datang ke
rumahnya yang terbilang keren. Dan dari angka yang
ditunjukkannya pada TEMPO -- sayang harus tetap dirahasiakan -
jelas galaknya penerbitan buku sekarang memberikan imbas yang
berarti bagi pendapatan. Apalagi buku-buku tersebut kelihatan
begitu mudahnya meluncur dari tangan La Rose.
Hanya dalam waktu seminggu untuk pembuatan sinopsis, tambah
sebulan kerja selanjutnya, La Rose sudah membuka sumber untuk
membuatnya tambah kaya. Apalagi menurut pengakuannya, ia tidak
bekerja sepanjang hari. "Saya tidak pernah menyentuh mesin tik
kalau suami sudah puiang kantor," katanya pasti.
Pada mulanya ia pernah menyangka tulisannya akan dihindari oleh
banyak orang. Wajah-wajah Cinta bahkan pernah tidak digubris
oleh penerbit Gunung Agung. Baru setelah majalah Kartini
mengorbitkannya dalam pasaran, penerbit bersangkutan malah
datang sendiri menghubungi. Sekarang dari Taman Ismail Marzuki
sendiri sudah datang undangan, agar ia suka memberikan coramah
mengenai buku-bukunya sendiri. Sementara di atas meja kerjanya
sudah jalan 2 buah judul, masing-masing Tidak Ada Jalan Lain dan
Benangbenan Kusut. Be8itu kelar, keduanya langsung akan
dilambungkan oleh penerbit "Selecta Group".
Kerakusan penerbit, yang ngiler di sekitar pengarang-pengarang
yang sedang laris, memang mengherankan saat ini. Kalau dulu
pengarang sampai keluar lidahnya mencari-cari penerbit, sekarang
dia bisa dengan sombong menampik, atau meminta persyaratan
ini-itu.
Pengarang buku saku lain yang juga sedang laris sekarang adalah
Edy D. Iskandar. Ia menceritakan dengan tenang bahwa setelah
bukunya Cowok Komersiil rame dibeli, banyak penerbit
berdatangan. Mereka menawarkan kondisi yang lebih baik. Bahkan
ada yang berani memberinya kontrak Rp 10 juta untuk 10 buku
dalam oplah tertentu. Padahal ketika Cowok Komersiil (kini
mengalami cetakan ketiga dalam beberapa bulan) diserahkan pada
Cypres, Iskandar hanya memperoleh sekitar Rp 270 ribu.
"Tapi bagi saya, buku sekarang masih belum membuat pengarang
jadi kaya," katanya. Mahasiswa Akademi Sinematogral yang
berusia 26 tahun ini tampak memang belum benar-benar mengenyam
kegalakan penerbitan buku, meskipun ia dengan bukunya yang lain
Sok Nyentrik berhasil lepas dengan lincah di pasaran. "Soalnya",
kata Edy, "sukses buku tidak seimbang dengan apa yang kemudian
menyumbat dapur para pengarang. Rata-rata penerbit belum
memberikan penghargaan layak," ucapnya.
Ia menceritakan pernah mendatangi beberapa rekannya sesama
penetas buku saku. Rata-rata mereka paling tinggi hanya mencapai
angka Rp 500 ribu, untuk satu judul yang dicetak sebanyak 5 ribu
eksemplar. Ada juga yang sampai dapat Rp 1 juta, tapi untuk 10
ribu eksemplar. Ini mengingatkan kita pada pengarang Motinggo
Boesye yang setiap kali bikin perjanjian penerbitan buku selalu
menuntut agar oplah 10 ribu. Alasannya: ia percaya namanya cukup
luas menggigit para pembaca.
Edy yang "komersiil" sekarang ini di mata para penerbit, mungkin
memang termasuk kurang gesit mengumpulkan kekayaan. Karena untuk
kedua bukunya yang digerayangi oleh para remaja itu (Cowok
Komersiil dan Sok Nyentrik) ia hanya bisa menggaet Rp 1 juta,
tatkala naskah itu dibeli oleh sebuah perusahaan film untuk
dijadikan ballan makanan gedung bioskop. Bandingkan dengan novel
Ashadi Siregar yang kini berharga sampai Rp 2 juta, untuk satu
judul. Pengarang Kampus Biru, Kugapai Cintamu, Sirkuit Kemelut,
Terminal Cinta Terakhir ini bahkan pernah mengatakan: ia untuk
sementara lebih suka menjual novel daripada mencoba menulis
skenario, karena harganya bisa lebih mahal. Skenario film kelas
satu saat ini berharga sekitar Rp 1,5 juta.
Mungkin amukan buku memang tidak atau belum membuat seorang
pengarang menjadi kaya dalam arti yang sebenarnya. Karena arus
pendapatan yang deretan nolnya panjang itu, memang belum lama
munculnya Para pengarang itu sendiri baru sempat menikmatinya
dengan beberapa judul saja. Umar Kayam yang tiba-tiba ketiban Rp
1 juta dari Wim Umboh untuk novelnya awuk, di Pustaka Jaya buku
itu lebih berarti sebagai dokumentasi sastra, daripada proyek
amanat penderitaan perut. Atau Marianne Katoppo yang mendapatkan
Rp 540 ribu untuk bukunya Dunia Tak Bermusim untuk oplah 6000
buah.
Rezeki ini datangnya bisa beruntun. Seperti yang terjadi pada
Boesye. Ia sudah menulis sejak hampir 20 tahun yang lalu, dan
sampai sekarang mampu menghasilkan beberapa judul dalam 1 bulan.
Pada dia, kesempatan kaya melalui buku bukan hal yang mustahil.
Asal saja kegairahan penerbitan dan pembelian buku tetap ngebet
seperti sekarang.
Yang jelas, beberapa pengarang buku saku, dengan ilustrasi
sampul yang nebeng buku saku Amerika, jelas memperoleh uang
lebih banyak. Bandingkan misalnya dengan penghasilan para
pengarang buku-buku yang baik bentuk maupun isinya tidak
"ngepop", yang jauh di bawah angka-angka yang sudah kita
sebutkan. Seorang pengarang, Sukanto SA, yang mengarang 6 buku
anak-anak tahun ini, dengan harga buku yang di antaranya ada
mencapai Rp 550, mengaku baru mcnerima Rp 30 ribu. Padahal
Sukanto bukanlah pengarang kelas kambing.
Kekayaan para pengarang berlipat karena ledakan buku, seharusnya
bisa segera diketahui seandainya di jala Gatot Subroto ada
angka-angka. Tetapi di Kantor Pajak Pusat itu, TEMPO tak
berhasil mendapatkan apa-apa. Drs. Budiono dari Humas
menerangkan, pajak pengarang sebesar 10% sudah diperhitungkan
dalam pajak pendapatan bagi perorangan. Sementara pengecekan
di penerbitan dilakukan dalam pajak perorangan. "Sejak dulu tak
ada perincian tersendiri mengenai pajak pengarang. Secara
administratip itu tak mungkin," katanya.
Jadi begini sajalah. Mari kita kutip apa yang dikatakan oleh
Edy dengan jujur. "Penerbitan sekarang memang gencar, tetapi
situasi penjualan tetap saja, menggebu-gebu memang untuk
beberapa nama tertentu saja." Jadi kekayaan tersebut tentulah
baru melimpah pada beberapa orang tertentu juga. Belum merupakan
revolusi kocek para pengarang secara umum. Itupun masih tetap
dalam ancaman: sewaktu-waktu bisa seret.
Dalam hal Boesye misalnya, karena ia bisa melemparkan sampai 5
novel dalam satu bulan, pembacanya jadi bingung. Mana yang harus
dibeli? Saatsaat ini, hanya bukunya yang bernama Sejuta Duka Ibu
yang bisa amblas sampai 500 buku satu bulan (di Bandung). Pada
judul-judul lain ia mengalami pengereman. Sedang Abdullah
Harahap yang pernah laris, menurut beberapa orang yang tahu,
pernah tak berani lagi dicetak lagi oleh penerbitnya sendiri.
Ancaman seperti ini tentulah berarti kekayaan dari satu dua buah
judul selalu diikuti oleh bayangan bahwa itu bersifat kekayaan
sementara saja. Kalau tidak datang misalnya kesibukan dari dunia
film yang kini jeli matanya menyelusup ke celah-celah buku.
Kugapai Cintamu yang sejak 1974 lepas dari tangan pengarangnya
dengan harga Rp 250 ribu, pernah membuat akrobatik angka,
sehingga Wim Umboh tercengang. "Sampai ada yang kemudian
menawarnya Rp 4 juta, tapi saya berniat memfilmkannya sendiri,"
kata sutradara itu pada TEMPO.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini