AYIP Rosidi, direktur Pustaka Jaya menerbitkan buku 100 judul
dalam setahun. Melihat gejala banjir buku sekarang ia berkata:
"Novel pop itu seperti wabah komik pada tahun-tahun lalu." Ia
menarik garis persamaan dengan apa yang terjadi pada dunia layar
putih. "Kayak film saja," katanya menjelaskan. "Kalau banyak
film maju, banyak yang bikin film nanti kalau gagal atau kalau
film jadi sepi, pemilik modalnya kembali ke bidang yang semula
ditekuninya -- seperti pengusaha kayu misalnya yang sekarang
jadi penerbit."
Ucapan ini agaknya tidak datang dari rasa keki terhadap
kegesitan para penerbit buku saku yang sukses merebut pembeli.
Ayip mengaku secara komersiil Pustaka Jaya tidak disaingi oleh
penerbit "novel pop." Ia membenarkan soal pengaruh memang ada.
Tapi ia tidak khawatir, karena yakin buku-buku sastra yang
menjadi bagian penting dari penerbitannya mempunyai publik
tersendiri.
Apalagi ia berani mengatakan bahwa sekarang oplah buku-bukunya
sudah mendapat kemajuan dibandingkan dengan apa yang terjadi
pada tahun 1971. Salah seorang staf ahlinya Yus Rusamsi dengan
bangga mengatakan bahwa Pada Sebuah Kapal karya Nh. Dini serta
juga La Parka oleh pengarang yang sama, yang dicetak dengan
oplah 10 ribu, belum satu tahun sudah mengalami cetak ulang.
Tapi ia mengakui juga bahwa buku sastrawan tersohor, Asrul Sani
dan Umar Kayam, misalnya, yang dicetak 5 ribu, tak bisa ludas
meski telah melewati tahun ke-5.
Berbeda dengan Ayip, Matumona, seorang pengarang kawakan (67
tahun) melihat pada kehidupan novel pop dengan optimis. "Nafsu
baca masyarakat sangat besar," ujar lelaki berstatus staf senior
di penerbit "Analisa" ini. Mendampingi PP "Analisa" sejak
berdirinya di tahun 1958, ia yakin. "Novel pop akan awet
pasarannya," katanya sambil mengenangkan betapa hebatnya amukan
buku-buku PP "Analisa" pada tahun 50-an. Seri-seri seperti Les
Hitam dan Bandit-bandit Ibukota dai pengarang SB Chandra sempat
tergenggam di tangan begitu banyak kalangan di masa itu. I lanya
saja ia dengan ironis kemudian menyambung, saat keawetan itu
memberikan pula kondisi, yakni buku-buku haruslah "berbau
porno."
Persyaratan Matumona memang benar, kalau kita membalik kehidupan
buku di tahun 50-an. Juga barangkali tidak salah untuk periode
tahun 60-an di jaman buku-buku "Tante", baik "Tante Girang"
maupun "Tante Rose." Tapi untuk tahun 70-an ini, salah seorang
pengarang buku "Tante" itu sendiri, Motinggo Boesye mencoba
memberikan alasan lain, untuk kenaikan penerbitan buku. Ia
melihat itu semua diakibatkan oleh adanya kemajuan tehnik
penulisan para pengarang. "Seperti juga kemajuan majalah-majalah
kita sekarang, kita memiliki kemajuan tehnik yang baik,"
katanya. Selain itu ia melihat adanya keinginan para pengarang
untuk memberikan hiburan ringan pada para pembaca, yang memang
tarafnya masih taraf ikut-ikutan saja. Hal ini tidak terpenuhi
oleh penerbit seperti Pustaka Jaya yang ingin jadi penegak nilai
sastra yang tinggi. Tapi ia akibatnya ditinggalkan oleh para
pembaca biasa, karena dianggap sebagai santapan orang-orang
tertentu saja. "Apa yang mereka cari tidak ditemui di buku-buku
Pustaka Jaya," kata Boesye.
Penerbit Cypress yang berkantor di Jalan Juanda, adalah salah
satu penerbit yang berdiri justru karena adanya angin buku.
Desember tahun lalu, Ebet Winata, 29 tahun, yang bermula seorang
pedagang lukisan, bersekutu dengan Teddy Cahyadi, 42 tahun.
Mereka mulai dengan novel Ali Shahab Ranjang Siang Ranjang
Malam. Baru sekitar bulan Mei, empat bulan yang lalu, mereka
benar-benar mencelup dengan serius.
Penerbitan mereka yang tadinya juga disertai dengan menerbitkan
kamus, menerbitkan beberapa buah buku terjemahan, kini gencar
membangunkan tidur pengarang-pengarang domestik. Tak kurang dari
15 orang pengarang dapat dirangkulnya dengan sekitar 40 buah
judul, yang sebagian sudah diorbitkan secara bergantian. Dengan
modal sebuah mesin IBM dan 10 orang pegawai tetap, penerbit yang
kantornya kelihatan masih darurat ini, mampu menerbitkan 10
judul buku setiap bulan. Jumlah ini direncanakan akan
dipertahankan sampai bulan Desember ini.
"Saya yakin bisnis buku akan berlangsung terus, tetapi memang
akan ada pilihan," katanya pada TEMPO. Yang dimaksudnya adalah
bahwa minat baca akan tetap, tetapi akan ada seleksi dari
pembaca untuk buku-buku yang benar-bellar mereka butuhkan.
Contohnya: buku-buku terjemahan semula bisa dicetak antara 4-5
ribu untuk setiap judul. Dengan mencuatnya pengarang domestik,
jumlah itu menciut jadi 2 ribu saja.
Untuk itu Teddy justru mengatakan menjauhi pornografi. "Siapa
pun menulis untuk Cypress kami buka pintu, asal jangan porno,
asal temanya ringan dan bahasanya sehari-hari. Ditandaskan pula
oleh rekannya Ebet. "Saya memang menerbitkan karya-karya mereka
yang sudah terkenal sebagai penulis buku pop, seperti Boesye dan
Edy D Iskandar, tapi di samping itu saya ingin juga
memperkenalkan kepada para pembaca para pengarang sastra,"
katanya dengan serius.
Cypress bahkan pernah mengeluarkan 4 buah novelet dengan
gambar-gambar sampul surealis. Hal ini amat menyimpang dengan
gambar-gambar realis bukunya terdahulu yang selalu dikerjakan
oleh ilustrator Tony G. Sebagai akibatnya, buku ini seret
lakunya, karena para toko buku ngeri untuk memajang, takut
sia-sia dalam penjualan.
Tapi ia punya keberanian untuk, pasang iklan. Bahkan ia berani
mengeluarkan 10% dari budget untuk publisitas lewat poster dan
spanduk. Untuk judul Dunia Tak Bermusim, Cowok Komersiil dan Sok
Nyentrik, ia menyebarkan masing-masing sekitar 25 buah spanduk
di seluruh jalan Ibukota. Keberahian ini ternyata berimbang
kemudian dengan jumlah penjualan ketiga judul buku tersebut.
Rata-rata ia mampu mengoper 5 ribu buku dalam tempo hanya 3
bulan. Jumlah ini baru bisa dihabiskan oleh penerbit seperti
Pustaka Jaya dalam tempo 5 tahun.
Menurut Ebet, meskipun ada kesulitan dalam sirkulasi buku karena
tidak banyaknya toko-toko buku, terutama di daerah, toh
lingkupnya sudah meliputi seluruh Indonesia. Bahkan beberapa
agen menyatakan, sering buku baru dapat mencapai daratan
Malaysia sampai sekitar 50 buah. Ini lebih meyakinkan lagi
adanya harapan bagi para penerbit.
Ancaman sewaktu-waktu bisa me keret lagi, tentu saja tetap ada.
Siapa tanu pula apa yang dikatakan oleh Jayusman pemilik usaha
penerbitan Bhratara benar-benar terjadi. Bahwa "ledakan" buku
bacaan kini tak akan lama. "Itulah sebabnya saya tidak
ikut-ikutan ke sana," katanya, meskipun pendapat ini
kedengarannya agak aneh. Bhratara tetap dengan porsi terbesar
untuk buku Ilmiah.
Memang sudah ada tanda-tanda surut dalam "ledakan" kini. Seperti
yang dikatakan oleh Rudy Sujana Wirawan, 37 tahun, pemilik
Pemancar Kumala: "Dibandingkan dua tahun lalu, pasaran novel
sekarang turun lagi - lakunya tidak begitu cepat."
Khusus terhadap komentar Pancar Kumala yang telah mencetak 17
buah judul untuk tahun ini, kemunduran itu mungkin disebabkan
karena 10 judul di antaranya terjemahan. Sisanya baru asli
termasuk Regina Tercinta dan Wanita Sepi Hati - kedua-duanya
milik Motinggo Boesye.
Novel terjemahan memang sepanjang pasaran yang berkecamuk
sekarang tak pernah mencapai cetak ulang. Kabarnya hanya
berhasil dijual sebanyak 2 ribu buah, paling sedikit untuk masa
6 bulan.
Selanjutnya akan menjadi stok mati, ditutup oleh judul-judul
baru terutama oleh karya asli.
Beberapa penerbit baru, mungkin satu ketika akan menyerah juga
kalau keadaan pasaran memang loyo lagi. Bagaimana pun ini
separuhnya memang usaha dagang. Tapi yang jelas, sudah ada usaha
untuk mendekatkan buku pada pembaca, baik dari segi teknis
maupun isi. Penerbit berusaha memberikan bentuk yang menarik,
sedangkan pengarang di samping keras kepala dengan ide-idenya,
cukup menghiraukan faktor hiburan dalam karya-karyanya.
Kombinasi ini mungkin menyebabkan buku bukan lagi merupakan
harta yang seram meskipun kemudian lahir istilah "novel pop"
yang sering diucapkan dengan sedikit mengejek. "Kurt Vonnegut,
misalnya, di Amerika dianggap sebagai novelis pop, tapi bobot
bukunya tergolong lumayan, seperti yang berjudul Slaughterhouse
Five, " kata Marianne Katoppo, mencoba sedikit membela.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini