Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Alasan Industri Tekstil Sulit Memenuhi Upah Minimum Buruh

Industri tekstil meminta kebijakan khusus pengupahan. Khawatir tak bisa membayar upah minimum di tengah lesunya permintaan. 

1 Desember 2024 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Industri tekstil khawatir terhadap ketentuan baru upah minimum provinsi yang sedang dibahas bersama buruh.

  • Kenaikan upah minimum akan makin mengancam industri tekstil yang sedang sakit.

  • Banyak pabrik tekstil tumbang akibat susah bersaing dengan barang impor.

PEMILIHAN kepala daerah serentak di seluruh Indonesia pada 27 November 2024 memberikan berkah bagi para pekerja industri tekstil rumahan. Setidaknya itu yang dirasakan Nandi Herdiaman dan kawan-kawannya dalam dua bulan terakhir. Order pembuatan kaus, spanduk, bendera, dan beragam atribut mengalir deras saat berlangsung hajatan pemilihan kepala daerah serentak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski nilainya tidak sebesar pada masa kampanye pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden pada Februari 2024, menurut Nandi, order kali ini lumayan membantu pelaku industri tekstil. “Pesanan naik 30 persen,” kata Ketua Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya itu kepada Tempo, Kamis, 28 November 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nandi mengatakan mesin jahit yang sebelumnya menganggur akhirnya beroperasi kembali. Kapasitas produksi meningkat menjadi 60 persen. Pelaku industri konfeksi rumahan pun bersiap menyambut momen selanjutnya, yaitu Ramadan dan Idul Fitri yang jatuh pada Februari-Maret 2025. Biasanya kesibukan sudah terasa sekitar tiga bulan sebelumnya. Momen ini yang paling ditunggu para pembuat pakaian jadi atau garmen karena merupakan periode panen besar. 

Namun harapan itu terancam seiring dengan berembusnya kabar tentang revisi upah minimum provinsi. Pengusaha tekstil, dari yang berskala kecil hingga produsen besar, resah lantaran ada ketidakpastian aturan sekaligus terancam kewajiban menaikkan upah dengan persentase tinggi.

Nandi mengatakan ongkos tenaga kerja punya andil 30 persen dalam total biaya operasional. Dalam situasi ekonomi yang lesu, dia tak menampik pendapat bahwa kebutuhan mendongkrak daya beli pekerja melalui kenaikan upah yang layak sangat penting. Namun, dia menambahkan, pemerintah juga harus memastikan kebijakan ini tidak membebani pengusaha kecil. 

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Jemmy Kartiwa mengatakan kondisi sektor tekstil dan produk tekstil sangat tidak baik saat ini. Perusahaan yang berlokasi di Jawa Tengah, daerah dengan ketentuan upah minimum kota terendah, sekalipun terpaksa menjalankan pemutusan hubungan kerja karena bisnisnya lesu.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Jemmy Kartiwa saat bertemu dengan Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan di Kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta. kemendag.go.id

Masalahnya bukan hanya biaya produksi. Menurut Jemmy, pabrik tekstil nasional harus bersaing dengan produk impor baik yang legal maupun ilegal yang harganya lebih murah. Ditambah rencana pemerintah menaikkan pajak pertambahan nilai menjadi 12 persen per 1 Januari 2025 yang bisa makin melemahkan daya saing tekstil nasional. Dengan berbagai tantangan tersebut, Jemmy memproyeksikan harga produk dalam negeri akan makin susah bersaing dengan produk impor. “Sekarang saja industri tekstil dan produk tekstil terkontraksi,” tuturnya.

Menteri Ketenagakerjaan Yassierli telah menyampaikan hasil pembahasan mengenai upah minimum kepada Presiden Prabowo Subianto, Senin, 25 November 2024. Hingga Jumat, 29 November 2024, belum ada keputusan mengenai upah minimum provinsi 2025. Pemerintah menargetkan pembahasan formula upah minimum rampung paling lambat pada awal Desember 2024. Yassierli mengatakan pemerintah menerima aspirasi semua pihak, termasuk pengusaha dan pekerja. “Ya mencari titik temunya itu,” ujarnya seraya menekankan bahwa pemerintah memperhatikan kondisi saat ini. “Kondisi ekonomi dan segalanyalah.”

•••

UPAH minimum bak pedang bermata dua. Di satu sisi, kenaikan upah diperlukan untuk menjamin kesejahteraan pekerja sekaligus mendongkrak daya beli yang berkontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Tapi, di sisi lain, kenaikan upah pekerja menjadi momok bagi pengusaha industri padat karya yang bisnisnya sedang lesu.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia Redma Gita Wirawasta pada dasarnya setuju bahwa kenaikan upah diperlukan untuk mengerek daya beli. Masalahnya, dia menambahkan, dengan kondisi industri yang loyo seperti saat ini, kebijakan pengupahan harus diatur dengan baik. Redma menjelaskan, sektor tekstil, produk tekstil, dan garmen sedang tersengal-sengal. Dengan struktur biaya saat ini, industri tekstil berusaha mati-matian tetap beroperasi dan tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Apabila upah pekerja naik signifikan, banyak perusahaan yang tak kuat. 

Sejumlah pemain besar industri tekstil pun tumbang. PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang pada 21 Oktober 2024. Dua perusahaan lain, berdasarkan catatan Pengadilan Niaga Jakarta, sedang dalam proses penundaan kewajiban pembayaran utang, yakni PT Pan Brothers Tbk (PBRX) dan PT Sejahtera Bintang Abadi Textile Tbk (SBAT) Tbk. 

Akhir Oktober 2024, PT Asia Pacific Fibers Tbk (POLY) mengumumkan penghentian sementara aktivitas pabrik kimia dan seratnya di Karawang, Jawa Barat, per 1 November 2024. Sekretaris Korporat Asia Pacific Fibers Tunaryo mengatakan perusahaannya masih menghadapi tren penurunan operasi hingga akhir triwulan ketiga. “Utilisasi diperkirakan kurang dari 40 persen,” katanya dalam keterbukaan informasi kepada Bursa Efek Indonesia pada Kamis, 31 Oktober 2024. Menurut Tunaryo, faktor eksternal berupa kelebihan kapasitas industri tekstil global menjadi penyebab lesunya permintaan.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) Ristadi mengatakan penutupan pabrik Asia Pacific Fibers di Karawang berdampak pada 2.500 pekerja. KSPN mencatat sebanyak 15.140 pegawai industri tekstil terkena PHK dalam setahun terakhir. Ristadi memperkirakan angkanya bisa lebih besar karena banyak perusahaan yang tidak mau terbuka mengenai PHK yang mereka lakukan. “Ada yang takut ketahuan bank karena sedang meminta pinjaman modal kerja, ada pula yang khawatir diketahui pembeli,” ucapnya.

Ristadi mengusulkan, dalam penetapan upah minimum, pemerintah mempertimbangkan kesenjangan antardaerah yang setiap tahun makin timpang. Dia memberi contoh Kabupaten Karawang yang angka kenaikan upahnya tinggi. Pada 2024, upah minimum di sentra industri otomotif ini mencapai Rp 5.257.834. Di sisi lain, upah minimum beberapa daerah di Jawa Tengah jauh di bawahnya, seperti Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonogiri yang masing-masing Rp 2.038.005 dan Rp 2.047.500. “Ini tidak adil dan tidak sehat,” tuturnya pada Rabu, 27 November 2024. 

Ristadi menilai kesenjangan yang terlalu lebar itu sebagai bentuk ketidakadilan. Sebab, pekerja dengan keterampilan atau kompetensi dan jam kerja yang sama bisa mendapatkan upah yang berbeda jauh. Menurut dia, argumentasi bahwa biaya kebutuhan hidup di Karawang jauh lebih tinggi ketimbang di daerah lain seperti Yogyakarta dan Surakarta, Jawa Tengah, perlu dievaluasi kembali. “Apakah perbedaan kebutuhan hidupnya sampai dua setengah kali lipat?” 

Persoalannya, Ristadi menambahkan, sulit mengukur kemampuan perusahaan membayar upah. Sebab, banyak perusahaan tidak terbuka mengenai kondisi keuangannya. Karena itu, pekerja tidak tahu dan menuntut kenaikan upah yang besar. Tapi sebenarnya, menurut dia, persoalan industri tekstil adalah banjir produk impor ilegal dan barang dari luar negeri yang harganya sangat murah. Jika kondisi ini tak diatasi, Ristadi yakin, dengan upah minimum serendah apa pun, industri tekstil akan tetap terpuruk.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Daniel Ahmad Fajri berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak artikel ini terbit di bawah judul "Sesak Napas Pabrik Tekstil"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus