Ada sekelumit rasa waswas yang kini mengejar-ngejar jajaran Kementerian Negara BUMN. Dengan target penjualan 24 perusahaan negara?inilah yang bikin waswas?mereka harus melakoni serangkaian kerja besar yang belum tentu berujung pada pesta besar. Maklumlah, target perolehannya tinggi: Rp 6,5 triliun, yang harus disetor untuk menambal APBN 2002.
Menambal APBN dengan menjajakan perusahaan negara bukanlah perkerjaan gampang. Lebih banyak tak enak daripada enaknya. Lihat saja, pada semester pertama, ada tujuh BUMN yang dijual dengan target pendapatan Rp 3,5 triliun. Ketujuh BUMN itu adalah Indosat, Kimia Farma, Indofarma, Indocement Tunggal Prakarsa, Tambang Batubara Bukit Asam, Angkasa Pura II, dan Wisma Nusantara. Jika penjualannya tidak dirintis lebih awal, akan tak mudah meraih target itu karena waktunya tinggal empat bulan. Apalagi, pada tahun 2000, tak satu pun BUMN bisa dijual.
Tahun lalu, dengan target sama, Rp 6,5 triliun, pemerintah hanya bisa menghimpun Rp 3,1 triliun dari penjualan saham Telkom. Selain faktor pasar yang belum menentu, belakangan juga muncul faktor kedaerahan, yang mendorong masyarakat setempat untuk menolak penjualan BUMN yang berlokasi di kawasan mereka. Anehnya, DPR juga tampil sebagai faktor penghambat yang dominan.
Direktur Privatisasi Kementerian Negara BUMN, Aloysius Kiikro, menyikapi situasi rawan ini dengan sejumput introspeksi. Diakuinya, memang tidak tepat jika penjualan BUMN dilakukan untuk menambal anggaran negara. Berdasarkan pengalaman negara lain, 90 persen kasus penjualan saham BUMN yang dikaitkan dengan anggaran akhirnya gagal. Dan Indonesia sudah mengalaminya dalam dua tahun ini. Menurut Aloysius, target maupun hasil penjualan BUMN sangat kecil dibandingkan dengan total pendapatan negara?hanya di bawah dua persen. "Sebagai instrumen fiskal, jelas tidak banyak artinya. Tapi yang kecil ini justru sering bikin heboh," katanya serius.
Kendati demikian, Kiikro tetap menyiapkan penjualan ketujuh BUMN itu. Kebetulan agak mudah baginya, karena empat perusahaan yang dikategorikan sebagai kelas pengiring sudah go public (Indosat, Kimia Farma, Indofarma, Indocement). Indocement dan Wisma Nusantara sudah jelas pembelinya, yakni pemegang saham yang lain. Bagaimana peluang sang primadona, Batubara Bukit Asam? Berikut ini kondisi dan prospek penjualan saham ketujuh BUMN tersebut.
Indosat
Pemerintah sudah menjadwalkan penjualan Indosat tahun lalu, tapi ditunda ke tahun ini. Pemerintah menguasai 65 persen saham Indosat, tapi prospeknya kurang menjanjikan karena Indosat kini bukanlah Indosat 4-5 tahun lalu. Dulu pertumbuhan penjualan dan laba Indosat rata-rata di atas 30 persen.
Kini, perusahaan yang punya bisnis inti sambungan telepon internasional (SLI) itu memasuki masa-masa rawan. Bisnis SLI-nya anjlok. Pada tahun 2000 penjualan SLI masih naik 1,1 persen, tapi tahun lalu turun 2,8 persen. Sementara pada tahun 2000 sambungan internasional menyumbang 82 persen dari total pendapatan Indosat, tahun lalu tinggal separuhnya. Penyebabnya adalah bisnis Voice over Internet Protocol (VoIP) yang marak luar biasa.
Prospek Indosat tertolong karena tahun lalu perusahaan ini mendapat Satelindo lewat program pertukaran saham dengan Telkom. Dalam setahun terakhir, Satelindo mampu menambah pelanggan 68 persen menjadi 1,8 juta pelanggan dan menguasai 28 pangsa pasar bisnis seluler. Selain itu, tahun lalu Indosat juga meluncurkan IM3, yang mampu menggaet 148 ribu pelanggan dari target hanya 50 ribu. "Seluler akan menjadi bisnis inti kami," kata S. Aulina, Manajer Umum Komunikasi Indosat. Namun Indosat dituntut agar mampu bertarung melawan Telkom, yang memiliki Telkomsel. Dan Telkomsel ini sekarang menguasai hampir separuh bisnis seluler.
Indofarma
Kecil itu indah, begitulah tamsil yang ditujukan Direktur Privatisasi Kementerian Negara BUMN, Aloysius Kiikro, kepada Indofarma. Meskipun kalah besar dibandingkan dengan Kimia Farma atau Kalbe Farma, Indofarma lebih memiliki nilai jual karena bisnisnya terfokus ke obat generik, yang nilai pasarnya sekitar Rp 800 miliar per tahun. Menurut juru bicaranya, Sudibyo, Indofarma menguasai 50 persen pasar obat generik di Indonesia. Kalau Indofarma mampu menjalin hubungan yang baik dengan daerah, bisnis obat generiknya bisa berkembang lebih pesat.
Wajarlah jika beberapa investor terpikat berat untuk membeli saham Indofarma, di antaranya Nutricia (Belanda), Washington Soul Pattinson (Australia), dan sejumlah perusahaan farmasi dari Cina. Hanya, Indofarma dihadang masalah pelik. BUMN ini sejak dulu selalu memperoleh subsidi kurs dalam pembelian bahan baku obat, yakni sekitar 40 persen. Subsidi ini diberikan agar harga obat generik bisa ditekan semurah mungkin. Nah, jika subsidi itu dicabut, harga obat Indofarma akan naik. Konsekuensinya, daya tarik perusahaan ini berkurang.
Selain itu, pernyataan Menteri Negara BUMN, Laksamana Sukardi, bahwa pemerintah akan mempertahankan posisi mayoritasnya di Indofarma, telah membikin gempar. Soalnya, musibah banjir menyebabkan permintaan akan obat generik meningkat, sehingga pemerintah tak jadi melepas 51 persen sahamnya. Hal ini akan membuat calon investor meninjau kembali rencananya. Direktur Utama Indofarma, Edy Pramono, mengatakan bahwa privatisasi jadi satu prasyarat agar Indofarma bisa bersaing di era bebas. "Jika kita tidak siap, pasti tergilas," katanya.
Kimia Farma
Di atas kertas, inilah satu dari sedikit BUMN yang paling layak jual. Kinerjanya oke, prospek usahanya pun lumayan bagus. Kimia Farma terjun di bisnis obat sekaligus memiliki jaringan apotek yang sangat besar. BUMN ini memiliki 240-an apotek di seluruh Indonesia, dan tahun depan bertambah menjadi 335 buah. Asumsinya, dengan pertumbuhan bisnis obat yang mencapai 20 persen per tahun, otomatis apotek-apotek Kimia Farma juga akan terimbas rezeki. Saat ini penjualan obat melalui apotek mencapai 35 persen dari penjualan obat, atau sekitar Rp 3,4 triliun.
Namun, persaingan bisnis obat di Indonesia sangat keras. Pasar farmasi dikuasai perusahaan asing atau anak perusahaannya di Indonesia. Di antara perusahaan lokal, Kimia Farma masih kalah dibandingkan dengan Kalbe Farma, tapi peluangnya untuk bertarung bukan tak ada, apalagi kalau modal asing masuk. Juru bicara Kimia Farma, Dandossi Matram, mengungkapkan bahwa produsen obat generik terbesar kedua di Jerman berminat membeli saham Kimia Farma.
Angkasa Pura II
Inilah perusahaan yang paling sulit dijual?setidaknya menurut Aloysius Kiikro. Menurut Aloysius, sejak tragedi 11 September, bisnis penerbangan di dunia memburuk. Lebih dari 300 pesawat dikandangkan dan 1.500 rute internasional ditutup. Nah, situasi itu jelas tak menguntungkan. Selain itu, pemerintah juga masih menghitung ulang apakah menjual Angka Pura II ataukah Bandara Soekarno-Hatta?meniru Pelindo II yang menjual PT Jakarta International Container Terminal.
Jika Angkasa Pura II yang dijual, kendalanya bukan tak ada. Ketua Komisi IV, Sumaryoto, misalnya mengatakan bahwa komisinya akan menolak penjualan Angkasa Pura II jika targetnya cuma US$ 158 juta (Rp 1,56 triliun). "Kalau tidak dijual, pendapatan Angkasa Pura II bisa di atas Rp 1 triliun," katanya. Tapi, kalaupun yang dijual Bandara Soekarno-Hatta, tak berarti urusan jadi beres. Menurut Aloysius, peminat Soekarno-Hatta cuma dua, yakni Schipol (Belanda) dan AP (Prancis). Akibatnya, pemerintah sulit mendapatkan harga yang bagus. "Kalau harganya tidak cocok, ya batal," Aloysius menegaskan.
Wisma Nusantara
Di Wisma Nusantara, pemerintah berniat menjual 32 persen saham dari 42 persen yang dimilikinya. Bahana Sekuritas kini sedang menghitung berapa harga yang layak untuk perusahaan yang bergerak di bidang perkantoran dan perhotelan itu. Namun, kabarnya, pemerintah menargetkan perolehan US$ 20 juta hingga 30 juta atau Rp 220 miliar sampai 330 miliar. Calon pembelinya Mitsui, yang juga sudah memegang 21,36 persen saham Wisma Nusantara.
Indocement Tunggal Prakarsa
Pemerintah menargetkan perolehan dari Indocement sebesar US$ 100 juta dari 16,87 persen saham yang dimilikinya. Pembelinya pun sudah ada, yakni Heidelberger Zement AG dari Jerman, yang kini menguasai mayoritas saham perusahaan yang dulu dimiliki Grup Salim ini. Penjualan mungkin dilakukan pada Mei 2002, sebagai bagian dari opsi yang diberikan dalam restrukturisasi utang Grup Salim.
Tambang Batubara Bukit Asam
Di antara tujuh perusahaan andalan, Tambang Batubara Bukit Asam menonjol bagaikan sang primadona. Perusahan ini menguasai captive market di PLTU Suralaya. Sekitar 80 persen produknya dijual ke pembangkit yang terletak di Jawa Barat itu. Sisanya dijual ke pasar ekspor, antara lain ke Jepang. Kinerjanya juga oke (lihat tabel). Dan cadangan batu baranya cukup untuk 100-150 tahun lagi. Hanya, ada kendala sarana angkutan, terutama untuk mengangkut produknya ke Suralaya. Itulah sebabnya, Tambang Batubara Bukit Asam sulit menaikkan produksinya.
Tapi, menurut Direktur Utama Tambang Batubara Bukit Asam, Ismet Harmaini, perusahaannya akan mengalihkan transportasi batu bara melalui laut. Jika ini bisa dilakukan, dia yakin perusahaannya akan mampu menaikkan penjualan. Namun, menurut Aloysius, jika perusahaan itu dibeli pihak asing, mereka harus membayar royalti. "Ini yang belum bisa kita selesaikan," katanya kepada Asnadi dari TEMPO. Sekalipun begitu, tak kurang dari empat investor asing yang berminat meminang PT Tambang Batubara Bukit Asam, sang primadona.
M. Taufiqurohman, Rommy Fibri, Setiyardi, Agus S. Riyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini