Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ceritanya bermula awal pekan lalu. Ketika itu, Menteri Keuangan Bambang Soebianto minta agar tunggakan BLBI dibayar tunai. Para pemilik bank diberi waktu lima tahun untuk melunasinya. Pernyataan ini bisa dibilang lebih lunak ketimbang aturan sebelumnya. Tempo hari ditetapkan, kalau tak punya duit, utang BLBI bisa juga dibayar dengan setoran harta, asal tak lewat tenggat 21 September lalu. Bagi yang mengabaikan, sanksinya tegas: akan dipidanakan.
Belum sempat publik bertanya mengapa pemerintah plintat-plintut, esoknya tiba-tiba muncul bantahan. Bantahan itu bukan dari Menteri Bambang, tapi dari Frans Seda, bekas Menteri Keuangan yang kini adalah penasihat ekonomi Presiden Habibie. Katanya, benar bahwa pemerintah ingin BLBI dibayar tunai, tapi jangka waktunya cuma setahun. Presiden bilang, kata Frans, lebih baik dapat 30 persen sekarang ketimbang 100 persen tapi lima tahun lagi.
Lo, mana yang benar? Publik makin bingung. Aturan kok bisa seperti prakiraan cuaca. Pagi dan sore berubah. Adakah yang mencoba main sembunyi-sembunyian? Menteri Bambang sendiri belum bisa dimintai penjelasan. Ketika Frans bicara, Bambang sudah terbang ke Washington untuk menghadiri sidang perekonomian dunia.
Tak bisa ditahan-tahan lagi, spekulasi pun merebak. Salah satunya, persis seperti kecurigaan bankir senior kita tadi. Di balik semua kesimpangsiuran ini, ada permainan apa?
Dana BLBI memang bukan main-main. Jumlahnya sudah mencapai Rp 140 triliun lebih. Duit BLBI ini mengucur sejak tahun lalu, ketika masyarakat ramai-ramai berebut mencairkan tabungan. Terjadilah rush. Akibatnya, sejumlah bank kehabisan duit. Sebagai bandar, sebagai lender of the last resort, BI menalangi bank-bank gelagapan itu dengan memberikan semacam kasbon.
Nah, kasbon itulah yang kini jatuh tempo. Setidaknya, ada 11 bank, milik beberapa pengusaha papan atas, yang mestinya membayarnya pada tenggat 21 September lalu. Tapi, sampai batas itu lewat, cuma tiga yang bisa meneken perjanjian awal pelunasan. Mereka adalah kelompok Salim (pemilik BCA), Sudwikatmono (Bank Surya), dan Syamsul Nursalim (BDNI).
Ketiga pengusaha itu menyetor sekitar Rp 1 triliun uang tunai plus sejumlah aset (termasuk 168 perusahaan) sebagai penebus utang BLBI. Aset-aset ini akan dikelola oleh sebuah perusahaan induk alias holding company di bawah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Pada saatnya kelak, kalau harga membaik, aset-aset ini akan dijual.
Bagaimana dengan pemilik delapan bank lainnya? Tak ada kabar. Menurut seorang sumber di BPPN, negosiasi pembayaran BLBI dengan mereka sangat alot. Kabarnya, ada ketidaksesuaian pendapat soal cara penilaian aset. Selain itu, Banyak aset yang cacat hukum. Beberapa harta yang berupa surat saham, tanah, dan properti, misalnya, sudah digadaikan atau diagunkan kepada kreditur lain.
Rupanya, dari sinilah gontok-gontokan itu dimulai. Menteri Bambang tampaknya tak mau repot dengan silang pendapat soal penilaian aset ini. Ia mau praktis saja, minta tunai. Dulu utang tunai, sekarang ya harus bayar kontan, kata seorang sumber TEMPO di lingkungan Departemen Keuangan. Toh, tenggat sudah dilanggar. Namun, para bankir kabarnya juga tak tinggal diam. Ada yang bilang, mereka malah sempat melobi Presiden Habibie, minta keringanan.
Sementara itu, di luaran ada saja yang mau mengail di air keruh. Tiba-tiba, muncul sejumlah surat kaleng, selebaran gelap, yang dikirim ke mana-mana. Isinya memojokkan cara kerja BPPN yang katanya tidak profesional. Mereka melampirkan bukti perbedaan penilaian aset yang dilakukan oleh BPPN dan sebuah lembaga penilai independen. Bedanya jauh. Situasi makin panas. Pertarungan tak hanya melibatkan BPPN dan bankir-bankir, tapi juga kelompok kepentingan yang lain.
Menurut sumber TEMPO, sedikitnya kini ada tiga kelompok yang punya hati dengan kasbon ratusan triliun itu. Kelompok pertama tetap menginginkan BLBI bisa dibayar dengan harta bukan tunai alias aset. Kata empunya cerita, kelompok ini sudah mengantongi janji akan ikut kebagian saham holding company yang sedang disiapkan BPPN itu. Rupanya, mereka sudah bersiap-siap memulung aset-aset sitaan itu.
Kelompok kedua ingin BLBI bisa dibayar tunai. Tapi harus cepat. Kalau terlalu lama, apalagi lima tahun, para peminjam bisa ngabur. Aset yang dijaminkan pun bisa lenyap. Jadi, duit luput, aset pun tak dapat. Apalagi, pemerintahan sekarang ini belum tentu bertahan terus sampai lima tahun lagi. Lha, kalau pemerintahan pasca-Habibie nanti punya kebijakan lain, bagaimana? tanya seorang pemain pasar uang.
Kelompok ketiga ingin agar ketentuan pengembalian BLBI itu dilonggarkan. Alasannya, bankir-bankir penunggak BLBI ini harus diberi napas. Tak mungkin kita menyelesaikan utang raksasa itu dengan tergesa-gesa. Menurut mereka, bobroknya bank bukan cuma kesalahan para bankir, tapi juga para pengutang (debitur) yang kini mengemplang. Mereka juga harus diminta bertanggung jawab, kata seorang bankir.
Kalau mau jujur, keinginan kelompok kedua mestinya lebih masuk akal. Pembayaran tunai akan membebaskan pemerintah dari banyak kerepotan, bukan cuma dalam hal perbedaan penilaian aset, tapi juga risiko cacat hukum dan penjualan. Maklumlah, ekonomi tengah terkena sembelit, tak mudah menjual barang--apalagi yang harganya triliunan rupiah. Mau menjual cepat, harganya anjlok. Sebaliknya, kalau ingin mencari harga baik, bisa memakan waktu bertahun-tahun.
Persoalan bakal makin ruwet jika ternyata aset yang disetor harus diurus terlalu lama. Bagaimana jika nanti ternyata aset itu defisit, perusahaan menderita rugi besar dan terancam bangkrut? Apakah pemerintah harus tombok modal untuk mempertahankan agar perusahaan sitaan tadi tetap hidup? Ini akan melahirkan satu dilema baru. Bukankah penyitaan aset bertujuan untuk mengambil kembali dana BLBI yang sudah ikut mengerek inflasi? Lalu, mengapa untuk itu harus menginjeksi BLBI tambahan lagi? Ringkasnya, pembayaran dengan aset amat berisiko.
Namun, pembayaran tunai juga bukan tanpa masalah, terutama soal jangka waktu itu tadi. Berapa lama mestinya para bankir ini diberi kesempatan?
Perdebatan soal ini bisa berlarut-larut. Apalagi, dalam perkembangannya kemudian, pelunasan BLBI ini sudah dipakai sebagai komoditi politik. Menurut seorang pengusaha, kini ada upaya-upaya keras untuk menyetarakan kekuatan perekonomian. Salah satu caranya, penunggak BLBI mesti dipepet. Jangan diberi peluang, kata pengusaha yang tergabung dalam sebuah asosiasi ini.
Karena itu, mereka mendesak pemerintah agar bertindak lebih keras terhadap para penerima kasbon BI. Memberi waktu lima tahun berarti, Memberi mereka peluang untuk merajai perekonomian Indonesia lagi. Sebaliknya, dengan meminta pengembalian tunai secepatnya, Para konglomerat bisa tertekan dan menjual asetnya dengan murah. Dan, yang lain bisa memulung dengan ongkos rendah.
Namun, benarkah suhu sudah sampai segerah ini? Wallahualam. Yang pasti, Soegeng Sarjadi, seorang pentolan pengusaha pribumi yang tergabung dalam Kelompok Delapan (Kodel) membantah keras gosip berbau rasial itu. Katanya, siapa pun yang berbisnis, tidak jadi soal. Kalau harus pribumi tapi tak becus, buat apa? katanya.
Senada dengan Soegeng, Chairul Tanjung, pengusaha muda yang namanya menanjak gara-gara konsep redistribusi aset, juga membantah. Katanya, seratus persen tak ada maksud dekonglomerasi, apalagi "decinaisasi", dalam soal pengembalian BLBI. Mereka itu jatuh sendiri karena banyak berutang dolar, kata preskom Bank Mega ini.
Kalau benar begitu, mestinya pemerintah tak perlu repot-repot. Tenggat pengembalian BLBI sudah lewat. Beberapa bankir telah memenuhinya dengan susah payah. Atas nama keadilan, mengapa tak memakai aturan yang sudah disepakati semula?
DSI, MC, ANY
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo