DIREKTUR Urusan Pangan dan Penerimaan Bukan Pajak, Humuntar L.
Gaol, malam itu bergegas ke Unit Terminal Container (UTC),
Tanjungpriok. Di dermaga sepanjang 40Q m, belum lama berselang,
dia melihat ratusan container (peti kemas)di bawah cahayalampu
bertumpuk teratur di lapangan penimbunan. Ada kongesti? "Bohong
besar di Priok terjadi kongesti 400 peti kemas," katanya.
Gaol yang juga Ketua Badan Pengawas Pembangunan dan Pengelolaan
Pergudangan Pemerintah Cakung tampaknya memang perlu
mengeluarkan bantahan itu. Terjadinya kongesti (penumpukan
karena kemacetan) 400 peti kemas itu diungkapkan pertama kali
oleh Ketua Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI)
Zahri Achmad pertengahan bulan ini. Penyebabnya, menurut dia,
Pergudangan Pemerintah Cakung (PPC) yang seharusnya mengangkut
ratusan peti kemas itu kekurangan truk, dan crane (penggerek
peti kemas).
Pernyataan itu, tentu saja, dibantah PPC, kata Gaol, punya cukup
perlengkapan 184 truk berbagai jenis, sebuah pemindah peti kemas
(top loader), dan sebuah truk kemas merk Clark. "Kalau pun
perlengkapan PPC kurang, kami bisa menyewa kendaraan dari luar,"
ujarnya. Semua perlengkapan itu dianggapnya cukup memadai untuk
menangani arus masuk sekitar 30 peti kemas ukuran 20 kaki setiap
bulannya.
Ratusan peti kemas asal Jepang, Hongkong, dan Singapura sesuai
SK Menteri Keuangan No. 3 3 5, 11 Mei 1982 memang harus segera
masuk Cakung. Tapi dengan berbagai cara, importir berusaha
menghindari barangnyamasuk PPC. Mereka beranggapan tindakan
pen-Cakung-an itu hanya akan menambah biaya, dan memperlambat
pengeluaran barang. "Pernah barang kami sampai empat kali
diperiksa petugas bea cukai setempat," kata seorang petugas dari
PT Paramount.
Dari Singapura, setiap bulan Paramount rata-rata mengimpor 40
peti barang teknik. Acapkali barang itu hilang dari tempatnya.
Celakanya "barang yang hilang di Cakung itu tidak bisa diklaim,"
kata Zahri Achmad. Kendati PPC sudah mensubsidi biaya
transportasi dari Priok ke Cakung (12 km), importir toh masih
harus sering mengeluarkan berbagai biaya. Untuk memindahkan peti
kemas ukuran 20 kaki dari Priok ke Cakung, misalnya, PPC
memungut biaya Rp 10 ribu per unit.
Tapi, menurut Gaol, kehilangan baran akibat pencolengan
jumlahnya kecil sekali. "Tuduhan barang sering rusak, hilang,
dan PPC tidak aman," katanya, "hanyalah merupakan usaha sejumlah
importir untuk membancikan Cakung."
Sejak mulai dibangun 1974, dengan uang minyak yang ketika itu
masih membanjir, Pergudangan Pemerintah di Cakung, Kabupaten
Bekasi, senantiasa menimbulkan perdebatan. PPC yang memiliki 20
unit gudang umum, 8 unit gudang beras, 8 unit gudang barang
berbahaya, fasilitas lapangan penimbunan peti kemas 50 ribu m2,
dan fasilitas lapangan penimbunan barang seluas 100 ribu m2,
ketika itu dibangun untuk mengatasi kongesti di Priok. Pihak
Departemen Perhubungan, yang membawahkan BPP Priok, kabarnya
kurang menyetujui upaya pembangunan PPC yang menghabiskan dana
Rp 45 milyar itu. Sebab, BPP Priok ternyata berhasil mengatasi
kongesti dengan menambah gudang baru, dan memperbaiki gudang
lama di lini 1.
Dalam usaha mengatasi kongesti itu, sejumlah perusahaan PMA dan
PMDN diperkenankan pula membangun entrepot (gudang) di kawasan
pabriknya. Di gudang itulah petugas Bea & Cukai memeriksa barang
impor. "Kebijaksanaan itu sangat membantu pengusaha," puji
Zulkifli Ibrahim, Manajer Pembelian PT Teijin Indonesia Fiber
Corp. Industri tekstil PMA yang punya gudang 3.000 m2 di
Tangerang itu, setiap bulan mengimpor 3.500 ton bahan baku untuk
membuat benang sintetis, dan sejumlah bahan baku pembantu. "Kami
tak bisa bayangkan bagaimana sulit dan repotnya jika pemeriksaan
dari bea cukai dilakukan di pelabuhan," tambah Ibrahim.
Ketika gudang Cakung selesai dibangun, ternyata sedikit saja
barang yang masuk ke sana. Untuk mendorong jmportir agar memilih
Cakung, Presiden mengeluarkan Inpres No. 12, 24 Desember 1977,
mengharuskan semua barangyang dirnuat di pelabuhan pertama
Hongkong, Singapura, dan Jepang, masuk PPC. Importir, kata Gaol,
Ketua BP5 Cakung, toh tetap berusaha menghindari Cakung.
Ulah importir itu, menurut Gaol, menyebabkan volume barang yang
masuk PPC tidak naik secara tajam (lihat grafik). Penerimaan
uang ke kas negara pun menurun. Gaol mungkin lupa, volume barang
impor yang masuk Priok sesungguhnya juga mulai menurun sejak
1979 antara lain akibat devaluasi rupiah 1978, dan resesi dunia.
Kenyataan itu rupanya tak dilihat pemerintah yang tetap
menginginkan PPC terisi penuh. Buktinya Menteri Keuangan
kemudian menerbitkan SK No. 335 tanggal 11 Mei 1982 yang
mengharuskan semua barang yang dimuat dari pelabuhan Jepang,
Hongkong dan Singapura masuk Cakung--sekalipun hanya merupakan
persmggahan kedua da transhipment. Pelaksanaan kebijaksanaan itu
baru diberlakukan 1 Oktober lalu Menurut John Simandjunuk,
Kepala Bi dang Operasi PPC, sejak keputusan itu mulai
diberlakukan, volume peti kema yang masuk Cakung naik sampai
300%, dan volume barang naik 50%.
Tapi, menurut John Simandjunuk dalam konperensi pers Senin pekan
ini, gudang induk PPC saat ini terisi sekitar 30% dari
kapasitas, sedang gudang barang berbahaya terisi 40%. Untuk
mencapai titik impas, kata Gaol, tingkat pengisian gudang harus
60% dari kapasitas.
Sesungguhnya volume barang yang masuk PPC setiap tahunnya masih
terbilang kecil jika dibandingkan keseluruhan impor. Tahun lalu,
misalnya, dari 5,8 juta ton barang impor yang benarbenar masuk
gudang dan lapangan penimbunan Cakung hanya 771 ribu ton
(sekitar 13%). Sedang yang masuk gudang da lapangan penimbunan
Priok, baik yang dikelola BPP maupun swasta, berjumlah 4 juu ton
(70%). Sisa barang lainnya langsung masuk gudang pemilik barang.
Kendati demikian, tingkat pemakaian gudang dan lapangan di Priok
tahun lalu baru mencapai sekitar 37% dari kapasitas. Contohnya
PT Gesuri Lloyd, yang menyewa lima gudang (1.000 m2) dari BPP
Priok. "Yang pasti gudang kami mulai kosong, sejumlah peralatan
seperti forklift, dan buruh kini banyak yang menganggur," kata
H. Alfons, Manajer Departemen Peti Kemas Gesuri.
Ini mendorong GINSI, Asosiasi Pemilik Kapal Nasional Indonesia
(INSA) dan Gabungan Veem dan Ekspedisi Indonesia (Gaveksi)
melakukan perhitungan. Menurut kesimpulan ketiga organisasi itu,
kapasitas terbuang (unutilized capacit) pergudangan Priok tahun
lalu mencapai 1,5 juta ton. Jika tingkat pemakaian lapangan
penimbunan dan gudang pelabuhan itu masih seperti tahun lalu,
kerugian yang akan dipikul BPP Priok tahun ini diperkirakan akan
mencapai Rp 11 milyar. Dan PPC, yang kapasitas lapangan
penimbunan, dan gudangnya satu setengah kali Priok, tahun ini
diperkirakan akan rugi Rp 24,3 milyar.
Menurut Administrator Pelabuhan (Adpel) Tanjungpriok, Sabirin,
untuk mencapai titik impas, tingkat pengisian gudang dan
lapangan penimbunan harus mencapai 60%. BPP Priok, katanya,
memang uk ingin mengambil keuntungan dari sewa pemakaian gudang
dan lapangan penimbunan. Sebab sesudah administrasi diperbaiki,
dan perluasan gudang dilakukan, barang yang masuk Priok kini
rau-rau hanya dalam tempo 11 hari bisa dikeluarkan. Di zaman
kongesti 1974, untuk mengeluarkanbarang memerlukan waktu
sebulan lebih.
Kelancaran pengeluaran barang itu, menyebabkan meningkatnya arus
kapal yang masuk Priok. Tahun 1978, tercatat 4.623 kapal, dan
uhun lalu 6.357 kapal masuk pelabuhan itu. Mereka kini, menurut
Sabirin, hanya membutuhkan waktu tunggu rata-rata 6 jam untuk
sandar di dermaga. "Di masa kongesti, paling cepat tiga minggu,"
kata Adpel Tanjungpriok itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini