Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Qaris Tajudin
Juli lalu Majelis Bahasa Brunei Darussalam, Indonesia, dan Malaysia (Mabbim) sepakat untuk menandatangani komunike bersama. Salah satu isinya, ketiga negara Melayu itu sepakat untuk menggunakan bahasa yang sama. Maklum, meski berpangkal dari bahasa yang sama yaitu Melayu, ketiga negara ini selama ini memiliki sejumlah perbedaan.
Untuk mengatasi kesenjangan itu, September silam, 20 pakar Mabbim berkumpul di Kuala Lumpur. Sejumlah kata telah dapat disepakati untuk digunakan bersama. Seperti kata pakan untuk makanan ternak. Meski jamak digunakan di Indonesia, penggunaannya di Malaysia dan Brunei belum lazim. Kita tak tahu apakah upaya penyatuan bahasa itu akan berhasil.
Di luar ruang konferensi, sebuah perkembangan menarik terjadi.
Tiga tahun lalu Ada Apa dengan Cinta? diputar untuk pertama kalinya di bioskop Malaysia. Ribuan anak muda berjejal di GSC Min Valley, Kuala Lumpur, agar bisa menyaksikan langsung idola baru mereka: Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra. Saat itu bahasa gaul Jakarta tak sepopuler sekarang. Utusan Malaysia, saat itu, bahkan harus memberi catatan untuk dialog dalam A2DC!: ”Bagaimanapun, sekiranya Anda tidak menguasai bahasa tersebut, Anda tetap akan tertawa dan menangis.”
Kini, saat sejumlah film remaja Indonesia diputar di sana, catatan seperti itu tak diperlukan. Anak-anak muda Kuala Lumpur dan kota-kota besar Malaysia kini sudah fasih mengucapkan dan memakai kata-kata bahasa gaul Jakarta—seperti lo, gue, keren, ngetop, ngobrol, dan sejumlah kata lainnya—dengan fasih.
Cepatnya anak muda Malaysia mengadopsi bahasa Indonesia—yang gaul ataupun yang baku—tak terlepas dari peran film dan lagu Indonesia yang membanjiri pasar Malaysia. Sejak tahun 2000 artis-artis Indonesia, seperti Krisdayanti, Ruth Sahanaya, Rossa, Sheila on 7, Gigi, Dewa, Melly Goeslow, Cokelat, dan Peterpan, berjaya. Album Peterpan Bintang di Surga, misalnya, sudah terjual 50 ribu unit dalam masa singkat. Lima album Sheila on 7 hampir mencapai 300 ribu unit. Sementara album penyanyi Malaysia sendiri, tidak terkecuali Siti Nurhaliza, mencapai jumlah 10 ribu unit saja sudah sukar.
Akibatnya, kini anak muda Malaysia tidak lagi kesulitan memahami bahasa gaul yang banyak dipakai di lagu-lagu dan film-film Indonesia. Mereka kini justru keranjingan penggunaan kata-kata dari negeri seberang.
Bentuk serbuan bahasa ini terlihat pada masuknya kata baru seperti ngobrol, banget, bego, goblok, dan lainnya. Sebuah program radio di Kuala Lumpur, misalnya, dinamai Carta Baik Banget. Saat penyiarnya, DeeJay KC Ismail, ditanya soal penamaan itu, ia mengatakan judul show ini diinspirasi oleh Krisdayanti yang sering sekali berkata ”banget” (sangat) apabila memuji sesuatu, seperti keren banget.
Tak cuma kata gaul, tapi juga kata baku. Misalnya, artis Malaysia, Fazley, yang dalam lirik lagunya, Bila April Tiba, menggunakan kata ”kapan”. ”Dan bila April tiba/Bibirku pasti akan bertanya/Kapankah kau milikku…”. Padahal, dalam bahasa Malaysia, mereka tak menggunakan ”kapan”, melainkan ”bila”.
Ada juga perluasan pengguna, seperti lo-gue yang biasanya hanya diucapkan etnis Cina, kini meluas, ikut digunakan anak muda Melayu. Ada yang cuma berubah cara pengucapannya, seperti masalah yang sebelumnya diucapkan dengan masaalah, dan beda yang sebelumnya beza. Kata yang artinya berubah juga ada. Berpacaran dulu dipahami sebagai making love, tapi kini digunakan untuk dating, seperti yang kita pahami di sini.
Demam bahasa dari seberang ini akhirnya juga tertular ke kalangan artis sana. Maklum, sejumlah lagu mereka diciptakan oleh musisi Indonesia, seperti lagu Fauziah Latiff dan Nora yang diciptakan Melly, Siti Nurhaliza yang dibuatkan lagu oleh Dewiq, dan band Exist yang ingin mengikuti jejak Dewa. Ini sebenarnya bukan barang baru, karena Sheila Majid sudah lama menyanyikan ulang lagu-lagu Vina Panduwinata. Siti dan Amy Search, konon, sempat mengubah lirik lagu terbaru mereka menjadi bahasa Indonesia agar mendapat pendengar lebih banyak.
Kita tak tahu apakah kecenderungan ini akan berlangsung lama atau hanya demam sesaat. Yang jelas, apa yang diucapkan oleh Krisdayanti lebih berpengaruh dari kesepakatan dewan dan pusat bahasa. Bahasa memang tak bermain di meja konferensi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo