Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Buku bikin kaya ?

Penghasilan pengarang menerbitkan buku belum membuat pengarang menjadi kaya. buku bisa membuat kita kaya. dari segi hidup bagaimana? rata-rata penerbit memberi penghargaan yang layak untuk pengarang.

17 September 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKU memang bisa membuat kita kaya. Tapi tergantung pula dari cara kita hidup bagaimana, kata La Rose alias nyonya Jenny Hazanah Sastrodanukusumo. Pengarang Wajah-wajah Cinta dan Bukan Karena Aku Tidak Mencintai ini termasuk laris saat ini. Wajah-wajah Cinta dengan oplag 25 ribu, berhasil dicetak ulang hanya dalam tempo 4bulan. Cetakan kedua sebanyak 10 ribu buku. Ia sempat pula mengalami cetakan ketiga, 5 ribu buku, dalam waktu singkat. Sekitar 30 pucuk surat dari para penggemar yang meliputi berbagai lapisan masyarakat - sarjana, para ibu rumah tangga, remaja - datang setiap hari. Kalau tidak percaya boleh datang ke rumahnya yang terbilang keren. Dan dari angka yang ditunjukkannya pada TEMPO -- sayang harus tetap dirahasiakan - jelas galaknya penerbitan buku sekarang memberikan imbas yang berarti bagi pendapatan. Apalagi buku-buku tersebut kelihatan begitu mudahnya meluncur dari tangan La Rose. Hanya dalam waktu seminggu untuk pembuatan sinopsis, tambah sebulan kerja selanjutnya, La Rose sudah membuka sumber untuk membuatnya tambah kaya. Apalagi menurut pengakuannya, ia tidak bekerja sepanjang hari. "Saya tidak pernah menyentuh mesin tik kalau suami sudah puiang kantor," katanya pasti. Pada mulanya ia pernah menyangka tulisannya akan dihindari oleh banyak orang. Wajah-wajah Cinta bahkan pernah tidak digubris oleh penerbit Gunung Agung. Baru setelah majalah Kartini mengorbitkannya dalam pasaran, penerbit bersangkutan malah datang sendiri menghubungi. Sekarang dari Taman Ismail Marzuki sendiri sudah datang undangan, agar ia suka memberikan coramah mengenai buku-bukunya sendiri. Sementara di atas meja kerjanya sudah jalan 2 buah judul, masing-masing Tidak Ada Jalan Lain dan Benangbenan Kusut. Be8itu kelar, keduanya langsung akan dilambungkan oleh penerbit "Selecta Group". Kerakusan penerbit, yang ngiler di sekitar pengarang-pengarang yang sedang laris, memang mengherankan saat ini. Kalau dulu pengarang sampai keluar lidahnya mencari-cari penerbit, sekarang dia bisa dengan sombong menampik, atau meminta persyaratan ini-itu. Pengarang buku saku lain yang juga sedang laris sekarang adalah Edy D. Iskandar. Ia menceritakan dengan tenang bahwa setelah bukunya Cowok Komersiil rame dibeli, banyak penerbit berdatangan. Mereka menawarkan kondisi yang lebih baik. Bahkan ada yang berani memberinya kontrak Rp 10 juta untuk 10 buku dalam oplah tertentu. Padahal ketika Cowok Komersiil (kini mengalami cetakan ketiga dalam beberapa bulan) diserahkan pada Cypres, Iskandar hanya memperoleh sekitar Rp 270 ribu. "Tapi bagi saya, buku sekarang masih belum membuat pengarang jadi kaya," katanya. Mahasiswa Akademi Sinematogral yang berusia 26 tahun ini tampak memang belum benar-benar mengenyam kegalakan penerbitan buku, meskipun ia dengan bukunya yang lain Sok Nyentrik berhasil lepas dengan lincah di pasaran. "Soalnya", kata Edy, "sukses buku tidak seimbang dengan apa yang kemudian menyumbat dapur para pengarang. Rata-rata penerbit belum memberikan penghargaan layak," ucapnya. Ia menceritakan pernah mendatangi beberapa rekannya sesama penetas buku saku. Rata-rata mereka paling tinggi hanya mencapai angka Rp 500 ribu, untuk satu judul yang dicetak sebanyak 5 ribu eksemplar. Ada juga yang sampai dapat Rp 1 juta, tapi untuk 10 ribu eksemplar. Ini mengingatkan kita pada pengarang Motinggo Boesye yang setiap kali bikin perjanjian penerbitan buku selalu menuntut agar oplah 10 ribu. Alasannya: ia percaya namanya cukup luas menggigit para pembaca. Edy yang "komersiil" sekarang ini di mata para penerbit, mungkin memang termasuk kurang gesit mengumpulkan kekayaan. Karena untuk kedua bukunya yang digerayangi oleh para remaja itu (Cowok Komersiil dan Sok Nyentrik) ia hanya bisa menggaet Rp 1 juta, tatkala naskah itu dibeli oleh sebuah perusahaan film untuk dijadikan ballan makanan gedung bioskop. Bandingkan dengan novel Ashadi Siregar yang kini berharga sampai Rp 2 juta, untuk satu judul. Pengarang Kampus Biru, Kugapai Cintamu, Sirkuit Kemelut, Terminal Cinta Terakhir ini bahkan pernah mengatakan: ia untuk sementara lebih suka menjual novel daripada mencoba menulis skenario, karena harganya bisa lebih mahal. Skenario film kelas satu saat ini berharga sekitar Rp 1,5 juta. Mungkin amukan buku memang tidak atau belum membuat seorang pengarang menjadi kaya dalam arti yang sebenarnya. Karena arus pendapatan yang deretan nolnya panjang itu, memang belum lama munculnya Para pengarang itu sendiri baru sempat menikmatinya dengan beberapa judul saja. Umar Kayam yang tiba-tiba ketiban Rp 1 juta dari Wim Umboh untuk novelnya awuk, di Pustaka Jaya buku itu lebih berarti sebagai dokumentasi sastra, daripada proyek amanat penderitaan perut. Atau Marianne Katoppo yang mendapatkan Rp 540 ribu untuk bukunya Dunia Tak Bermusim untuk oplah 6000 buah. Rezeki ini datangnya bisa beruntun. Seperti yang terjadi pada Boesye. Ia sudah menulis sejak hampir 20 tahun yang lalu, dan sampai sekarang mampu menghasilkan beberapa judul dalam 1 bulan. Pada dia, kesempatan kaya melalui buku bukan hal yang mustahil. Asal saja kegairahan penerbitan dan pembelian buku tetap ngebet seperti sekarang. Yang jelas, beberapa pengarang buku saku, dengan ilustrasi sampul yang nebeng buku saku Amerika, jelas memperoleh uang lebih banyak. Bandingkan misalnya dengan penghasilan para pengarang buku-buku yang baik bentuk maupun isinya tidak "ngepop", yang jauh di bawah angka-angka yang sudah kita sebutkan. Seorang pengarang, Sukanto SA, yang mengarang 6 buku anak-anak tahun ini, dengan harga buku yang di antaranya ada mencapai Rp 550, mengaku baru mcnerima Rp 30 ribu. Padahal Sukanto bukanlah pengarang kelas kambing. Kekayaan para pengarang berlipat karena ledakan buku, seharusnya bisa segera diketahui seandainya di jala Gatot Subroto ada angka-angka. Tetapi di Kantor Pajak Pusat itu, TEMPO tak berhasil mendapatkan apa-apa. Drs. Budiono dari Humas menerangkan, pajak pengarang sebesar 10% sudah diperhitungkan dalam pajak pendapatan bagi perorangan. Sementara pengecekan di penerbitan dilakukan dalam pajak perorangan. "Sejak dulu tak ada perincian tersendiri mengenai pajak pengarang. Secara administratip itu tak mungkin," katanya. Jadi begini sajalah. Mari kita kutip apa yang dikatakan oleh Edy dengan jujur. "Penerbitan sekarang memang gencar, tetapi situasi penjualan tetap saja, menggebu-gebu memang untuk beberapa nama tertentu saja." Jadi kekayaan tersebut tentulah baru melimpah pada beberapa orang tertentu juga. Belum merupakan revolusi kocek para pengarang secara umum. Itupun masih tetap dalam ancaman: sewaktu-waktu bisa seret. Dalam hal Boesye misalnya, karena ia bisa melemparkan sampai 5 novel dalam satu bulan, pembacanya jadi bingung. Mana yang harus dibeli? Saatsaat ini, hanya bukunya yang bernama Sejuta Duka Ibu yang bisa amblas sampai 500 buku satu bulan (di Bandung). Pada judul-judul lain ia mengalami pengereman. Sedang Abdullah Harahap yang pernah laris, menurut beberapa orang yang tahu, pernah tak berani lagi dicetak lagi oleh penerbitnya sendiri. Ancaman seperti ini tentulah berarti kekayaan dari satu dua buah judul selalu diikuti oleh bayangan bahwa itu bersifat kekayaan sementara saja. Kalau tidak datang misalnya kesibukan dari dunia film yang kini jeli matanya menyelusup ke celah-celah buku. Kugapai Cintamu yang sejak 1974 lepas dari tangan pengarangnya dengan harga Rp 250 ribu, pernah membuat akrobatik angka, sehingga Wim Umboh tercengang. "Sampai ada yang kemudian menawarnya Rp 4 juta, tapi saya berniat memfilmkannya sendiri," kata sutradara itu pada TEMPO.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus