Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Juniarti Tanjung, pasien kanker payudara HER2 positif yang sangat tergantung akan obat Trastuzumab untuk mengobati penyakitnya sangat terpukul. Pasalnya, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) per 1 April 2018 memutuskan tak lagi menjamin obat itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Obat itu memang mahal, harganya di pasaran Rp 25 juta. Sementara seorang penderita kanker HER2 positif minimal harus menjalani delapan sesi dari 16 sesi pengobatan dengan Trastuzumab," ujar suami Juniarti, Edy Haryadi daam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Rabu, 18 Juli 2018.
Edy mengatakan cerita itu bermula saat istrinya yang bekerja sebagai pengacara diketahui mengalami pembengkakan di leher atau di kelenjar getah bening sebelah kanan pada Desember 2017. Dengan berbekal kartu BPJS Kesehatan yang diberikan kantornya, Edy lalu memeriksakan istrinya ke puskesmas terdekat dari domisilinya, yaitu di Duren Sawit, Jakarta Timur.
Sang istri yang berusia 46 tahun itu lalu dirujuk ke ke bagian spesialis penyakit dalam Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Budhi Asih, Jakarta Timur. Setelah menjalani pemeriksaan, dokter curiga benjolan itu kanker. Juniarti lalu dirujuk ke Rumah Sakit Persahabatan, Rawamangun, Jakarta Timur, lantaran tidak ada dokter spesialis kanker atau onkologi di rumah sakit sebelumnya.
Di RS Persahabatan, dokter melakukan biopsi terhadap Juniarti. Hasilnya, dokter menyatakan bekas wartawati itu mengidap penyakit kanker yang sudah menyebar. Diduga, sumber utamanya berasal dari payudara.
Untuk memastikan, dokter lalu mengirim hasil tersebut ke bagian laboratorium patologi anatomi Rumah Sakit Persahabatan untuk diperiksa lebih teliti dengan pemeriksaan Imuno Histo Kimia atau IHK. "Istri saya dinyatakan penderita kanker payudara HER2 positif yang sudah mengalami metastasis atau penyebaran. Hasil IHK itu keluar 10 Mei 2018," kata Edy.
Setelah operasi pengangkatan payudara sebelah kanan, hasil laboratorium menunjukkan di payudara Juniarti ada tumor ganas. Ia positif menderita kanker payudara HER2 positif, metastasis, dan berada di stadium 3B.
ilustrasi kanker (pixabay.com)
Usai operasi, Juniarti disarankan menjalani kemoterapi. Pada 24 Juni 2018, dokter pun meresepkan tiga obat kemoterapi dan satu obat yang tergolong terapi target untuk pengobatan kanker payudara HER2 positif, yaitu Herceptin atau nama lainnya Trastuzumab.
Perkara muncul kala apoteker Rumah Sakit Persahabatan menolak resep Juniarti untuk obat tersebut. Alasannya karena sejak 1 April 2018 obat Trastuzumab dihentikan penjaminannya oleh BPJS Kesehatan. "Belakangan kami baru tahu penjaminan itu dihentikan BPJS atas dasar pertimbangan Dewan Pertimbangan Klinis BPJS yang menganggap obat itu tidak bermanfaat secara medis," ujar Edy.
Padahal, menurut Edy, Trastuzumab adalah obat yang aman, bermutu dan berkhasiat yang perlu dijamin aksesbilitasnya dalam rangka pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional, merujuk kepada Keputusan Menteri Kesehatan RI tentang Formularium Nasional 2018 yang ditetapkan pada 28 Desember 2017. "Di halaman 66 pada poin 43 keputusan itu menyebutkan secara tegas bahwa Trastuzumab diberikan pada pasien kanker payudara metastatik dengan HER 2 positif dan wajib dijamin ketersediaan obatnya oleh BPJS Kesehatan."
Atas perkara itu, Edy sempat menemui Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan, R. Maya Amiarny Rusady dan Ketua Dewan Pertimbangan Klinis BPJS Kesehatan, Prof Agus Poerwadianto, Selasa petang, 3 Juli 2018, di kantor pusat BPJS Kesehatan, Jakarta. Namun, ia masih belum mendapat alasan yang tegas ihwal pencabutan jaminan itu. "Masih samar dan mengambang."
Usai pertemuan itu, Kepala Humas BPJS Kesehatan Nopi Hidayat pun menghubungi Edy dan memintanya menulis kronologi penyakit Juniarti, serta beberapa informasi tambahan untuk BPJS Kesehatan. Merasa mendapat angin segar, Edy membalas pesan tersebut dan tetap berharap agar BPJS menjamin obat Trastuzumab. "Saya memberi waktu hingga istri saya menjalani kemoterapi pertama pada tanggal 10 Juli 2018 di RS Persahabatan Jakarta Timur," ujar Edy.
Harapan tinggal harapan, Juniarti menjalani kemoterapi pertama tanpa obat Trastuzumab. Saat itu, Edy ditelepon kembali oleh pihak BPJS Kesehatan yang mengatakan bahwa kasus Juniarti tengah diproses.
Edy lalu mendapat penjelasan bahwa direksi BPJS percaya masih ada 22 obat kanker di luar Trastuzumab. "Tapi BPJS tidak pernah menyebutkan obat apa di luar Trastuzumab yang telah terbukti secara ilmiah, medis dan empiris memperpanjang usia penderita kanker payudara HER2 positif."
Dihubungi terpisah, Humas BPJS Kesehatan Nopi Hidayat mengatakan tak dijaminnya obat Trastuzumab sudah sesuai dengan Keputusan Dewan Pertimbangan Klinis. "Keputusan itu menyatakan obat tersebut tidak memiliki dasar indikasi medis untuk digunakan bagi pasien kanker payudara metastatik walaupun dengan restriksi," kata dia.