Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Cantik tapi Tak Ramah

Peringkat indeks kebebasan ekonomi Indonesia meningkat. Pertanda kian terbuka, meski dinilai masih kurang ramah bagi investor.

5 Februari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH menunda sebulan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya membacakan pidato awal tahun di Istana Merdeka, Jakarta. Selama dua setengah jam Presiden menyerukan pemangkasan birokrasi investasi. ”Pejabat yang menghambat investasi harus minggir,” ujar SBY dengan keras pada Rabu petang pekan lalu.

Indonesia memang sudah lama punya cap buruk dalam hal perizinan. Meski masa pengurusan izin bisnis baru sudah dipangkas dari lima bulan menjadi 97 hari, durasi ini masih dua kali lipat ketimbang rata-rata dunia. Belum lagi pungutan liar di setiap jenjang. Jalan terjal berinvestasi inilah yang membuat indeks kebebasan ekonomi (Index of Economic Freedom) kita tersengal.

Indeks ini dikeluarkan setiap tahun oleh The Wall Street Journal dan The Heritage Foundation. Pada dasarnya indeks ini mengukur tingkat kebebasan dalam hubungan pelaku ekonomi individual dengan negara. Dari sini bisa diukur seberapa leluasa para pelaku ekonomi mengontrol hak, kekayaan, dan pekerjaannya.

Dirilis dua pekan lalu, hasil penelitian itu menunjukkan ekonomi Indonesia masih rigid (mostly unfree). Dengan skor 55,1 persen, tahun ini indeks kebebasan ekonomi Indonesia berada di urutan ke-110 dari 157 negara yang disurvei. ”Peraturan pemerintah tidak transparan dalam investasi,” kata Anthony Kim, Ketua Peneliti The Heritage, kepada Tempo.

Skor dan peringkat itu merupakan resultan dari 10 indikator kebebasan ekonomi berdasarkan data Bank Dunia. Salah satunya, indikator iklim bisnis yang mencakup lamanya pengurusan izin investasi. Wall Street memberi catatan, lamanya izin membuat lapangan kerja tersendat dan kebijakan pemerintah lainnya terhambat. Akibatnya, skor Indonesia untuk soal ini hanya 45,7 persen.

Dalam soal pajak dan moneter, skor Indonesia lumayan tinggi, mencapai 85 dan 70,9 persen. Itu karena pemerintah menetapkan tarif tunggal pajak 30 persen yang dinilai cukup moderat dalam Rancangan Undang-Undang Pajak yang baru. Sayang, RUU ini masih mandek. Pengesahannya tertahan di DPR. Dalam soal moneter, pemerintah dinilai sukses mengendalikan inflasi pascapemangkasan subsidi bahan bakar minyak pada akhir 2005.

Secara total, indeks kebebasan ekonomi Indonesia hanya naik satu persen dari tahun lalu menjadi 55,1 persen. Namun, kenaikan ini membuat posisi Indonesia naik 13 peringkat dari posisi 123 menjadi 110. Sebaliknya, indeks rata-rata dunia malah turun dari 60,9 persen menjadi 60,6 persen.

The Heritage menyimpulkan penurunan ini terjadi karena adanya pergeseran tingkat kebebasan ekonomi dari Amerika ke Eropa. Di Amerika, kini terjadi ketimpangan antara negara-negara di Utara dan di Selatan setelah di Amerika Selatan tampil pemimpin semacam Evo Morales dan Hugo Chavez yang mengembalikan arah ekonomi ke bawah duli negara.

Wall Street menempatkan Hong Kong sebagai negara dengan tingkat kebebasan ekonomi tertinggi di dunia. Disusul Singapura dan Australia. ”Singapura menjadi surga bagi pengusaha dan pekerja,” kata Tim Kane, ketua tim penulis indeks ini.

Tiga negara itu menggeser posisi Amerika Serikat yang bertahun-tahun menyandang gelar negara paling liberal. Penurunan peringkat negara adidaya ini dipicu oleh badai inflasi dua tahun terakhir yang membuat bank sentral, The Federal Reserve, agresif menaikkan suku bunga.

Meski begitu, ketimpangan juga terjadi di Asia. Dua negara Asia bahkan tergolong represif. Di tingkat regional, Indonesia menempati urutan ke-12 atau nomor empat dari bawah. Menurut Anthony Kim, selain soal perizinan, Indonesia juga terpuruk dalam hal penegakan hukum dan korupsi.

Dalam pidatonya, Presiden Yudhoyono mengakui semua kebobrokan itu. Untuk mengatasinya, sederet rencana digelar. Antara lain, pemerintah berniat semakin meminimalkan campur tangannya dalam dunia bisnis. Karena itu, peran pemerintah di BUMN bakal terus dipangkas. Rapat kabinet, menurut Menteri BUMN Sugiharto, telah memutuskan pengurangan bertahap jumlah perusahaan negara.

Rencananya, ada 37 perusahaan kecil dan rugi melulu yang bakal dijual tahun ini. Pada 2009, ditargetkan perusahaan pelat merah tinggal 69. Jumlah itu akan disusutkan menjadi 25 BUMN saja pada 2015. ”Nantinya pemerintah tak akan lagi repot mengelola perusahaan,” kata Sugiharto.

Selain menyurutkan peran pemerintah, menurut Sugiharto, berbagai kebijakan juga akan dibuat lebih transparan. Agi Rachmat, pelatih manajemen dari Dunamis Organization Service mendukung ide ini. ”Dalam teori manajemen,” katanya, ”hubungan ideal antara pemerintah, pengusaha, dan masyarakat adalah mekanisme pasar.”

Investor asing pun menyambut baik rencana pemerintah Indonesia. Philip J. Shah, Ketua Komite Pajak International Business Chamber, mengatakan, kebebasan dan keterbukaan ekonomi amat penting dalam investasi. Secara alami, katanya, pengusaha akan selalu mencari tempat berbisnis yang menguntungkan, ramah, dan kompetitif.

Salah satu hal yang masih mengganjal, kata Shah, RUU pajak yang hingga kini masih ngendon di DPR. ”Jika tiga tahun tak selesai, bisa bahaya,” katanya. Menurut dia, investor sudah tak sabar menunggu pengesahan aturan baru yang lebih ”ramah”.

Tanpa itu, diperkirakan investasi asing dan lokal yang tahun lalu banyak hijrah ke Taiwan, Malaysia, atau Korea Selatan bakal berlanjut. Padahal, kata Shah yang sudah 20 tahun bermukim di Jakarta, dengan jumlah penduduk yang besar, ”Indonesia selalu dipandang sebagai negeri yang cantik untuk berbisnis.”

Bagja Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus