Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Calon Juragan BCA

Proses penjualan BCA telah memasuki saat-saat terakhir. Keempat penawar menyerahkan semua dokumen yang diperlukan. Inilah para pelamar bank yang dulu jadi kebanggaan keluarga Salim itu.

24 Februari 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Standard Chartered Bank Untuk meminang BCA, Standard Chartered Bank (Stanchart) merangkul Prudential Insurance, Government of Singapore Investment Corporation (GSIC) dari Singapura, dan mitra lokal PT Berca. Porsi yang disodorkan para mitra untuk membeli BCA masing-masing tak lebih dari lima persen. Stanchart, bank yang berbasis di London, memiliki track record panjang di dunia perbankan. Akhir-akhir ini Stanchart banyak melakukanStandard Chartered Bank HSBC Hongkong dan DBS Singapura. Di Indonesia sendiri Stanchart sudah bercokol sekitar 140 tahun. Dan pada 1999 mereka berniat membeli Bank Bali. Sayangnya, karena ada perlawanan dari manajemen Bank Bali, pembelian itu gagal. Prudential Insurance adalah perusahaan asuransi di Inggris yang telah lama bekerja sama dengan Stanchart dan bahkan menjadi pemegang saham Stanchart di Inggris. Mitra Stanchart lainnya, GSIC, juga merupakan mitra tangguh bagi Stanchart. Tan Sri Khoo Teck Puat, Non-Executive Director GSIC, adalah pemegang saham Stanchart dengan kepemilikan per Januari 2001 13,99 persen. Dia juga dikenal sebagai pendiri bank terbesar di Malaysia, May Bank. Sebelumnya, GSIC pernah bergabung dengan konsorsium untuk pembelian aset PT Astra International di Indonesia. Dengan pemerintah Singapura di belakang GSIC, sang mitra ini diharapkan bisa menurunkan pengaruh tingginya country risk Indonesia. Mitra lokal Stanchart, PT Berca Indonesia, dikenal orang awam sebagai perusahaan penghasil sepatu Nike. Padahal, mereka juga memproduksi baja yang bisa digunakan untuk menara telekomunikasi dan juga aktif di bisnis lain seperti pembangunan jalan raya dan jembatan. Kelompok Berca pernah berkongsi dengan Asea Brown Bovery (ABB), yang memungkinkannya terus menjadi pemasok utama peralatan listrik untuk PLN. Pemilik kelompok ini, Moerdaya Poe, adalah orang yang sangat dekat dengan para pejabat Orde Baru. Istrinya, Hartati Moerdaya, adalah anggota MPR. Farallon Capital Mengaku baru kali ini akan membeli bank, Farallon Capital adalah saingan terberat Standard Chartered Bank. Meski belum pernah membeli bank, Farallon pernah terlibat dalam konsorsium Ripplewood yang mengakuisisi Long Term Capital Bank (LTCB) di Jepang dan diubah menjadi Shinsei Bank. Mereka juga telah menjadi investor di Kookmin Bank di Korea serta beberapa bank di Hong Kong dan di Singapura. Selain itu, Farallon juga pernah terlibat dalam penanaman modal di Capital Source Holding LLC, bank komersial di Washington yang menyediakan kredit kepada usaha kecil dan menengah. Farallon juga terlibat dalam sebuah konsorsium untuk privatisasi sebuah bank Eropa. Di Indonesia sendiri, bisnis Farallon berfokus pada sektor pinjaman bank, obligasi, dan klaim perdagangan. Mereka pernah memberi kredit ke setidaknya 20 perusahaan besar di Indonesia seperti Astra, United Tractors, Satelindo, Indofood, Paiton, Semen Cibinong, Pelabuhan II, dan Freeport. Farallon juga pernah terlibat dalam pembelian kredit macet di Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Untuk meyakinkan kemampuannya mengurus bank nantinya, Farallon yang akan dimotori perwakilannya, Farallon Indonesia (Farindo) Holding Mauritius, menggandeng Deutsche Bank sebagai konsultan. Untuk memberi kandungan lokal dan mungkin untuk akses politik, Farallon menggandeng Alaerca Investment, yang sebagian sahamnya dimiliki PT Djarum, perusahaan rokok terbesar ketiga di Indonesia. Konsorsium GKBI GKBI adalah kumpulan saudagar batik yang memiliki pengaruh di kalangan pemerintah maupun lembaga legislatif. Salah satu anggota konsorsium, Rifan Financindo Assets Management, adalah perusahaan milik putra mantan wakil presiden Try Sutrisno. Anggota lainnya, Saratoga Investama Sedaya, adalah milik Edwin Soeryadjaya. Bank Mega Meski tergolong bank bagus, Bank Mega tampaknya tak terlalu diperhitungkan dalam barisan pelamar. Melenggang sendirian, bank dari kelompok bisnis Para ini meraup ke-untungan bersih Rp 90,01 miliar tahun lalu, naik 78,84 persen dari tahun sebelumnya. Asetnya pun membengkak menjadi Rp 8,10 triliun, dengan 2.502 jaringan ATM di seluruh Indonesia. Pemiliknya, Chairul Tanjung, disebut memiliki jaringan bisnis yang luas dan lobi politik yang kuat. Pada 1998 kelompok Para berpatungan dengan Singapore Airlines dan Grup Salim menanamkan modalnya di PT Serive Quality Center Indonesia. Purwani D. Prabandari, Iwan Setiawan, dan Endah W.S.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus