Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Asosiasi pengusaha menerima banyak pertanyaan tentang aturan pengupahan terbaru.
Rapat Dewan Pengupahan dan LKS tripartit belum membuahkan hasil.
Ketidakpastian aturan upah minimum provinsi bisa menghambat investasi.
DALAM sebulan terakhir, Komite Pengupahan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menerima banyak surat berisi pertanyaan tentang upah minimum provinsi 2025. Pertanyaan itu berasal dari Dewan Pengurus Apindo, perusahaan anggota Apindo, juga para investor. “Lebih dari sepuluh pertanyaan masuk, mereka bertanya ini gimana itu gimana, pusing,” kata Ketua Komite Pengupahan Apindo Subchan Gatot kepada Tempo pada Senin, 25 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertanyaan berdatangan sejak Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji materi atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja pada Kamis, 31 Oktober 2024. Dalam putusannya, Mahkamah meminta pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat membuat Undang-Undang Ketenagakerjaan yang baru yang terpisah dari Undang-Undang Cipta Kerja. Hal itu berdampak pada aturan pengupahan yang harus ditetapkan sebelum akhir tahun ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DPR, pemerintah, dan perwakilan buruh menyepakati Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan tidak berlaku lagi setelah putusan Mahkamah Konstitusi terbit. Kondisi ini, menurut Subchan, menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan pengusaha, termasuk anggota Apindo. Sebab, perubahan kebijakan pengupahan bisa berdampak pada rencana kerja perusahaan, termasuk rencana investasi calon investor. “Mereka wait and see dulu," ujar Subchan, yang juga menjabat anggota Dewan Pengawas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.
Sejumlah rapat Lembaga Kerja Sama Tripartit (LKS) Tripartit Nasional maupun Dewan Pengupahan Nasional mengenai upah minimum 2025 belum membuahkan hasil. Meski sepakat menggunakan formula penghitungan yang sama dengan PP Nomor 51 Tahun 2023, para pemangku kepentingan belum menyepakati satu hal: nilai indeks alfa. Pemerintah, pengusaha, dan buruh memiliki hitungan berbeda soal variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota ini.
Dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 Tahun 2022 dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023, indeks alfa dibatasi pada rentang 0,1-0,3. Putusan Mahkamah Konstitusi kini membuka peluang bagi buruh untuk mengusulkan nilai alfa lebih besar dari rentang tersebut. Jika pemerintah akhirnya menetapkan indeks alfa berbeda dengan rentang nilai dalam aturan-aturan sebelumnya, formula ini menjadi rumusan keempat penghitungan upah minimum dalam empat tahun terakhir.
Sejak Undang-Undang Cipta Kerja berlaku pada akhir 2020, pemerintah terus mengutak-atik formula penghitungan upah minimum. Awalnya ketentuan pengupahan termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021, yang memuat rumusan menghitung batas atas dan batas bawah upah minimum. Penghitungan upah minimum menggunakan data rata-rata konsumsi per kapita, banyaknya anggota rumah tangga, dan rata-rata jumlah anggota rumah tangga yang bekerja pada setiap rumah tangga. Upah minimum juga hanya menggunakan satu dari dua variabel penentu: inflasi atau pertumbuhan ekonomi.
Dengan formula PP Nomor 36 Tahun 2021, Kementerian Ketenagakerjaan mengumumkan simulasi nilai rata-rata nasional kenaikan upah minimum provinsi 2022 sebesar 1,09 persen pada 16 November 2021. Angka itu diprotes pekerja yang menganggapnya terlalu rendah. Pada Senin, 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Karena itu, untuk menetapkan upah minimum 2023, Menteri Ketenagakerjaan menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 18 Tahun 2022, yang menetapkan formula kenaikan upah berdasarkan inflasi ditambah hasil pengalian indeks alfa dengan pertumbuhan ekonomi.
Menteri Ketenagakerjaan kala itu, Ida Fauziyah, mengatakan formula tersebut menjadi jalan tengah bagi pengusaha dan buruh. Dengan rumusan tersebut, rata-rata kenaikan upah minimum provinsi 2023 mencapai 7,5 persen. Kendati demikian, aturan ini tetap menuai protes dari buruh.
Subchan mengatakan tarik-menarik penetapan upah minimum sudah terjadi lebih dari satu dekade. Pada periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, pemerintah menerbitkan PP Nomor 78 Tahun 2015 yang mengatur kenaikan upah minimum setiap tahun dihitung dari penjumlahan angka pertumbuhan ekonomi dengan laju inflasi di setiap daerah, sesuai dengan data Badan Pusat Statistik (BPS). Formula itu juga dipersoalkan buruh karena mengabaikan survei harga bahan kebutuhan pokok yang menjadi patokan kebutuhan hidup layak.
Menurut Subchan, sebelum PP Nomor 78 Tahun 2015 berlaku, survei kebutuhan hidup layak menjadi acuan dalam penentuan upah minimum. Pada periode itu, semua pemangku kepentingan pengupahan menggelar survei untuk mengklaim besaran kenaikan upah yang diusulkan. “Pada saat itu kenaikan upah cukup tinggi, ada yang 30 persen, ada yang 50 persen,” ucapnya.
Tapi Subchan mengingatkan, apabila upah minimum terlalu tinggi, tidak semua perusahaan bisa memenuhinya. Tak sedikit perusahaan yang akhirnya memindahkan pabriknya dari wilayah dengan upah minimum tinggi ke upah minimum yang lebih rendah. Di sisi lain, dia mendorong pemerintah agar memastikan struktur skala upah berjalan di setiap perusahaan. Sebab, bagi pengusaha, upah minimum semestinya dimaknai sebagai upah bagi para pekerja baru hingga pekerja dengan pengalaman kerja satu tahun. “Tapi, kalau upah minimumnya sudah tinggi, bagaimana untuk yang di atasnya?” katanya.
Gonta-ganti aturan, Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia Unang Sunarno mengungkapkan, menunjukkan adanya masalah besar dalam sistem pengupahan di Indonesia. Ia mengatakan dewan pengupahan kota, kabupaten, provinsi, dan nasional tidak bisa bekerja maksimal lantaran survei kebutuhan hidup layak dengan mudah dieliminasi dengan kebijakan pemerintah pusat. “Dengan mengacu ke data BPS soal inflasi dan pertumbuhan ekonomi,” tuturnya.
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia Elly Rosita Silaban mengatakan perubahan formula pengupahan dalam 10 tahun terakhir sangat merugikan buruh. Alih-alih naik, upah riil pekerja cenderung turun setiap tahun. Musababnya, kenaikan upah minimum yang sebesar 1-3 persen tidak mampu mengimbangi kenaikan harga bahan kebutuhan hidup sehari-hari. Meskipun begitu, ia melihat hadirnya formula pengupahan memang memberikan kepastian bagi pengusaha untuk bisa membuat rencana kerja perusahaan.
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Elly Rosita Silaban saat ditemui TEMPO di kantor KSBSI, Jakarta, Senin, 27 April 2020. TEMPO/M Taufan Rengganis
Karena itu, bagi Elly, pekerjaan rumah terpenting bagi pemerintah adalah menciptakan formula upah minimum yang terjangkau oleh pengusaha tapi memenuhi kebutuhan hidup layak pekerja. Untuk itu, ia mengusulkan indeks alfa dimasukkan bukan sebagai pengurang kenaikan upah, melainkan penambah. Dengan begitu, formula upah adalah inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi, kemudian ditambah lagi dengan indeks tertentu. “Ini untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup layak yang disebut dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi.”
Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies Media Wahyudi Askar mengatakan sengkarut perkara pengupahan ini mesti segera diselesaikan agar tidak berbuntut panjang pada perekonomian. Dalam situasi saat ini, ia melihat pekerja dan pengusaha sama-sama dirugikan lantaran utak-atik kebijakan saban tahun pasti menimbulkan ketidakpastian. Ujung-ujungnya, situasi ini juga bisa melahirkan potensi konflik ketenagakerjaan, inefisiensi perusahaan, penurunan daya saing usaha karena ketidakpastian ekonomi, dan dampak lain. “Pengusaha dan buruh sama-sama rugi.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Silih Berganti Aturan Gaji"