Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Ledakan dalam semusim ?

Penerbit berlomba menerbitkan buku-buku baru. bisnis buku akan berlangsung terus, ledakan buku bacaan menyerbu pasaran. buku bukan lagi menjadi harta yang seram, tapi menjadi kebutuhan orang banyak.

17 September 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AYIP Rosidi, direktur Pustaka Jaya menerbitkan buku 100 judul dalam setahun. Melihat gejala banjir buku sekarang ia berkata: "Novel pop itu seperti wabah komik pada tahun-tahun lalu." Ia menarik garis persamaan dengan apa yang terjadi pada dunia layar putih. "Kayak film saja," katanya menjelaskan. "Kalau banyak film maju, banyak yang bikin film nanti kalau gagal atau kalau film jadi sepi, pemilik modalnya kembali ke bidang yang semula ditekuninya -- seperti pengusaha kayu misalnya yang sekarang jadi penerbit." Ucapan ini agaknya tidak datang dari rasa keki terhadap kegesitan para penerbit buku saku yang sukses merebut pembeli. Ayip mengaku secara komersiil Pustaka Jaya tidak disaingi oleh penerbit "novel pop." Ia membenarkan soal pengaruh memang ada. Tapi ia tidak khawatir, karena yakin buku-buku sastra yang menjadi bagian penting dari penerbitannya mempunyai publik tersendiri. Apalagi ia berani mengatakan bahwa sekarang oplah buku-bukunya sudah mendapat kemajuan dibandingkan dengan apa yang terjadi pada tahun 1971. Salah seorang staf ahlinya Yus Rusamsi dengan bangga mengatakan bahwa Pada Sebuah Kapal karya Nh. Dini serta juga La Parka oleh pengarang yang sama, yang dicetak dengan oplah 10 ribu, belum satu tahun sudah mengalami cetak ulang. Tapi ia mengakui juga bahwa buku sastrawan tersohor, Asrul Sani dan Umar Kayam, misalnya, yang dicetak 5 ribu, tak bisa ludas meski telah melewati tahun ke-5. Berbeda dengan Ayip, Matumona, seorang pengarang kawakan (67 tahun) melihat pada kehidupan novel pop dengan optimis. "Nafsu baca masyarakat sangat besar," ujar lelaki berstatus staf senior di penerbit "Analisa" ini. Mendampingi PP "Analisa" sejak berdirinya di tahun 1958, ia yakin. "Novel pop akan awet pasarannya," katanya sambil mengenangkan betapa hebatnya amukan buku-buku PP "Analisa" pada tahun 50-an. Seri-seri seperti Les Hitam dan Bandit-bandit Ibukota dai pengarang SB Chandra sempat tergenggam di tangan begitu banyak kalangan di masa itu. I lanya saja ia dengan ironis kemudian menyambung, saat keawetan itu memberikan pula kondisi, yakni buku-buku haruslah "berbau porno." Persyaratan Matumona memang benar, kalau kita membalik kehidupan buku di tahun 50-an. Juga barangkali tidak salah untuk periode tahun 60-an di jaman buku-buku "Tante", baik "Tante Girang" maupun "Tante Rose." Tapi untuk tahun 70-an ini, salah seorang pengarang buku "Tante" itu sendiri, Motinggo Boesye mencoba memberikan alasan lain, untuk kenaikan penerbitan buku. Ia melihat itu semua diakibatkan oleh adanya kemajuan tehnik penulisan para pengarang. "Seperti juga kemajuan majalah-majalah kita sekarang, kita memiliki kemajuan tehnik yang baik," katanya. Selain itu ia melihat adanya keinginan para pengarang untuk memberikan hiburan ringan pada para pembaca, yang memang tarafnya masih taraf ikut-ikutan saja. Hal ini tidak terpenuhi oleh penerbit seperti Pustaka Jaya yang ingin jadi penegak nilai sastra yang tinggi. Tapi ia akibatnya ditinggalkan oleh para pembaca biasa, karena dianggap sebagai santapan orang-orang tertentu saja. "Apa yang mereka cari tidak ditemui di buku-buku Pustaka Jaya," kata Boesye. Penerbit Cypress yang berkantor di Jalan Juanda, adalah salah satu penerbit yang berdiri justru karena adanya angin buku. Desember tahun lalu, Ebet Winata, 29 tahun, yang bermula seorang pedagang lukisan, bersekutu dengan Teddy Cahyadi, 42 tahun. Mereka mulai dengan novel Ali Shahab Ranjang Siang Ranjang Malam. Baru sekitar bulan Mei, empat bulan yang lalu, mereka benar-benar mencelup dengan serius. Penerbitan mereka yang tadinya juga disertai dengan menerbitkan kamus, menerbitkan beberapa buah buku terjemahan, kini gencar membangunkan tidur pengarang-pengarang domestik. Tak kurang dari 15 orang pengarang dapat dirangkulnya dengan sekitar 40 buah judul, yang sebagian sudah diorbitkan secara bergantian. Dengan modal sebuah mesin IBM dan 10 orang pegawai tetap, penerbit yang kantornya kelihatan masih darurat ini, mampu menerbitkan 10 judul buku setiap bulan. Jumlah ini direncanakan akan dipertahankan sampai bulan Desember ini. "Saya yakin bisnis buku akan berlangsung terus, tetapi memang akan ada pilihan," katanya pada TEMPO. Yang dimaksudnya adalah bahwa minat baca akan tetap, tetapi akan ada seleksi dari pembaca untuk buku-buku yang benar-bellar mereka butuhkan. Contohnya: buku-buku terjemahan semula bisa dicetak antara 4-5 ribu untuk setiap judul. Dengan mencuatnya pengarang domestik, jumlah itu menciut jadi 2 ribu saja. Untuk itu Teddy justru mengatakan menjauhi pornografi. "Siapa pun menulis untuk Cypress kami buka pintu, asal jangan porno, asal temanya ringan dan bahasanya sehari-hari. Ditandaskan pula oleh rekannya Ebet. "Saya memang menerbitkan karya-karya mereka yang sudah terkenal sebagai penulis buku pop, seperti Boesye dan Edy D Iskandar, tapi di samping itu saya ingin juga memperkenalkan kepada para pembaca para pengarang sastra," katanya dengan serius. Cypress bahkan pernah mengeluarkan 4 buah novelet dengan gambar-gambar sampul surealis. Hal ini amat menyimpang dengan gambar-gambar realis bukunya terdahulu yang selalu dikerjakan oleh ilustrator Tony G. Sebagai akibatnya, buku ini seret lakunya, karena para toko buku ngeri untuk memajang, takut sia-sia dalam penjualan. Tapi ia punya keberanian untuk, pasang iklan. Bahkan ia berani mengeluarkan 10% dari budget untuk publisitas lewat poster dan spanduk. Untuk judul Dunia Tak Bermusim, Cowok Komersiil dan Sok Nyentrik, ia menyebarkan masing-masing sekitar 25 buah spanduk di seluruh jalan Ibukota. Keberahian ini ternyata berimbang kemudian dengan jumlah penjualan ketiga judul buku tersebut. Rata-rata ia mampu mengoper 5 ribu buku dalam tempo hanya 3 bulan. Jumlah ini baru bisa dihabiskan oleh penerbit seperti Pustaka Jaya dalam tempo 5 tahun. Menurut Ebet, meskipun ada kesulitan dalam sirkulasi buku karena tidak banyaknya toko-toko buku, terutama di daerah, toh lingkupnya sudah meliputi seluruh Indonesia. Bahkan beberapa agen menyatakan, sering buku baru dapat mencapai daratan Malaysia sampai sekitar 50 buah. Ini lebih meyakinkan lagi adanya harapan bagi para penerbit. Ancaman sewaktu-waktu bisa me keret lagi, tentu saja tetap ada. Siapa tanu pula apa yang dikatakan oleh Jayusman pemilik usaha penerbitan Bhratara benar-benar terjadi. Bahwa "ledakan" buku bacaan kini tak akan lama. "Itulah sebabnya saya tidak ikut-ikutan ke sana," katanya, meskipun pendapat ini kedengarannya agak aneh. Bhratara tetap dengan porsi terbesar untuk buku Ilmiah. Memang sudah ada tanda-tanda surut dalam "ledakan" kini. Seperti yang dikatakan oleh Rudy Sujana Wirawan, 37 tahun, pemilik Pemancar Kumala: "Dibandingkan dua tahun lalu, pasaran novel sekarang turun lagi - lakunya tidak begitu cepat." Khusus terhadap komentar Pancar Kumala yang telah mencetak 17 buah judul untuk tahun ini, kemunduran itu mungkin disebabkan karena 10 judul di antaranya terjemahan. Sisanya baru asli termasuk Regina Tercinta dan Wanita Sepi Hati - kedua-duanya milik Motinggo Boesye. Novel terjemahan memang sepanjang pasaran yang berkecamuk sekarang tak pernah mencapai cetak ulang. Kabarnya hanya berhasil dijual sebanyak 2 ribu buah, paling sedikit untuk masa 6 bulan. Selanjutnya akan menjadi stok mati, ditutup oleh judul-judul baru terutama oleh karya asli. Beberapa penerbit baru, mungkin satu ketika akan menyerah juga kalau keadaan pasaran memang loyo lagi. Bagaimana pun ini separuhnya memang usaha dagang. Tapi yang jelas, sudah ada usaha untuk mendekatkan buku pada pembaca, baik dari segi teknis maupun isi. Penerbit berusaha memberikan bentuk yang menarik, sedangkan pengarang di samping keras kepala dengan ide-idenya, cukup menghiraukan faktor hiburan dalam karya-karyanya. Kombinasi ini mungkin menyebabkan buku bukan lagi merupakan harta yang seram meskipun kemudian lahir istilah "novel pop" yang sering diucapkan dengan sedikit mengejek. "Kurt Vonnegut, misalnya, di Amerika dianggap sebagai novelis pop, tapi bobot bukunya tergolong lumayan, seperti yang berjudul Slaughterhouse Five, " kata Marianne Katoppo, mencoba sedikit membela.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus