Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dari Pertamina Sampai Komisi

Peranan kapal dan dok asing, monopoli asuranfi angkutan laut, PT pann merupakan masalah aktual dalam penggalakan ekspor. Pertamina mencarter kapal asing tanpa diketahui pemerintah.(eb)

6 November 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM rangka penggalakan ekspor, jasa angkutan laut mendapat sorotan pemerintah maupun pengusaha. Banyak masalah aktuil yang saling beruntun: mulai dari sistim ultra-modern dalam angkutan laut (LASH) yang mulai dipraktekkan di Jambi, peranan kapal-kapal asing dalam merebut porsi angkutan laut di Indonesia, peranan PT PANN (Pembangunan Armada Niaga Nasional) yang dibentuk pemerintah untuk membantu pengusaha-pengusaha nasional, soal saingan dok-dok asing dalam membangun dan merawat kapal-kapal Indonesia, sampai pada soal monopoli asuransi angkutan laut. Tentu saja, dari sektor swasta yang paling banyak dibikin pusing oleh masalah-masalah ini adalah ketua umum INSA (Indonesia National Ship owner Association). Harun Rasidi, Bekas dirut PN Pelni itu, dengan bersemangat menjawab pertanyaan wartawan TEMPO Harun Musawa, seperti diungkapkan berikut ini: Tanya: Operasi pelayaran lepas-pantai untuk melayani sektor minyak, kabarnya masih banyak dikerjakan langsung oleh perusahaan asing. Berapa besar keuntungan perusahaan-perusahaan asing itu, yang mestinya jadi rezeki para anggota INSA? Jawab: Kurang lebih 1/2 milyar dollar setahun. Lihat saja contohnya. Perusahaan pelayaran Singapura, Asiatic, mulai bekerja hanya dengan 2 kapal tua. Dalam tempo singkat, setelah dicarter Pertamina, kini armada Asiatic punya 80 kapal tunda dan 200 tongkang. T: Bagaimana bisa terjadi begitu? J: Karena Pertamina mencarter diam-diam dengan harga tinggi. Sekarang tidak bisa lagi, karena setiap pencarteran harus seizin Ditjen Perla. Juga setiap pencarteran kapal luar negeri, harus melalui perusahaan pelayaran nasional. Dengan begitu kita tahu, berapa banyak perusahaan pelayaran asing yang beroperasi di sini. Jangan seperti dulu: tahu-tahu lebih dari 200 kapal asing beroperasi di laut kita tanpa diketahui pemerintah. T: Ada anjuran supaya kapal-kapal Indonesia didok di dalam negeri. Bagaimana pelaksanaannya? J: Itu anjuran logis, agar dok-dok kita kebagian pekerjaan. Tapi pelaksanaannya masih sulit. Soalnya, persaingan. Di Singapura misalnya, walaupun kapal sudah naik dok, belum bicara soal uang. Baru setelah pekerjaan selesai, mereka menagih biaya 25%. Sisanya boleh diangsur dalam setahun. Lain dengan dok di sini. Begitu naik dok saja sudah harus bayar uang muka 25%. Belum lagi kesulitan onderdil. Di Singapura semua onderdil tersedia. Sedang perusahaan dok kita masih harus impor. Itu berarti bayar pajak dan penyelesaian bea-cukai yang rumit. T: Apa alasannya bukan karena dok di luar negeri berani memberi komisi? J. Bicara terus terang perusahaan dok di sini pun memberi komisi. Itu biasa. T: PT PANN yang dibentuk pemerintah untuk membeli kapal dan menjualnya dengan syarat-syarat ringan pada pengusaha nasional, tampaknya tak begitu akrab di kalangan pengusaha pelayaran kita. Malah ada yang beranggapan, PT PANN terlalu mahal menjual kapalnya. Bagaimana tanggapan INSA? J: Sulit menerangkannya. Tapi hubungan PT PANN dengan anggota INSA memang terlalu jauh. Mestinya sebagai penjual PT PANN harus mendekati pembelinya. Kalau tak bisa memberikan after sales service, paling tidak pembeli ditanya kesulitan-kesulitannya setelah membeli kapal karena hubungan jauh ada saja suara-suara negatif yang tak perlu. Misalnya: untuk apa PT PANN berkantor di Sky Building yang sewanya Rp 160 juta? Mewah. T: INSA sendiri pernah membeli kapal pengangkut kayu untuk MPI (Masyarakat Perkayuan Indonesia), yang dianggap terlalu mahal untuk kapal bekas. J: Soal kapal bekas, memang segitu kemampuan kita. Sebuah kapal pengangkut kayu yang baru, dari Jepang harganya di atas 3 juta dollar. Tapi yang bekas cuma sejuta dollar. Mahal atau murah, itu sulit. Yang terang belum ada yang membuktikan, ada yang lebih murah dari itu. Dan jangan lupa, kita sekarang sudah pintar-pintar menghitung harga kapal. Tak bisa dicipoai lagi. T: Sudah berapa persen ekspor kayu kita diangkut dengan kapal Indonesia? J: Saya tidak tahu angkanya. Tapi yang jelas, kita telah memiliki banyak kapal pengangkut kayu. Dahulu kita tak punya sama sekali. Tapi sekarang ada 23 kapal. Tahun lalu kita hanya menyewa 27 kapal, tapi tahun ini kita sudah mampu menyewa 93. Juga sebelumnya hanya 12 kapal yang disewa-beli, sekarang meningkat menjadi 29. Tentunya ekspor kayu juga meningkat. T: Benarkah INSA mewajibkan anggotanya mengasuransikan pelaut dan pekerja daratnya pada PT Asuransi Buana yang dibentuk oleh pengurus INSA, KADIN dan Serikat Buruh & Karyawan Maritim Indonesia (SBKMI)? J: Maunya memang begitu. Karena sekarang belum seragam: ada perusahaan yang sudah mengasuransikan pekerjanya yang di darat, ada juga yang belum. Kita tidak bermaksud menutup usaha asuransi lain. Karena yang kita wajibkan hanya asuransi kecelakaan. Kadang-kadang, memang terasa harus sedikit dipaksakan. Sebab umumnya -- tidak termasuk awak kapal luar negeri -- perusahaan enggan mengasuransikan karyawannya. Kita tunggu saja SK pemerintah mengenai ini. T: Angkutan laut dengan sistim LASH (kapal induk dengan seperangkat dok apung & peti kemas untuk memuat barang ekspor di perairan dangkal) sudah final. Bagaimana tanggapan INSA? J: Itu baik . Kalau ekspor karet dapat tanpa melalui Singapura, apa salahnya. Itu baru dari segi export drive-nya. Sistim ini diharapkan tidak merugikan pelayaran nasional. Sebab ada batasannya: hanya beroperasi di pelabuhan yang tak mungkin diambil oleh kapal kita. Misalnya untuk mengangkut karel dari Jambi. Asal jangan merambat-rambat ke daerah lain, yang menjadi sumber kehidupan pelayaran kita sendiri (kapal LASH ini kepunyaan perusahaan Amerika -- Red ). Yang mengeluh, paling-paling Singapura -- ada urusan apa!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus