Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dari Sogo ke Manggadua

Ritel papan atas banyak yang kelimpungan menghadapi masa ekonomi susah. Yang kecil justru panen.

10 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SESEKALI bolehlah jalan-jalan ke mal. Mau cuci mata terserah, mau memuaskan perut oke, mau belanja juga silakan. Nah, bagi yang punya nafsu belanja besar, sekarang ini di mal-mal Jakarta dan kota besar lain gampang dilihat spanduk-spanduk mencolok dengan tulisan besar: "Diskon sampai 80 persen". Setidaknya diskon itu separuh harga. Barang yang didiskon pun kinclong, asli, tanpa cacat pabrik. Jangan sekali-kali Anda berpikir itu barang bajakan yang dibuat di Pasar Ular atau Tangerang. Kalimat di atas agak berbau promosi, tapi itu bukan iklan atau titipan pesan dari mal tertentu. Namun, harga "miring" yang ditawarkan memang bisa bikin ngiler. Sepasang sepatu Bally, misalnya, setelah didiskon 30 persen, bisa didapat dengan harga Rp 475 ribu. Dalam mata uang dolar, nilai sepatu ini kurang dari US$ 60. Padahal, di Italia, negara asalnya, sepatu yang sama dihargai sekitar US$ 200. Lalu, celana panjang katun Mark & Spencer yang aslinya Rp 500 ribu bisa digaet hanya dengan Rp 100 ribu. "Di Singapura bisa tiga kali lipat," kata seorang pembeli. Jual rugi? Tentu tidak. Siapa sih yang mau dagang rugi? Biasanya yang dibuat lebih cekak adalah margin keuntungan. Kalau tadinya untung 40 persen, setelah didiskon hanya untung 20 persen. Dan itulah kiat ritel papan atas untuk menyambung napas. Il Primo di Plaza Indonesia, misalnya, sebelum krisis, sanggup menghimpun omzet Rp 100 juta tiap bulan. Tahun lalu, saat gejolak kurs rupiah sangat liar, omzet toko barang-barang kulit seperti sepatu dan ikat pinggang dari Italia ini anjlok drastis sampai tinggal Rp 5 juta per bulan. "Tak cukup buat ongkos operasional," kata Andre, staf Il Primo. Agar tidak terus-menerus nombok, pengelola Il Primo menggelar diskon 30-50 persen untuk beberapa produk. Hasilnya memang tidak betul-betul fantastis atau menyamai omzet sebelum krisis. Tapi kini Il Primo terus beroperasi sambil mengantongi laba Rp 10 juta per bulan. Sedangkan beberapa ritel kelas atas yang kurang gesit mengantisipasi terpaksa terlibas. Dua gerai British India, di Mal Pondok Indah dan di Mal Taman Anggrek, kini gulung tikar. Trik serupa diterapkan Moda Italia, Plaza Senayan, dengan diskon 30-50 persen. Bedanya dengan Il Primo, diskon Moda Italia cenderung bersifat pancingan. Yang didiskon adalah baju stok lama atau yang modelnya kelewat nyentrik. Ujungnya, para penggemar mode sengaja diarahkan untuk berpaling dan membeli baju tanpa diskon. Faktanya, "Baju nondiskon terjual lebih banyak," kata Nurul, pramuniaga Moda Italia, yang mengaku tak tahu persis omzet toko yang dia jaga. Rupanya, orang lebih memilih yang sedikit mahal tapi ngetrend ketimbang yang murah tapi ketinggalan zaman. Tahun lalu, cerita suram ritel kelas atas—harus memilih obral atau bangkrut—juga terjadi pada ritel kelas menengah ke bawah. Karena krisis, gejolak kurs, dan gelombang kerusuhan massa, Matahari memangkas 80 gerai yang tersebar di seluruh Indonesia. Ramayana juga menutup dua gerai di pinggiran Jakarta yang belum genap setahun dibuka. Kini, pengusaha kecil bisa bilang small is beautiful. Yang kecil yang berjaya. Omzet Toko Pojok Busana, misalnya, meningkat 30 persen sejak berlangsung acara Pekan Diskon Jakarta, Juli lalu. Tahun ini, perusahaan ritel PT Ramayana juga mematok target penjualan Rp 1,512 triliun atau naik Rp 214 miliar ketimbang tahun lalu. Matahari juga tak berbeda. Target penjualan tahun ini dipasang Rp 572 miliar lebih tinggi dibandingkan dengan tahun lalu. Dan mengingat pencapaian paruh pertama 1999, para analis yakin target ini bakal tercapai. Kalau yang papan atas megap-megap dan yang kecil justru ligat, menurut Adrian Panggabean, ekonom regional Nomura Securities di Singapura, itulah bukti merosotnya daya beli masyarakat. Maklumlah, inflasi tahun lalu yang sampai 80 persen telah menggerus nilai pendapatan riil secara nasional. Memang, memasuki 1999, inflasi dapat dikendalikan hingga total hanya 0,002 persen. Namun, sampai kini, sektor riil masih semaput dan daya beli payah. Dengan situasi seperti ini, perilaku konsumen berubah. Mereka yang awalnya punya hobi "jalan-jalan sore" di mal mahal beralih ke mal yang lebih murah—dari Plaza Senayan atau Sogo Plaza Indonesia beralih ke Matahari, Ramayana, atau Pertokoan Manggadua. Max Turangan, pemilik toko seluas 155 meter persegi di Mal Blok M, misalnya, mengaku omzet penjualan celana jinsnya meningkat pesat. Akhir 1997, Max hanya bisa menarik omzet Rp 20 juta per bulan. Tapi kini omzetnya melonjak sampai Rp 500 juta per bulan. "Ini buktinya orang sudah enggak risi memakai produk nonmerek asalkan tetap bermutu," kata Max. Konsumen agaknya kian pandai. Yang penting kan mutu dan harganya, bukan mereknya. Mardiyah Chamim, Dwi Wiyana, Iwan Setiawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus