Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dari Jakarta Membidik Dubai

Desainer muda bermunculan. Mereka menekuni bisnis pakaian muslim. Mengejar mimpi menjadikan Indonesia pusat fashion muslim dunia.

21 Juli 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LANNY Bambang memilih baju muslim yang digantung berderet di butik Dian Pelangi, Kemang, Jakarta Selatan, Kamis tiga pekan lalu. Istri mantan Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Timur Bambang Widaryatmo itu lantas menempelkan sebuah gamis ke badannya.

Perempuan paruh baya ini akhirnya membeli beberapa gamis dan kemeja dari butik pakaian muslim papan atas tersebut. "Sembilan juta enam ratus ribu," kata petugas bagian kasir menyebutkan rupiah yang harus dibayarkan Lanny.

Siang itu, ruang pamer Dian Pelangi sedang ramai. Belasan pelanggan menyerbu koleksi busana muslim yang dipajang. Menjelang Lebaran, ­pengunjung biasanya meningkat sampai lima kali lipat. Lanny menyukai Dian Pelangi karena produknya beragam. "One stop shopping," kata pelanggan Dian Pelangi sejak 1995 itu.

Nama Dian Pelangi kian tersohor sebagai produsen pakaian muslim. Pemiliknya, Dian Wahyu Utami, berkali-kali diundang mengikuti peragaan busana di mancanegara. Pada Januari 2014, misalnya, dia tampil dalam Haute Arabia High Tea 2014 di London, Inggris.

Tiga bulan kemudian, London College of ­Fashion, University of the Arts London, memintanya menjadi pembicara diskusi bertema "Faith and Fashion". Sebelumnya, beragam gamis rancangan Dian sempat menjelajah ke Australia, Uni Emirat Arab, Jerman, Hungaria, dan Republik Cek.

Perancang busana muslim lain yang juga sedang naik daun di antaranya Jenahara, Ria Miranda, dan Nur Zahra. Jenahara, misalnya, meramaikan Bangkok International Fashion Fair dan Bangkok International Leather Fair 2014, juga Hong Kong Fashion Week 2012. Sedangkan Nur Zahra tampil di Tokyo Fashion Week pada Maret lalu. Pendatang baru bermunculan, baik pemain yang membidik segmen menengah atas maupun menengah bawah.

Industri fashion Tanah Air memang sedang bergairah. Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sapta Nirwandar yakin ceruk bisnis ini masih menganga lebar. Sayang, dia tidak memiliki data statistik yang pasti mengenai jumlah uang yang berputar di sektor ini.

Tapi Sapta mencoba memberi gambaran hitungan secara garis besar. Dari jumlah penduduk dunia saat ini sekitar 6,4 miliar, jika seperempatnya muslim, berarti ada 1,6 miliar muslim yang memerlukan pakaian. Konsumsi tekstil penduduk dunia pada 2013 senilai US$ 711 miliar, berarti penggunaan tekstil warga muslim US$ 177 miliar.

Nah, dari 1,6 miliar penduduk muslim, diasumsikan separuhnya adalah perempuan. Berarti di dunia ini ada 800 juta muslimah. Bila seperempatnya saja berkerudung, ada 200 juta hijaber. "Satu orang pasti mempunyai lebih dari satu kerudung," kata Sapta.

Di Indonesia, Sapta menambahkan, populasi muslim 85 persen dari total penduduk atau sekitar 200 juta. Jumlah itu setara dengan seperdelapan penduduk muslim dunia. Bila penggunaan tekstil warga muslim dunia US$ 177 miliar, berarti konsumsi tekstil muslim Tanah Air US$ 22,125 miliar atau setara dengan Rp 259 triliun per tahun. "Itu termasuk busana muslim pria."

Institusi resmi, seperti Bea dan Cukai, dan asosiasi perancang busana juga belum memiliki rekap detail angka penjualan busana muslim nasional. Padahal sejumlah desainer muda terang-terangan mengaku punya lapak di luar negeri.

Sapta memberi contoh pasar Tanah Abang dan Thamrin City, yang dibanjiri pembeli berwajah Timur Tengah. Di pusat grosir terbesar se-Asia Tenggara itu, mereka memborong berkarung-karung baju muslim untuk dijual di kampung halamannya.

Sedikit "petunjuk" berasal dari Badan Pusat Statistik. Berdasarkan catatan badan ini, pada 2013 sebanyak 15-25 persen dari ekspor produk tekstil Indonesia adalah pakaian muslim. Ekspor pakaian jadi Indonesia tahun lalu US$ 3,9 miliar, dengan tren pertumbuhan lima tahun terakhir 4,9 persen.

Dian Pelangi termasuk salah satu rumah produksi yang ekspansif. Sejak terjadi peralihan tongkat kepemimpinan perusahaan keluarga pada 2008, jumlah cabangnya berkembang dari 5 menjadi 14. Satu di antaranya di Kuala Lumpur, Malaysia. Ada juga reseller di Qatar dan Turki. Jenahara memiliki stockist di Singapura dan Malaysia, dan tahun ini berencana merambah pasar Eropa.

n n n

BISNIS busana Dian Pelangi dirintis pada 1991 oleh Hernani, ibu Dian. Ibu rumah tangga ini berdagang kain tenun dan songket di Palembang, dari rumah ke rumah. Pada 1998, bisnis Djamaloedin—ayah Dian—di bidang konstruksi terkena krisis. Ia pun banting setir ke bisnis kain.

Djamaloedin menjaminkan tanah 1.500 meter persegi di Palembang ke Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) untuk memperoleh kredit Rp 15 juta. Setelah modal bertambah, Djamaloedin mulai membikin tenun ikat sendiri, dengan 10 karyawan saat itu.

Sebagai putra Pekalongan, Djamaloedin akrab dengan batik. "Walaupun kontraktor, saya ngerti bagaimana membikin kain yang tidak luntur." Dulu, kata dia, di kalangan penggemar batik ada ujaran "luntur tidak ditanggung". Sindiran itu menginspirasi bapak empat anak ini untuk membuat tenun ikat sendiri.

Frasa itu pun dibalik: "ditanggung tidak luntur". Sejak itu, kain buatan Djamaloedin laris manis. "Sampai Pak Gubernur pun pesan," kata Djamaloedin saat ditemui Tempo di kediamannya di Kemang, Jakarta Selatan, 11 Juli lalu.

Usaha itu diberi nama Dian Pelangi. Dian, anak kedua dari empat bersaudara, dikader sejak kecil untuk meneruskan bisnis ini. Pada 2004, Dian "dimasukkan" ke SMK jurusan tata boga di Pekalongan. Karena itulah Djamaloedin memboyong rumah produksi, termasuk peralatan dan karyawan, ke Pekalongan.

Setelah lulus, Dian meneruskan studi ke sekolah mode ternama di Jakarta, Esmod. Sedangkan nama "Pelangi" diambil dari kain jumputan yang menjadi salah satu produk andalan Djamaloedin, yakni kerudung. Di Palembang, kain khas warna-warni ini disebut pelangi.

Lulus dari Esmod, 2008, Dian resmi memegang tongkat estafet Dian Pelangi. Kakaknya, Dion, membantu di bidang fotografi. Adiknya, Dino, sedang belajar bisnis fashion. Dan si bungsu Dinda, kata Dian, menunjukkan ketertarikannya pada dunia makeup. "Lengkap. Fashion itu luas," ujar Dian kepada Tempo. Kini Dian dikenal sebagai perancang baju muslim dan hijab yang digemari anak muda.

Di tangan Dian, desain yang semula konservatif, seperti abaya dan gaun, dirombak. Ia memecah produk menjadi tujuh label. Ada label Dian Pelangi untuk kelas premium dan Gallery Dian Pelangi khusus baju ibu-ibu. Label DP by Dian menghasilkan produk massal untuk kelas menengah ke bawah. Label Dion Men untuk pakaian laki-laki, Dinda Pelangi khusus buat anak-anak, Dian Pelangi Bridal membuat pakaian pengantin, serta Dian Hajj menyediakan pakaian untuk ibadah haji dan umrah. "Dipisah biar pasar semakin luas. Semua bisa beli," kata Dian.

Bisnis pakaian muslim tak harus dibangun dengan modal besar. Jehan memproduksi label Jenahara pada 2011 berbekal Rp 10 juta saja. Bermula dari hobi membuat baju sendiri, ia lantas mengunggah foto baju bikinannya ke media sosial. "Ternyata banyak yang suka."

Putri artis 1980-an, Ida Royani, ini akhirnya serius menekuni bisnis tersebut. ­Jehan mendesain, membeli kain, lantas menjahitkan. "Waktu itu masih outsourcing." Kini Jehan memiliki konfeksi dengan 20 tenaga jahit lepas. Ia dibantu 10 karyawan dalam tim produksi dan pemasaran untuk memperoleh omzet sekitar Rp 300 juta per bulan. "Kalau Ramadan bisa naik dua kali lipat," ujarnya.

Ria Miranda, yang memulai bisnis pada 2009, juga memanfaatkan modal awal Rp 12 juta saja untuk membuat contoh dan memproduksi. Tapi, ketika membangun konfeksi, ia memerlukan Rp 500 juta untuk membeli peralatan dan ongkos tenaga kerja yang kini berjumlah 50 orang di Bintaro.

Senada, Windri Widiesta Dhari juga memanfaatkan modal Rp 15 juta ketika merintis bisnis busana muslim berlabel Nur Zahra pada akhir 2009. Dengan bujet itu, ia membeli mesin jahit Rp 3 juta dan berbelanja bahan. Dulu Windri adalah manajer penjualan produk merek Guess. Ia pernah menjadi General Manager Aero Wisata, anak perusahaan PT Garuda Indonesia. "Akhir 2008 aku berhenti, ngurus anak," katanya.

Windri sempat mempelajari shibori, teknik jumputan Jepang. Dari situ ia mengembangkan batik indigo yang menggunakan pewarna ramah lingkungan, yakni ­tanaman tarum (Indigofera tinctoria) yang berwarna kebiru-biruan. "Jadi tekniknya batik, tapi saya masukkan motif-motif geometri Islam."

Kreativitas desainer muda inilah yang membuat Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif percaya diri mempromosikan karya mereka ke mancanegara. "Perancang fashion muslim kita luar biasa. Mereka bermain dengan model, warna, tapi tetap menjaga syariah. Mereka diterima semua segmen, kelas menengah bahkan kelas atas," kata Sapta Nirwandar.

Hasilnya, ia menambahkan, sambutan yang luar biasa. "Pokoknya, apa yang mereka bawa laris semua. Pulang, bagasi kami kosong." Rencananya, Agustus nanti, Menteri Pariwisata Mari Elka Pangestu akan memimpin rombongan desainer untuk acara promo ke Cina.

Pemerintah menargetkan Indonesia sebagai kiblat fashion muslim pada 2020. "Peluang kita di situ. Kita tidak mungkin mengejar Paris atau Milan sebagai pusat mode yang sudah lama dan mapan," kata Sapta. Itu pula yang diincar Dian: pasar Timur Tengah, seperti Dubai. "Mereka yang punya uang. Beli juga enggak pakai nawar."

Retno Sulistyowati, Pingit Aria

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus