Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Cacuk Menerobos, BPPN Gerah

Cacuk Sudarijanto sering nyelonong sendirian menangani utang swasta. Karena kepepet waktu atau sekadar perbedaan gaya?

30 April 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CACUK Sudarijanto pastilah bukan Superman. Tapi Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) itu harus menanggung beban berat yang boleh jadi juga membutuhkan kekuatan ekstra. Paling tidak, ada dua tugas besar yang harus segera diselesaikan oleh mantan Direktur Utama Telkom itu. Yang pertama, BPPN tahun ini dibebani target pemasukan uang ke kas negara yang jauh lebih besar dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Selain itu, BPPN harus bebenah diri karena sedang menjadi ”tersangka utama” atas lambannya proses restrukturisasi utang macet.

Bayangkan, BPPN tahun ini harus menyetor ke kas negara sebesar Rp 18,9 triliun. Jumlah ini membengkak dari rencana semula, Rp 16,25 triliun, setelah DPR minta pemerintah bekerja lebih keras. Repotnya, rencana penerimaan negara sebesar itu harus dipenuhi Cacuk dalam tempo sembilan bulan. Padahal, ketika pada tahun anggaran sebelumnya dibebani Rp 17 triliun, BPPN sudah terlihat kesulitan. Baru pada saat-saat terakhir BPPN berhasil memenuhinya. Tak jelas bagaimana Cacuk akan memenuhi target yang baru dan lebih berat. Yang pasti, BPPN berencana menjual beberapa aset yang dianggap bagus, seperti Bank BCA, pabrik CPO milik Salim, pabrik ban milik Gadjah Tunggal (GT Tire), dan perusahaan pelayaran Bob Hasan (Karana Lines dan Wasesa Lines). Soal percepatan restrukturisasi utang macet juga bukan perkara mudah. Sementara itu, Dana Moneter International (IMF) terus mempersoalkan lambannya proses ini, yang dituding menjadi salah satu penyebab terhambatnya proses pemulihan ekonomi di Indonesia.

Harus diakui, kelambanan itu memang kasatmata. Dari 170 ribu lebih debitur, yang bisa diselesaikan tak lebih dari 700 pengutang. Itu pun sebagian besar debitur menengah yang punya utang macet di bawah Rp 50 miliar. ”Makin besar utangnya, makin sulit mengatasinya,” kata seorang pejabat Departemen Keuangan. Sementara itu, banyak kreditur kecil yang uring-uringan karena staf BPPN belum juga punya waktu untuk menangani mereka, sementara beban bunga terus dikenakan.

Adapun penyelesaian kredit kakap yang macet ternyata masih belum beranjak jauh. Sampai saat ini, baru beberapa kredit kelompok usaha besar yang sudah direstrukturisasi, di antaranya Humpuss (Hutomo Mandala Putra) dan Raja Garuda Mas (Sukanto Tanoto). Banyak debitur yang menuding BPPN sengaja memperlambat proses penyelesaian utang tersebut dengan menciptakan prosedur yang rumit dan memakan waktu berbulan-bulan. ”Masa, urusan menunjuk konsultan hukum saja bisa menghabiskan waktu sampai dua bulan,” kata salah seorang pengutang kakap Indonesia yang berkantor di kawasan Kuningan.

Kelambanan itu tak sepenuhnya salah BPPN. Pemerintah juga dianggap terlalu kaku menerapkan kebijakan pemotongan utang (haircut). Semula, pemerintah bersikukuh tidak akan memberikan potongan utang, baik pokok maupun bunganya. Baru belakangan pemerintah berubah pikiran bersedia memberikan diskon. Itu pun ada syaratnya: utang itu semata-mata karena krisis, bukan karena mark-up. Tidak aneh kalau banyak negosiasi yang macet, sementara jarum jam terus berputar.

Cacuk agaknya berkuping tipis. Mendengar banyak keluhan seperti itu, manajer yang dikenal sebagai pekerja keras ini mencoba melakukan terobosan dalam menyelesaikan utang swasta. Agar BPPN dapat berkonsentrasi pada pengutang kakap, penyelesaian untuk ”kredit mini” yang menyangkut banyak debitur itu tak lagi dilakukan BPPN, tapi diserahkan kepada bank-bank lain. Kamis pekan lalu, misalnya, BPPN menyerahkan Rp 6,7 triliun kredit kecil kepada pihak lain. Untuk soal ini, ia memang mendapat acungan jempol.

Tapi terobosannya menjadwalkan utang Raja Garuda Mas membuat banyak orang tercengang. Kelompok usaha milik Sukanto Tanoto ini berhasil menunda pembayaran bunga (deferred interest) senilai US$ 165 juta dari utang US$ 1,3 miliar selama 18 bulan. Padahal, sebelum dibereskan oleh Cacuk, Raja Garuda Mas sudah berunding dengan BPPN selama enam bulan dan menghadapi jalan buntu. Persoalan itu kelar setelah pada awal Maret lalu Cacuk meneken persetujuan perpanjangan masa pembayaran bunga tersebut bersama Bank BNI dan Bank Mandiri di kantor Bank Mandiri.

Kontan saja langkah Cacuk membuat merah wajah para pejabat lama BPPN. Mereka yang merasa sudah bersusah payah mempertahankan posisi BPPN agar tidak rugi banyak merasa tiba-tiba ditelikung begitu saja oleh bosnya. Ibaratnya, Cacuk seperti menggunting dalam lipatan. Dalam kasus Raja Garuda Mas (RGM), misalnya, BPPN tak mau memperpanjang pembayaran bunganya karena RGM memiliki peluang mendapatkan dana tunai melalui penjualan aset kepada UPM Kymenne, Swedia. Jika bersedia menjual asetnya yang di Cina, RGM tak membutuhkan perpanjangan pembayaran bunga. Namun, RGM bersikeras tak mau menerima tawaran itu (lihat infografis). Sebaliknya, Cacuk malah bersedia menerima penawaran RGM dan mengabaikan hasil perundingan anak buahnya. ”Bahkan, mestinya RGM masuk litigasi pada awal April itu,” kata sumber TEMPO di Departemen Keuangan.

Belum lagi hilang rasa kaget orang akibat kasus ini, Cacuk sudah menggelinding dengan penjadwalan utang Grup Jayanti senilai Rp 4,2 triliun. Untuk yang satu ini, langkah Cacuk lebih dramatis karena oleh BPPN kelompok usaha milik Burhan Uray ini sudah diturunkan peringkatnya menjadi C dan D. Artinya, Burhan Uray dan anaknya, Soejono Varinata, dianggap tak mau bekerja sama dan proses legal menanti mereka. ”Tiba-tiba saja Cacuk minta Jayanti dikeluarkan dari Divisi Legal BPPN dan negosiasi kembali dibuka,” kata sumber TEMPO. Kabarnya, itu bisa terjadi setelah Soejono bertemu langsung dengan Cacuk. Rupanya, Jayanti bersedia membayar 10 persen utangnya, yang jumlahnya Rp 4,2 triliun. Padahal, BPPN semula minta Jayanti membayar 20 persen utangnya dan baru negosiasi dibuka kembali.

Tak pelak, langkah Cacuk ini menimbulkan riak yang cukup tajam di bawah permukaan. Banyak pejabat lama BPPN yang gerah, terutama setelah Deputi Kepala BPPN yang menangani restrukturisasi utang, Eko S. Budianto, dicopot akhir Maret lalu. Tembakan balik pun dialamatkan ke Cacuk. Eksekutif yang dikenal sederhana dan bersih ini dituding sebagai operator salah satu partai politik besar untuk menggali gudang uang BPPN. Cacuk membantah segala tuduhan itu. ”Saya mengumpulkan uang untuk negara,” ujarnya. Ia juga heran dikatakan berjalan sendirian, ”karena semua keputusan harus melalui executive committee yang terdiri atas kepala, wakil kepala, dan para deputi BPPN,” katanya.

Bahwa ada perubahan cara, itu agaknya menyiratkan perubahan strategi BPPN setelah kemudi dipegang Cacuk. Dalam kasus RGM, misalnya, semula BPPN merupakan satu-satunya peserta sindikasi kreditur yang menolak menandatangani nota kesepakatan (MOU) restrukturisasi perusahaan itu, Agustus lalu. ”Padahal, porsi kami cuma 20 persen,” kata Cacuk. Rupanya, saat itu tim BPPN ingin menekan RGM agar sekaligus juga menyelesaikan utangnya yang lain, yang tidak melibatkan pihak ketiga. ”Sekarang saya memisahkan penyelesaian kedua kasus itu dan yang bersindikasi dengan Bank Mandiri serta BNI sudah selesai,” katanya. Sedangkan soal kemungkinan penjualan aset RGM di Cina, ”Itu kan baru a big if,” ujarnya. Lagi pula, ia yakin kelompok ini akan mempercepat pembayaran utangnya bila punya dana lebih besar dari perkiraan. ”Kalau harga pulp naik, kelebihan uangnya akan disimpan dalam escrow account yang dikelola Mandiri,” tuturnya.

Adapun soal Grup Jayanti, ternyata Cacuk punya cerita yang berbeda. Semula kelompok ini dinilainya tidak menunjukkan iktikad bekerja sama. ”Baru setelah diancam akan diselesaikan melalui proses litigasi, mereka berubah sikap,” kata Cacuk. Soejono Varinata datang menemuinya dan berjanji memberikan aset yang lebih produktif sebagai jaminan. ”Jadi, dia sekarang menawarkan asetnya di bidang perikanan karena yang di bidang kehutanan kan payah nilainya,” kata Cacuk. Tawaran ini pun, menurut Cacuk, belum sepenuhnya diterima. ”Saya minta ada tunainya juga, kalau bisa 20 persen,” katanya. Menilik perubahan sikap debitur itu, Cacuk yakin ”dalam triwulan ini restrukturisasinya akan selesai.”

Langkah Cacuk tadi boleh dipuji dalam satu hal: restrukturisasi utang bisa berjalan lebih cepat. Bagaimanapun, penyelesaian utang swasta memang tak bisa ditunda-tunda. Sebab, kebanyakan perusahaan yang masih punya utang macet masih terus merugi dan tetap tak akan mampu membayar utangnya sampai kapan pun. Sayangnya, terobosan Cacuk ini kurang dikomunikasikan di jajarannya sendiri. Buktinya, banyak orang di BPPN yang merasa gerah.

M. Taufiqurohman, Leanika Tanjung


Perjalanan Restrukturisasi Kredit Raja Garuda Mas

15/7/99
Perundingan antara BPPN dan Raja Garuda Mas (RGM) dimulai.

10/8/99
BPPN mengusulkan restrukturisasi non-Riau melalui debt to equity swap dengan APRIL (unit usaha Sukanto di Singapura).

27/8/99
BPPN minta APRIL meng-cover utang non-Riau Complex.

23/12/99 dan 5/1/00
Komite Pengarah bertemu dengan UPM Kymenne (Swedia).

27/8/99
Komite Pengarah, yang terdiri atas BPPN, ING Barings dan Danamon meneken MOU restrukturisasi Riau Complex dengan total utang US$ 1,26 miliar.

31/1/00
Setelah mendapatkan informasi soal tawaran UPM, Komite Pengarah mengirim surat ke RGM untuk merevisi MOU.

1/2/00
Sukanto Tanoto bertemu dengan Komite Pengarah di Hotel Regent.

4/2/00
RGM mengirim surat kepada Komite, tapi tetap tak memberi tanggapan terhadap revisi,

7/2/00
Komite membalas surat Sukanto, yang isinya meminta ketegasan Sukanto soal revisi dan memberi batas waktu sampai 16 Februari 2000.

22/2/00
RGM minta agar MOU dipertahankan. Sedangkan kenaikan harga pulp malah akan membuat biaya produksi juga meningkat.

29/2/00
Komite Pengarah tetap minta RGM bersedia merevisi MOU.

7/3/00
Bank Mandiri, BNI, dan Cacuk Sudarijanto bertemu di Bank Mandiri dan setuju kembali

14/3/00
Cacuk mengirim memo kepada Irwan Siregar. Isinya: BPPN agar konsisten dengan kembali ke MOU.

20/3/00
Sukanto Tanoto berjanji akan mematuhi kesepakatan yang sudah diteken Mandiri, BNI, dan BPPN.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus