DALAM rangka penggalakan ekspor, jasa angkutan laut mendapat
sorotan pemerintah maupun pengusaha. Banyak masalah aktuil yang
saling beruntun: mulai dari sistim ultra-modern dalam angkutan
laut (LASH) yang mulai dipraktekkan di Jambi, peranan
kapal-kapal asing dalam merebut porsi angkutan laut di
Indonesia, peranan PT PANN (Pembangunan Armada Niaga Nasional)
yang dibentuk pemerintah untuk membantu pengusaha-pengusaha
nasional, soal saingan dok-dok asing dalam membangun dan merawat
kapal-kapal Indonesia, sampai pada soal monopoli asuransi
angkutan laut.
Tentu saja, dari sektor swasta yang paling banyak dibikin pusing
oleh masalah-masalah ini adalah ketua umum INSA (Indonesia
National Ship owner Association). Harun Rasidi, Bekas dirut PN
Pelni itu, dengan bersemangat menjawab pertanyaan wartawan TEMPO
Harun Musawa, seperti diungkapkan berikut ini:
Tanya: Operasi pelayaran lepas-pantai untuk melayani sektor
minyak, kabarnya masih banyak dikerjakan langsung oleh
perusahaan asing. Berapa besar keuntungan perusahaan-perusahaan
asing itu, yang mestinya jadi rezeki para anggota INSA?
Jawab: Kurang lebih 1/2 milyar dollar setahun. Lihat saja
contohnya. Perusahaan pelayaran Singapura, Asiatic, mulai
bekerja hanya dengan 2 kapal tua. Dalam tempo singkat, setelah
dicarter Pertamina, kini armada Asiatic punya 80 kapal tunda dan
200 tongkang.
T: Bagaimana bisa terjadi begitu?
J: Karena Pertamina mencarter diam-diam dengan harga tinggi.
Sekarang tidak bisa lagi, karena setiap pencarteran harus seizin
Ditjen Perla. Juga setiap pencarteran kapal luar negeri, harus
melalui perusahaan pelayaran nasional. Dengan begitu kita tahu,
berapa banyak perusahaan pelayaran asing yang beroperasi di
sini. Jangan seperti dulu: tahu-tahu lebih dari 200 kapal asing
beroperasi di laut kita tanpa diketahui pemerintah.
T: Ada anjuran supaya kapal-kapal Indonesia didok di dalam
negeri. Bagaimana pelaksanaannya?
J: Itu anjuran logis, agar dok-dok kita kebagian pekerjaan. Tapi
pelaksanaannya masih sulit. Soalnya, persaingan. Di Singapura
misalnya, walaupun kapal sudah naik dok, belum bicara soal uang.
Baru setelah pekerjaan selesai, mereka menagih biaya 25%.
Sisanya boleh diangsur dalam setahun. Lain dengan dok di sini.
Begitu naik dok saja sudah harus bayar uang muka 25%. Belum lagi
kesulitan onderdil. Di Singapura semua onderdil tersedia. Sedang
perusahaan dok kita masih harus impor. Itu berarti bayar pajak
dan penyelesaian bea-cukai yang rumit.
T: Apa alasannya bukan karena dok di luar negeri berani memberi
komisi?
J. Bicara terus terang perusahaan dok di sini pun memberi
komisi. Itu biasa.
T: PT PANN yang dibentuk pemerintah untuk membeli kapal dan
menjualnya dengan syarat-syarat ringan pada pengusaha nasional,
tampaknya tak begitu akrab di kalangan pengusaha pelayaran kita.
Malah ada yang beranggapan, PT PANN terlalu mahal menjual
kapalnya. Bagaimana tanggapan INSA?
J: Sulit menerangkannya. Tapi hubungan PT PANN dengan anggota
INSA memang terlalu jauh. Mestinya sebagai penjual PT PANN harus
mendekati pembelinya. Kalau tak bisa memberikan after sales
service, paling tidak pembeli ditanya kesulitan-kesulitannya
setelah membeli kapal karena hubungan jauh ada saja suara-suara
negatif yang tak perlu. Misalnya: untuk apa PT PANN berkantor di
Sky Building yang sewanya Rp 160 juta? Mewah.
T: INSA sendiri pernah membeli kapal pengangkut kayu untuk MPI
(Masyarakat Perkayuan Indonesia), yang dianggap terlalu mahal
untuk kapal bekas.
J: Soal kapal bekas, memang segitu kemampuan kita. Sebuah kapal
pengangkut kayu yang baru, dari Jepang harganya di atas 3 juta
dollar. Tapi yang bekas cuma sejuta dollar. Mahal atau murah,
itu sulit. Yang terang belum ada yang membuktikan, ada yang
lebih murah dari itu. Dan jangan lupa, kita sekarang sudah
pintar-pintar menghitung harga kapal. Tak bisa dicipoai lagi.
T: Sudah berapa persen ekspor kayu kita diangkut dengan kapal
Indonesia?
J: Saya tidak tahu angkanya. Tapi yang jelas, kita telah
memiliki banyak kapal pengangkut kayu. Dahulu kita tak punya
sama sekali. Tapi sekarang ada 23 kapal. Tahun lalu kita hanya
menyewa 27 kapal, tapi tahun ini kita sudah mampu menyewa 93.
Juga sebelumnya hanya 12 kapal yang disewa-beli, sekarang
meningkat menjadi 29. Tentunya ekspor kayu juga meningkat.
T: Benarkah INSA mewajibkan anggotanya mengasuransikan pelaut
dan pekerja daratnya pada PT Asuransi Buana yang dibentuk oleh
pengurus INSA, KADIN dan Serikat Buruh & Karyawan Maritim
Indonesia (SBKMI)?
J: Maunya memang begitu. Karena sekarang belum seragam: ada
perusahaan yang sudah mengasuransikan pekerjanya yang di darat,
ada juga yang belum. Kita tidak bermaksud menutup usaha asuransi
lain. Karena yang kita wajibkan hanya asuransi kecelakaan.
Kadang-kadang, memang terasa harus sedikit dipaksakan. Sebab
umumnya -- tidak termasuk awak kapal luar negeri -- perusahaan
enggan mengasuransikan karyawannya. Kita tunggu saja SK
pemerintah mengenai ini.
T: Angkutan laut dengan sistim LASH (kapal induk dengan
seperangkat dok apung & peti kemas untuk memuat barang ekspor di
perairan dangkal) sudah final. Bagaimana tanggapan INSA?
J: Itu baik . Kalau ekspor karet dapat tanpa melalui Singapura,
apa salahnya. Itu baru dari segi export drive-nya. Sistim ini
diharapkan tidak merugikan pelayaran nasional. Sebab ada
batasannya: hanya beroperasi di pelabuhan yang tak mungkin
diambil oleh kapal kita. Misalnya untuk mengangkut karel dari
Jambi. Asal jangan merambat-rambat ke daerah lain, yang menjadi
sumber kehidupan pelayaran kita sendiri (kapal LASH ini
kepunyaan perusahaan Amerika -- Red ). Yang mengeluh,
paling-paling Singapura -- ada urusan apa!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini