Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Cakung Kosong, Siapa Yang Salah?

Penggunaan gudang cakung belum efisien, para importir berusaha menghindari cakung yang dianggapnya hanya akan menambah biaya dan memperlambat pengeluaran barang.(eb)

30 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIREKTUR Urusan Pangan dan Penerimaan Bukan Pajak, Humuntar L. Gaol, malam itu bergegas ke Unit Terminal Container (UTC), Tanjungpriok. Di dermaga sepanjang 40Q m, belum lama berselang, dia melihat ratusan container (peti kemas)di bawah cahayalampu bertumpuk teratur di lapangan penimbunan. Ada kongesti? "Bohong besar di Priok terjadi kongesti 400 peti kemas," katanya. Gaol yang juga Ketua Badan Pengawas Pembangunan dan Pengelolaan Pergudangan Pemerintah Cakung tampaknya memang perlu mengeluarkan bantahan itu. Terjadinya kongesti (penumpukan karena kemacetan) 400 peti kemas itu diungkapkan pertama kali oleh Ketua Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Zahri Achmad pertengahan bulan ini. Penyebabnya, menurut dia, Pergudangan Pemerintah Cakung (PPC) yang seharusnya mengangkut ratusan peti kemas itu kekurangan truk, dan crane (penggerek peti kemas). Pernyataan itu, tentu saja, dibantah PPC, kata Gaol, punya cukup perlengkapan 184 truk berbagai jenis, sebuah pemindah peti kemas (top loader), dan sebuah truk kemas merk Clark. "Kalau pun perlengkapan PPC kurang, kami bisa menyewa kendaraan dari luar," ujarnya. Semua perlengkapan itu dianggapnya cukup memadai untuk menangani arus masuk sekitar 30 peti kemas ukuran 20 kaki setiap bulannya. Ratusan peti kemas asal Jepang, Hongkong, dan Singapura sesuai SK Menteri Keuangan No. 3 3 5, 11 Mei 1982 memang harus segera masuk Cakung. Tapi dengan berbagai cara, importir berusaha menghindari barangnyamasuk PPC. Mereka beranggapan tindakan pen-Cakung-an itu hanya akan menambah biaya, dan memperlambat pengeluaran barang. "Pernah barang kami sampai empat kali diperiksa petugas bea cukai setempat," kata seorang petugas dari PT Paramount. Dari Singapura, setiap bulan Paramount rata-rata mengimpor 40 peti barang teknik. Acapkali barang itu hilang dari tempatnya. Celakanya "barang yang hilang di Cakung itu tidak bisa diklaim," kata Zahri Achmad. Kendati PPC sudah mensubsidi biaya transportasi dari Priok ke Cakung (12 km), importir toh masih harus sering mengeluarkan berbagai biaya. Untuk memindahkan peti kemas ukuran 20 kaki dari Priok ke Cakung, misalnya, PPC memungut biaya Rp 10 ribu per unit. Tapi, menurut Gaol, kehilangan baran akibat pencolengan jumlahnya kecil sekali. "Tuduhan barang sering rusak, hilang, dan PPC tidak aman," katanya, "hanyalah merupakan usaha sejumlah importir untuk membancikan Cakung." Sejak mulai dibangun 1974, dengan uang minyak yang ketika itu masih membanjir, Pergudangan Pemerintah di Cakung, Kabupaten Bekasi, senantiasa menimbulkan perdebatan. PPC yang memiliki 20 unit gudang umum, 8 unit gudang beras, 8 unit gudang barang berbahaya, fasilitas lapangan penimbunan peti kemas 50 ribu m2, dan fasilitas lapangan penimbunan barang seluas 100 ribu m2, ketika itu dibangun untuk mengatasi kongesti di Priok. Pihak Departemen Perhubungan, yang membawahkan BPP Priok, kabarnya kurang menyetujui upaya pembangunan PPC yang menghabiskan dana Rp 45 milyar itu. Sebab, BPP Priok ternyata berhasil mengatasi kongesti dengan menambah gudang baru, dan memperbaiki gudang lama di lini 1. Dalam usaha mengatasi kongesti itu, sejumlah perusahaan PMA dan PMDN diperkenankan pula membangun entrepot (gudang) di kawasan pabriknya. Di gudang itulah petugas Bea & Cukai memeriksa barang impor. "Kebijaksanaan itu sangat membantu pengusaha," puji Zulkifli Ibrahim, Manajer Pembelian PT Teijin Indonesia Fiber Corp. Industri tekstil PMA yang punya gudang 3.000 m2 di Tangerang itu, setiap bulan mengimpor 3.500 ton bahan baku untuk membuat benang sintetis, dan sejumlah bahan baku pembantu. "Kami tak bisa bayangkan bagaimana sulit dan repotnya jika pemeriksaan dari bea cukai dilakukan di pelabuhan," tambah Ibrahim. Ketika gudang Cakung selesai dibangun, ternyata sedikit saja barang yang masuk ke sana. Untuk mendorong jmportir agar memilih Cakung, Presiden mengeluarkan Inpres No. 12, 24 Desember 1977, mengharuskan semua barangyang dirnuat di pelabuhan pertama Hongkong, Singapura, dan Jepang, masuk PPC. Importir, kata Gaol, Ketua BP5 Cakung, toh tetap berusaha menghindari Cakung. Ulah importir itu, menurut Gaol, menyebabkan volume barang yang masuk PPC tidak naik secara tajam (lihat grafik). Penerimaan uang ke kas negara pun menurun. Gaol mungkin lupa, volume barang impor yang masuk Priok sesungguhnya juga mulai menurun sejak 1979 antara lain akibat devaluasi rupiah 1978, dan resesi dunia. Kenyataan itu rupanya tak dilihat pemerintah yang tetap menginginkan PPC terisi penuh. Buktinya Menteri Keuangan kemudian menerbitkan SK No. 335 tanggal 11 Mei 1982 yang mengharuskan semua barang yang dimuat dari pelabuhan Jepang, Hongkong dan Singapura masuk Cakung--sekalipun hanya merupakan persmggahan kedua da transhipment. Pelaksanaan kebijaksanaan itu baru diberlakukan 1 Oktober lalu Menurut John Simandjunuk, Kepala Bi dang Operasi PPC, sejak keputusan itu mulai diberlakukan, volume peti kema yang masuk Cakung naik sampai 300%, dan volume barang naik 50%. Tapi, menurut John Simandjunuk dalam konperensi pers Senin pekan ini, gudang induk PPC saat ini terisi sekitar 30% dari kapasitas, sedang gudang barang berbahaya terisi 40%. Untuk mencapai titik impas, kata Gaol, tingkat pengisian gudang harus 60% dari kapasitas. Sesungguhnya volume barang yang masuk PPC setiap tahunnya masih terbilang kecil jika dibandingkan keseluruhan impor. Tahun lalu, misalnya, dari 5,8 juta ton barang impor yang benarbenar masuk gudang dan lapangan penimbunan Cakung hanya 771 ribu ton (sekitar 13%). Sedang yang masuk gudang da lapangan penimbunan Priok, baik yang dikelola BPP maupun swasta, berjumlah 4 juu ton (70%). Sisa barang lainnya langsung masuk gudang pemilik barang. Kendati demikian, tingkat pemakaian gudang dan lapangan di Priok tahun lalu baru mencapai sekitar 37% dari kapasitas. Contohnya PT Gesuri Lloyd, yang menyewa lima gudang (1.000 m2) dari BPP Priok. "Yang pasti gudang kami mulai kosong, sejumlah peralatan seperti forklift, dan buruh kini banyak yang menganggur," kata H. Alfons, Manajer Departemen Peti Kemas Gesuri. Ini mendorong GINSI, Asosiasi Pemilik Kapal Nasional Indonesia (INSA) dan Gabungan Veem dan Ekspedisi Indonesia (Gaveksi) melakukan perhitungan. Menurut kesimpulan ketiga organisasi itu, kapasitas terbuang (unutilized capacit) pergudangan Priok tahun lalu mencapai 1,5 juta ton. Jika tingkat pemakaian lapangan penimbunan dan gudang pelabuhan itu masih seperti tahun lalu, kerugian yang akan dipikul BPP Priok tahun ini diperkirakan akan mencapai Rp 11 milyar. Dan PPC, yang kapasitas lapangan penimbunan, dan gudangnya satu setengah kali Priok, tahun ini diperkirakan akan rugi Rp 24,3 milyar. Menurut Administrator Pelabuhan (Adpel) Tanjungpriok, Sabirin, untuk mencapai titik impas, tingkat pengisian gudang dan lapangan penimbunan harus mencapai 60%. BPP Priok, katanya, memang uk ingin mengambil keuntungan dari sewa pemakaian gudang dan lapangan penimbunan. Sebab sesudah administrasi diperbaiki, dan perluasan gudang dilakukan, barang yang masuk Priok kini rau-rau hanya dalam tempo 11 hari bisa dikeluarkan. Di zaman kongesti 1974, untuk mengeluarkanbarang memerlukan waktu sebulan lebih. Kelancaran pengeluaran barang itu, menyebabkan meningkatnya arus kapal yang masuk Priok. Tahun 1978, tercatat 4.623 kapal, dan uhun lalu 6.357 kapal masuk pelabuhan itu. Mereka kini, menurut Sabirin, hanya membutuhkan waktu tunggu rata-rata 6 jam untuk sandar di dermaga. "Di masa kongesti, paling cepat tiga minggu," kata Adpel Tanjungpriok itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus