SURAT Izin Usaha Penerbitan Pers alias SIUPP bukanlah barang langka. Di negeri ini telah dikeluarkan sekitar 275 SIUPP. Tapi itu bukan berarti, SIUPP mudah didapat. Paling tidak, untuk memperolehnya tidaklah semudah mendapatkan kuota ekspor dari Departemen Perdagangan, misalnya. Apalagi beberapa waktu lalu Pemerintah menyatakan bahwa penerbitan SIUPP -- terutama untuk media umum -- akan dibatasi. Namun, ini pun belum berarti, bahwa Departemen Penerangan telah membatasi langkah pengusaha di bisnis pers. Sebab, SIUPP yang sudah beredar pun banyak yang "menganggur", alias tidak produktif. Artinya, tidak sedikit badan usaha yang memiliki SIUPP -- baik aktif maupun tidak -- yang tak lagi mampu membiayai penerbitan sesuai dengan SIUPP yang ada pada mereka. Setelah melakukan evaluasi terhadap gejala yang kurang baik itu, pada Februari lalu Deppen mengayunkan langkah lebar. Sebelas SIUPP dinyatakan batal. Mereka yang terkena pembatalan SIUPP dari kalangan koran adalah Surat Kabar Mingguan (SKM) Surabaya Express, SKM Parikesit, Solo, SKM Teropong, Jayapura, dua SKM dari Tanjungkarang (Realita Pers dan Warta dan Niaga). Nasib yang sama menimpa majalah mingguan Topik -- yang pernah populer karena keberaniannya dalam menulis berita -- majalah X-Tra, Team, Tenis, Indonesiaku dan Angkatan Baru (yang belum sempat diterbitkan). Nama-nama itu kelak tak akan pernah ditemukan lagi di pasaran. Ini ditegaskan oleh Direktur Pembinaan Pers Widodo, S.H., yang menyebutkan bahwa ke-11 SIUPP tersebut tak mungkin dihidupkan lagi. "SIUPP yang dibatalkan otomatis dianggap hilang," katanya. Kecuali jika mereka -- para pemegang 11 SIUPP atau anggota masyarakat lainnya -- mengajukan permohonan baru. Berdasarkan persetujuan Menteri Penerangan, mungkin saja permohonan itu dikabulkan. Tapi, itu pun terbatas pada SIUPP Spesialisasi, alias surat izin untuk media yang bersifat khusus, seperti ekonomi, pertanian, dan olahraga. Lebih jauh Widodo menekankan bahwa dengan 264 SIUPP yang beredar sekarang, sebenarnya, bisnis penerbitan pers sudah cukup jenuh. Pendapat ini selaras dengan keputusan yang telah diambil Dewan Pers. Jadi, "Yang penting, kita tinggal membina pers yang sudah ada," katanya. Itu tidak berarti seleksi yang dilakukan Deppen -- seperti terhadap 11 SIUPP tadi -- akan terhenti. Kata Widodo, melalui Inventarisasi Pertumbuhan dan Perkembangan Pers Nasional (IPPN), Departemen Penerangan akan terus meneliti media yang terbit di seluruh Tanah Air. Soalnya, "Buat apa SIUPP banyak-banyak kalau pada tidur," sindirnya. Setelah melalui penelitian yang intensif, selain 11 SIUPP tadi, Deppen juga merencanakan membatalkan lima SIUPP lainnya yang beredar di beberapa daerah. "Yang lima itu sedang kami pertimbangkan. Kalau sampai melanggar peraturan Menpen, akan kami sarankan untuk dibatalkan," ujar Widodo. Adapun peraturan Menpen yang dimaksud Widodo adalah pasal 33 Permenpen No 01/Per/Men/1984. Dalam peraturan itu disebutkan bahwa media yang melakukan pelanggaran administratif dalam rentang waktu tertentu bisa dibatalkan SIUPP-nya. Adapun 11 penerbitan yang dicabut SIUPP-nya itu, menurut Widodo, telah melampaui batas tidak terbit. Majalah Topik, misalnya, sudah tidak terbit (juga tidak mengirim nomor contoh kepada Deppen) sejak 1987. Padahal, ketentuannya, sebuah majalah mingguan akan dicabut SIUPP-nya jika tidak terbit selama empat bulan. Sedang untuk harian, dwimingguan, dan bulanan, batas waktunya sekitat 3-5-6 bulan. Hanya saja, kendati media tidak muncul di pasaran melebihi batas waktu tersebut, SIUPP bisa saja tidak batal. Syaratnya, media bersangkutan diharuskan membuat nomor contoh -- untuk dikirimkan sebagai bukti kepada Departemen Penerangan. Taktik ini pernah dipakai oleh majalah X-Tra. Hatta ketika majalah ini kembang kempis -- kendati baru terbit setahun sejak Agustus 1986 -- manajemennya mengambil keputusan untuk menerbitkan nomor bukti semata. Tapi, ini pun bertahan 10 nomor saja, dan setelah itu dihentikan. Yang lebih mengherankan, walau sudah melewati batas tidak terbit, X-Tra tidak segera dicabut SIUPP-nya oleh Deppen. Perlakuan ini diterima juga oleh 10 media lainnya. Mengapa? "Sebelum membatalkan SIUPP, kami lebih dulu melakukan pembinaan," kata Widodo. Namun, kalau mau, sebenarnya bisa saja SIUPP itu diselamatkan. Caranya, pemegang SIUPP mencari pemodal yang mau menanamkan uangnya di sana. Maklum, alasan tidak terbitnya sebuah media kebanyakan disebabkan oleh kurangnya modal. Masalahnya, mencari pemodal bukanlah perkara gampang. Seperti yang dilakukan Parikesit, Solo. "Kami sudah berusaha mencari penyandang dana, tapi tidak berhasil," kata Putu Pudyatmo, wakil pemimpin umum Parikesit. Lain halnya dengan pemegang SIUPP di Jakarta. Mereka, konon, tidak kekurangan peminat. Kalau mau, bisa dengan mudah menarik pemilik modal sebagai kongsi. Tapi, "Kami tidak menginginkan itu," kata Mirtha Kartohadiprodjo, bekas pemimpin umum X-Tra. Alasan serupa dikemukakan oleh Soepeno Soemardjo, bekas pemimpin umum Topik. Katanya, Topik tidak memiliki kebijaksanaan untuk merger. Bahkan lebih dari itu, untuk menerbitkan nomor contoh manajemen Topik tak mau melakukannya. Padahal, Soepeno sendiri mengakui bahwa penerbitan Topik dihentikan (sejak akhir 1987) karena merugi. Budi Kusumah, Indrawan, Zed Abidien, Kastoyo Ramelan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini