Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

SIR: Payah

Standar Indonesia Rubber (sir) sulit dipertahankan. hanya tinggal 6 pabrik yang berproduksi. Rumah asap ada 47, penggilingan karet 6. Pabrik karet jambi tersaing pabrik di padang dan palembang. (eb)

6 November 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

USAHA meningkatkan mutu karet menuju SIR (Standar Indonesian Rubber) sejak beberapa waktu lalu terasa macet. Gagasan yang dirintis Prof. Sumitro Djojohadikusumo sewaktu masih menjabat Menteri Perdagangan dulu, kini seakan terlantar. "Banyak di antara mereka yang gugur di tengah jalan", kata seorang pengusaha di Jambi. Di sana, di sepanjang sungai Batanghari, memang pernah muncul tak kurang dari 11 pabrik crumb rubber sekitar 6 tahun lalu, sebagai tindak lanjut dari keputusan Menteri Perdagangan. Maksudnya untuk secara bertahap meninggalkan pengolahan getah karet cara lama yang konvensionil dan dipandang tak efisien itu. Sebelum itu, untuk mengolah getah karet rakyat, juga sudah ada 47 buah rumah asap dan 6 buah rumah penggilingan (remilling). Tapi malangnya, segala keringanan berupa kredit dan pajak, yang dilimpahkan untuk gagasan membuat karet bermutu itu, tinggal beberapa yang bertahan. Dari sekian banyak rumah asap itu kini hanya Firma Dallmar yang masih mampu mengekspor produksinya. Namun pabrik crumb rubber tinggal 6 yang masih berputar. Seperti PT Jambi Waras yang menurut lisensi berkapasitas 18.000 ton setahun -- tapi mampu menghasilkan crumb rubber 25.000 ton setahun. Atau pabrik Batanghari Tembessi yang tahun lalu bekerja melebihi kapasitasnya yang 12.000 ton setahun. N amun yang merosot produksinya lebih banyak lagi. Sebuah pabrik crumb rubber milik PT Waringin Kencana memang memiliki kapasitas produksi 21.000 ton setahun. Ternyata tahun lalu cuma pandai menghasilkan separoh dari jumlah itu. Sedang punya PT Incrubi, yang tahun lalu masih bekerja di bawah kapasitasnya, tahun ini sudah tak ikut lelang karet lagi. Tapi yang paling parah adalah sekawan pabrik: Panco Rubber, Super, Gumay dan Ureka Raya. "Boleh dibilang mereka itu sudah terburu mati sebelum bekerja", tutur Rudy Maukar pengusaha karet yang juga aktlf di Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (GAPKINDO). Tapi kematian 4 pabrik itu rupanya lebih banyak disebabkan kurangnya kegiatan. Seperti kata Maukar, "mereka cuma ingin memanfaatkan fasilitas dari pemerintah saja". Sedang bagi mereka yang masih bertahan -- selain pusing menghadapi berbagai pungutan (TEMPO 24 Oktober) -- belum lagi mampu memanfaatkan bahan baku yang berada nun di tengah hutan sana. "Sulit bagi para petani untuk menyadap getah di tengah hutan", kata seorang fabrikan. Selain letaknya jauh dari alur sungai Batanghari, dan sarana yang kurang, "jalan setapak juga tak ada yang sampai di tengah hutan", kata seorang penyadap. Itu pula sebabnya hutan karet di Jambi yang belum terjamah tangan petani dikenal sebagai 'areal tidur'. Tapi selain areal tidur yang kabarnya banyak dihuni macan itu, yang agaknya paling mencemaskan para pengusaha karet di Jambi adalah saingan pabrik-pabrik crumb rubber dari Padang dan Palembang. Harga beli yang lebih bersaing ketimbang Jambi dengan sendirinya memikat para produsen getah untuk menjual hasilnya ke sana. Juga jalan lintas Sumatera yang licin memungkinkan tarif angkutan yang lebih rendah. Angkutan jalan raya ke Padang dan Palembang, tak serumit dari Sarko ke Jambi yang harus melalui dua tempat penyeberangan sungai hingga membuat tarif jadi Rp 12,50 per kilo. Badaruddin kepala direktorat perekonomian Jambi, beranggapan saingan yang timbul itu soal biasa. "Berbeda dengan air, harga karet akan mengalir ke tempat yang lebih tinggi", katanya. Masuk akal. Pelabuhan Jambi, yang belum bisa dilabuhi kapal samudera, tentu berbeda dengan Padang dan Palembang yang merupakan pelabuhan ekspor.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus