SEJAK BUMN dirangsang untuk efisien dalam arti lebih menekankan orientasi laba, fungsi mereka sebagai agen pembangunan menipis. Namun, hal itu mungkin bisa diimbangi oleh prakarsa yang dilancarkan 16 BUMN -- semuanya kebetulan langsung di bawah naungan Departemen Keuangan. Mereka adalah: Taspen, Danareksa, Asuransi Jasa Rahardja, Asuransi Kredit Indonesia, Asuransi Ekspor Indonesia, Asuransi Jiwasraya, Rajawali Nusantara Indonesia, Peruri, Reasuransi Umum Indonesia, Jasa Raharja, Pembangunan Perumahan, Pengusahaan Daerah Industri Pulau Batam, Jakarta Industrial Estate Pulogadung, Perum Pengembangan Keuangan dan Koperasi, Perum Husada Bhakti, dan Perum Pegadaian. Keenam belas BUMN itu telah menghimpun dana Rp 1,2 milyar, yang akan disalurkan sebagai kredit kepada petani kecil. Bunganya sangat murah: 6% per tahun dan pertama kali akan diberikan kepada petani di Pati, Jawa Tengah. Dengan model usaha intiplasma, petani menjadi plasma sedangkan perusahaan inti adalah Yayasan Bina Pembangunan (YBP). YBP, dibantu LP3ES dan Oisca (sebuah lembaga swadaya masyarakat dari Jepang), akan membina para petani untuk membudidayakan komoditi ekspor seperti melon, kobuscha, kapri Jepang, paprika, dan cabe Taiwan. Selain itu, petani diajari membuat perhitungan bisnis dan usulan proyek. Mereka yang lulus akan diberi kredit, sesuai dengan luas lahannya -- maksimal Rp 18 juta per ha. Membina petani ternyata tidak sulit, yang penting hasil mereka bisa dipasarkan. Soalnya, kalau pemasaran gagal, kredit untuk petani pasti macet. Tapi Menteri Keuangan J.B. Sumarlin menegaskan, "Proyek ini mesti berhasil. Kalau gagal, yang malu bukan cuma pemerintah pusat, tapi juga pemerintah daerah dan para pembinanya." Sumarlin meninjau proyek di Gunungwungkal itu, pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini