SISA kesabaran nasabah Bank Summa agaknya semakin tipis. Sekitar 50 orang nasabah besar bank tersebut Sabtu pekan lalu turun ke jalan bagaikan massa demonstran. Setelah menelan rasa kecewa karena tidak bisa bertemu dengan William Soeryadjaya di gedung Landmark mereka segera melabrak ke rumah taipan itu, yang terletak di Jalan Diponegoro 14, Jakarta. Tak kalah cepat, dua petugas satpam di rumah itu berhasil lebih dulu menutup dua pintu gerbang hal yang semakin membuat berang para nasabah. Mendadak, tanpa komando, para nasabah jadi beringas. Beberapa pria, yang dibantu satu dua wanita, secara bergantian mendobrak pintu besi itu. Akhirnya jebol juga. Para pengunjuk rasa segera menuju ke bangunan utama. Tapi, lagi-lagi mereka disambut oleh pintu dan jendela yang tertutup. Suasana kembali panas. Seorang demonstran wanita meraih serokan sampah dan memukul- mukulkan benda itu ke daun pintu. ''Om Willem, buka! Jangan sembunyi. Kembalikan uang kami,'' teriaknya. Karena tak kunjung ada jawaban, segenap tamu tak diundang itu lalu bersama-sama mendengungkan sumpah serapah. Setelah petugas keamanan datang, sikap mereka agak mereda. Toh mereka masih berharap William ada di dalam rumah. Paling tidak, urusan deposito mereka bisa ditanyakan sampai tuntas. Apakah sisa yang 50% benar-benar akan dibayar dan kira-kira kapan dilunasi. Ternyata, seperti yang dikatakan penjaga rumah kepada TEMPO, William sudah keluar lewat pintu belakang. Kesal menunggu, beberapa ibu termasuk belasan wanita setengah baya lalu iseng-iseng menyantap rujak. Satu jam kemudian, pukul 14.15, setelah makan nasi bungkus, rombongan aksi nasabah pun bubar. Beberapa dari mereka sempat mencoret-coret pintu dan tembok rumah. Beberapa wanita telah pula melamuri sisa rujak ke tembok dan daun pintu. Rombongan unjuk rasa lalu bergerak ke rumah Edwin Soeryadjaja putra kedua William yang berlokasi di Jalan Denpasar 1, Jakarta. Terletak tak jauh dari kompleks perumahan menteri, rumah yang oleh Prof. Sumitro Djojohadikusumo pernah disebut- sebut sebagai ''istana-nya Edwin'' itu tampak sepi. Ternyata semua pintu istana seluas satu hektare itu terkunci. Para nasabah hanya bisa menggerutu, gregetan bercampur kagum menyaksikan kemewahan rumah Edwin. Entah bagaimana mulanya, mereka sempat perang mulut dengan petugas keamanan. Ketua Tim Perwakilan Nasabah, Bambang Tresno, lalu meminta pengertian petugas. ''Kami ini tamu yang menunggu tuan rumah pulang. Kami cuma ingin menagih utang,'' begitulah alasan nasabah. Petugas akhirnya maklum. Para nasabah pun dibiarkan berkeliaran di halaman rumah Edwin. Ada yang bergerombol di pendopo, main gaple. Beberapa yang lain menceburkan diri ke kolam renang. Sebagian bahkan sempat main tenis dengan para petugas. Sementara itu, pembantu rumah sibuk menghidangkan kopi dan teh. Sampai tujuh jam mereka menguasai kediaman Edwin, yang dinanti tak kunjung muncul. Pukul 21.10, juga setelah main coret-coret, seperti dilaporkan Robby Darmawan Lubis dari TEMPO, akhirnya mereka meninggalkan tempat itu. Tapi nasabah akan mengulangi aksi itu pada hari Selasa pekan ini. Mereka juga akan menjadikan rumah Edwin sebagai markas nasabah Bank Summa se- Indonesia. Penyerbuan itu, kata Bambang Tresno, terpaksa dilakukan karena janji-janji William semakin sulit dipegang. Semula William bersedia menghadiri pertemuan dengan para nasabah di bekas kantor pusat Bank Summa di gedung Landmark. Acaranya, Sabtu pukul 12.00, tak lain adalah untuk membereskan dengan tuntas urusan uang nasabah. Ternyata William ingkar janji. Sampai awal April lalu, empat bulan setelah Bank Summa dilikuidasi, 50% uang nasabah di atas Rp 10 juta memang sudah dibayarkan. Waktu itu, melalui Tim Likuidasi Bank Summa (TLBS), uang yang terbayarkan berjumlah Rp 401,3 miliar. Dengan begitu, dari total uang 7.713 orang nasabah besar sebesar Rp 778 miliar, yang belum dibayar adalah Rp 376,7 miliar. Kekurangan ini, menurut William seperti diungkapkan oleh Bambang akan diselesaikan pada akhir April. Ternyata itu janji palsu belaka. Tak mengherankan bila para nasabah naik pitam. Hal lain yang membuat kesal nasabah adalah cara kerja TLBS. ''Tidak transparan,'' cetus Bambang mengacu ke soal penjualan aset Summa Group maupun piutang (aktiva) Bank Summa, yang selama ini menjadi tumpuan harapan nasabah. Wisaksono Noeradi, dari sub tim komunikasi TLBS, mengakui bahwa sebagai anggota TLBS ia dan teman-temannya sewaktu-waktu bisa saja dijadikan sasaran ketidakpuasan para nasabah. ''Tapi bukannya kami tidak bekerja. Masalahnya, uang untuk dibagikan kepada nasabah memang belum ada,'' ujarnya prihatin. Ia pun mengulangi hal-hal yang menghambat pencairan aset Summa Group. Pertama, aset belum bisa dijual karena cacat secara hukum. Kedua, harganya belum cocok, sedangkan ketiga, ini adalah proses likuidasi bank yang pertama di Indonesia sehingga tidak ada kasus yang bisa dijadikan acuannya. Terlepas dari ketiga hal tersebut, TLBS kini mempersiapkan dana untuk membayar bunga bagi para nasabah besar. Tak jelas dari mana dananya, yang pasti tentu bukan dari penjualan aset milik William pribadi. Harta William yang masih banyak terhampar di berbagai tempat memang sebegitu jauh telah memacu kemarahan nasabah. Sulit bagi mereka untuk menerima, bagaimana William tetap bisa mengembangkan bisnisnya sementara taipan itu tidak melunasi sisa utang Bank Summa kepada nasabah, yang nilainya cuma tiga ratusan miliar rupiah. Happy Sulistyadi dan Ivan Haris
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini