Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa yang sebenarnya terjadi? Kepala Riset Nomura Securities, Goei Siauw Hong, mengatakan bahwa bursa Jakarta makin ditinggalkan investor asing. Analis termahal Indonesia itu yakin, gelombang migrasi ke luar Indonesia ini akan berlangsung hingga Juni atau Juli. Migrasi ini terjadi karena dua hal besar.
Pertama, merosotnya bobot Indonesia dalam perhitungan Morgan Stanley Capital Index alias MSCI (salah satu indikator yang dijadikan patokan investor asing dalam investasi saham) menjadi 1,8 persen. Dengan pembobotan yang lebih kecil, alokasi dana investor asing ke Indonesia juga akan merosot.
Kedua, itu karena Indonesia punya saingan emerging market atawa pasar kaget baru yang bernama NASDAQ. Ini merupakan bursa "kedua" di Amerika Serikat yang namanya makin mencorong belakangan ini gara-gara demam saham teknologi. Dengan kedua tekanan itu, dana investor asing meninggalkan Jakarta menuju bursa-bursa yang mendapatkan bobot MSCI lebih tinggi, seperti Malaysia dan Taiwan, atau melaju langsung ke New York.
Jika investor asing pergi, begitu kira-kira dogma yang berlaku selama ini, habislah pasar modal kita. Dogma itu tampaknya juga dipercayai Hong. Ia tak yakin likuiditas domestik cukup besar untuk menjaga kegairahan pasar. Karena itu, Hong menaksir, sampai Juni atau Juli (ketika sentimen jual mulai menipis), indeks akan bertahan di posisi 525.
Tapi Direktur Departemen Riset Jardine Fleming Nusantara, Rizal Bambang Prasetijo, tak sependapat dengan Hong. Ia menilai tak akan ada lagi investor asing yang melakukan aksi jual di Jakarta. Jajak pendapat Jardine terhadap 50 fund manager asing menyimpulkan, bobot Jakarta terhadap portofolio investasi asing cuma 1,6 persen. "Ini sudah di bawah bobot MSCI," katanya.
Dengan posisinya yang sudah habis-habisan seperti itu, peluang Jakarta untuk naik justru makin besar. Para investor asing bukannya keluar, tapi ada kemungkinan malah akan mulai memasuki bursa Jakarta jika melihat peluang.
Selain itu, Rizal melihat, likuiditas domestik kini cukup besar untuk mendongkrak indeks. Jika tak ada gonjang-ganjing politik, ia memperkirakan, dalam jangka dua bulan ke depan, harga saham akan merambat naik hingga indeks mencapai 575-600. Setelah itu? "Tergantung situasi politik menjelang sidang umum Agustus," katanya.
Tapi, sebagai seorang ahli strategi investasi di Asia Tenggara, Rizal menyangsikan daya tarik perusahaan Indonesia memikat investor. Soalnya, jika dibandingkan dengan perusahaan sejenis di luar negeri, harga perusahaan Indonesia masih terlampau mahal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo