Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komite Nasional Pelestarian Kretek alias KNPK menilai keputusan pemerintah menaikkan tarif cukai rokok di atas 10 persen menjadi pukulan berat bagi pelaku usaha industri hasil tembakau (IHT) dari hulu hingga hilir. Pasalnya mereka menilai saat ini juga ada dampak pelemahan ekonomi akibat pandemi.
Koordinator KNPK Azami Mohammad menilai, pertimbangan primer pemerintah dalam menetapkan kebijakan tarif cukai diarahkan untuk mematikan sektor IHT. Dapat dilihat dari penekanan terhadap pengendalian konsumsi rokok.
“Pengendalian konsumsi menjadi alasan pemerintah dalam menaikkan tarif cukai, ini artinya industri ditekan melalui kebijakan tarif cukai yang tinggi sehingga tidak dapat tumbuh dan pelan-pelan mati,” ujar Azami dalam keterangan tertulis, Selasa, 14 Desember 2021.
Azami berujar kebijakan tarif cukai 2022 akan berdampak kepada pengurangan tenaga kerja hingga 990 orang dengan penurunan produksi hingga 3 persen, bahkan bisa lebih. “Karena produksi menurun serta konsumsi menurun. Konsekuensinya adalah menekan harga bahan baku serta mengurangi tenaga kerja” ujarnya.
Di sisi lain, menurut Azami, cukai rokok masih dibutuhkan oleh pemerintah perihal penerimaan APBN. Cukai rokok menyumbang hingga 11 persen dari total penerimaan APBN.
“Pemerintah tidak punya nurani di tengah kondisi krisis seperti ini, malah justru menambah beban masyarakat. Daripada seperti ini terus, sekalian saja ilegalkan tembakau beserta produk turunannya,” tutur Azami.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menetapkan tarif cukai hasil tembakau naik rata-rata 12 persen pada 2022. Besaran tarif itu telah disepakati bersama Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
Namun, untuk kategori sigaret kretek tangan, kenaikan ditetapkan maksimum 4,5 persen. Kebijakan tersebut mempertimbangkan sejumlah kondisi, mulai dari pengendalian konsumsi rokok, ketenagakerjaan, penerimaan negara, hingga peredaran rokok ilegal.
Rinciannya, tarif CHT untuk golongan sigaret kretek mesin atau SKM I adalah 13,9 persen menjadi Rp 985, sedangkan SKM IIA dan SKM IIB naik masing-masing 12,1 persen dan 14,3 persen menjadi Rp 600.
Berikutnya, tarif untuk sigaret putih mesin I naik 13,9 persen menjadi Rp 1.065, serta SPM IIA dan SPM IIB naik masing-masing 12,4 persen dan 14,4 persen menjadi Rp 635.
Adapun untuk golongan sigaret kretek tangan atau SKT IA kenaikannya 3,5 persen menjadi Rp 440, SKT IB naik 4,5 persen menjadi Rp 345, SKT II naik 2,5 persen menjadi Rp 205, dan SKT III naik 4,5 persen menjadi Rp 115.
"Terjadi perbedaan kenaikan yang memang cukup tinggi antara yang mesin dan yang gunakan tangan," tutur Sri Mulyani.
Sri Mulyani mengatakan penyesuaian tarif cukai rokok perlu diikuti dengan penyesuaian harga jual eceran minimum dengan pertimbangan antara lain agar tarif cukai tidak melebihi batasan 57 persen dari HJE, terutama jenis SKM dan SPM. Pada jenis SKT harga transaksi pasar telah melebihi rara-rata harga jual eceran. Dengan demikian, batasan harga jual eceran minimum pun dinaikkan rata-rata 12 persen.
Pada Oktober lalu, Direktur SDM Universitas Indonesia Abdillah Ahsan meminta tarif cukai rokok harus naik karena Indonesia saat ini mengalami darurat konsumsi rokok. Sebab, kata dia, tembakau merupakan faktor risiko kematian, kesakitan, dan disabilitas nomor satu untuk laki-laki dan tujuh bagi perempuan.
CAESAR AKBAR
Baca: Menteri PUPR Tunjuk Danis Sumadilaga jadi Ketua Satgas Pembangunan IKN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini